Minggu, 02 Agustus 2009

kisah duri (3)

Rakha bermain di jalanan depan rumah Oma



api yang membakar gas liar




wajah kota Duri




Lapangan Pokok Jengkol jadi lokasi Salat Id

Duri Meledak
Keheningan malam yang cerah dengan sinar bulan dan taburan bintang, tiba-tiba berubah mengerikan. Duarrr, suara laksana letusan bom atom membuat seisi kota yang sedang nyenyak terlelap, seakan terlempar dari tempat tidur.

DEGUP jantung saya berdetak keras ketika terjaga dan merasa terlontar dari atas tempat tidur. Pintu kamar yang sebelum tidur saya kunci, tiba-tiba sudah terbuka lebar. Suara laksana petir tunggal itu, membuat keringat deras mengucur di kening. Suara-suara gaduh pun terdengar dari dalam dan luar rumah.

“Bom, mungkin ada bom jatuh,’’ ungkap beberapa orang, ketika saya dan Bapak keluar rumah guna mencari tahu apa yang terjadi.

Di tengah malam buta sekitar pukul 2 dini hari itu, Kota Duri seolah beriak dan bangkit dari tidur panjangnya. Jalanan dipenuhi oleh orang yang lalu-lalang dan kendaraan hilir mudik. Semua bertanya-tanya, ada apa gerangan. Pekikan tangis dan jerit warga pun terdengar. Beberapa rumah, temboknya terlihat runtuh, atap dan kunsen jatuh. Suasana dalam rumah pun berantakan dengan barang-barang yang berjatuhan. Bahkan tetangga ada yang tidak bisa lagi menimba air sumur karena dindingnya telah bergeser.

Beberapa rumah lainnya, terlihat sudah tidak nampak lagi atapnya karena telah terbang entah kemana. Beberapa kobaran api terlihat dari kejauhan. Mungkin sempat terjadi kebakaran, namun tak bisa saya datangi karena suasana sudah heboh. Dari kejauhan, saya melihat angkasa atas di kawasan Pokok Jengkol telah memerah oleh api. Agaknya hutan kecil dan ilalang disana telah terbakar. Semua mata tertuju ke arah Pokok Jengkol karena di sanalah sumber ledakan itu terdengar.

Malam itu, sekitar tahun 1991. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas dua SMP. Saya ingat betul kejadian itu, karena kami akan memasuki liburan panjang sekolah dimana akan melakukan studi tur ke Danau Toba, Medan. Semua murid di kelas saya ikut acara itu dengan menaiki satu bus khusus. Beda dengan kelas lain yang bercampur-campur di satu kendaraan.

Malam kejadian itu, bermacam praduga bermunculan terhadap apa yang terjadi. Suara menggelar bak bom atom dan menimbulkan kerusakan parah di hampir merata kota, membuat banyak orang ketakutan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa rudal scud Irak telah sampai ke kota kami. Maklum, ketika itu sedang panas-panas perang Teluk I antara Irak melawan Amerika dan sekutunya. Karena daerah Duri merupakan ladang minyak yang dioperasikan Caltex yang notabene milik perusahaan Amerika, maka bom pun diarahkan ke sini.

Saya yang masih terhitung anak-anak tanggung kala itu, dilarang orang tua untuk pergi jauh-jauh. Kami pun hanya dibolehkan berada di sekitar rumah. Bahkan tak boleh masuk rumah lagi, dan duduk-duduk saja di perkarangan bersama tetangga-tetangga lainnya. Hal ini karena takut ada letusan lagi yang bisa membuat rumah ambruk. Dengan membawa selimut dan bantal, kamipun tidur-tiduran di teras dan pekarangan. Sementara orang dewasa melihat kerusakan-kerusakan yang dialami warga. Beruntung rumah kami yang dari batu tak mengalami kerusakan berarti, Cuma retak-retak di sekitar kunsen dekat pintu. Beda dengan rumah tetangga banyak semi permanen, kerusakannya lebih parah lagi.

Pagi, walaupun terlambat, saya tetap pergi ke sekolah. Karena sekolah saya jauh dari rumah dan harus naik angkot, saya bisa menyaksikan kerusakan yang terjadi di jalanan. Beruntung malam itu, letusan keras terjadi hanya sekali, hingga tidak ada kejadian buruk. Saya malam itu tidak mendengar ada yang tewas. Namun yang luka-luka ada. Hal ini terjadi karena tertimpa kunsen, perabotan rumah tangga dan lainnya.

Sesampainya di sekolah, ternyata hampir semua kawan-kawan terlambat datang. Sepanjang hari itu, kami tidak belajar secara penuh. Semua sibuk bercerita tentang kejadian di malam naas itu. Akhirnya kami pun mendapat keterangan terhadap kejadian malam itu. Gudang Penyimpanan Dinamit Meledak!!

Sebuah gudang yang menyimpan dinamit yang digunakan untuk keperluan eksplorasi pencarian minyak yang berada di kawasan Sembat (danau buatan) dekat Pokok Jengkol telah meledak. Beberapa orang dikabarkan jadi tuli dan terluka akibat peristiwa itu. Kerusakan terparah terjadi di rumah warga yang berada di persimpangan Jalan Sudirman dengan Jalan Hang Tuah tersebut. Gudang yang berada di bawah tanah itu, belum diketahui apa penyebabbnya hingga meledak.

Hingga kini pun saya masih kabur dengan peristiwa yang terjadi tersebut. Maklum kala itu belum ada surat kabar yang memberitakan kota kami. Televisi pun hanya ada siaran TV Malaysia dan TVRI yang kadang kabur. Hingga berita yang sampai hanya dari mulut ke mulut dan bahkan sering dramatis. Namun setelah itu, kawasan Sembat, yang dulu menjadi tempat kami berenang (kalau ketahuan orang tua, akan kena hukum habis-habisan) dijaga ketat dan dilarang masuk.

Namun yang pasti, saya merasakan bagaimana dahsyatnya sebuah letusan buatan manusia. Hanya gudang dinamit yang meledak, bagaimana kalau yang meledak itu bom, mortir dan peluru kendali sebagaimana dirasakan penduduk Irak dan Afghanistan saban hari. Saya tak bisa membayangkan jika hidup di daerah perang.

Bersyukurlah kita.***

Kamis, 16 Juli 2009

catatan akhir pekan



Menunggu Gebrakan Sang Idrus


Dahulu, ketika baru bekerja walaupun belum diwisuda, di sebelah kamar kos saya tinggal seorang PNS yang baru diterima di sebuah departemen perwakilan pusat di Kota Bertuah ini. Sang pemuda ini berasal dari Medan dengan logatnya yang khas. Ia mengaku lulus ujian dari ribuan peserta yang memperebutkan posisi strategis di sebuah departemen yang selalu berhubungan dengan uang.


Semula ia bingung, dan mencoba beradaptasi dengan Kota Ber­tuah yang menurutnya miskin dengan hiburan. Maklum sang kawan ini sebelumnya menempuh jenjang pendidikan di Kota Kembang yang terkenal dengan julukan paris van java. Jadi ia merasa Kota Bertuah ini terasa kecil geliatnya dan miskin dengan hiburan.

Setelah beberapa bulan, saya lihat kawan ini agak bergairah. Saat pulang dari kantor di malam hari, saya mulai jarang mene­muinya di tempat kos. Saya pikir, ia mungkin sudah mendapatkan pacar, jadi agak sering keluar malam. Namun saat pulang di malam hari, malah ia membawa teman cowok sekantor. Maka dugaan saya ia pergi ke rumah pacar pun sirna.

Iseng-iseng, saya pun bertanya kemana saja mereka pergi di malam hari karena jarang saya temui pintu kamarnya terbuka saat saya pulang ke rumah. ''Kami serasa berada di tempat antah beran­tah. Seperti menonton keajaiban zaman dahulu,'' kata sang teman.

Saya pun agak bingung apa maksud perkataannya. ''Maksudnya apa nih,'' tanya saya sambil mencoba mengorek keterangan lebih dalam saat kami duduk berdua di beranda lantai atas paviliun kos kami.

Sambil memetik-metik dawai gitar, ia pun bercerita bahwa mereka kini mulai gandrung dengan pertunjukan bernuansa budaya Melayu yang sering digelar di Teater Arena Balai Dang Merdu. Semula, ia dan temannya tak sengaja berkunjung ke lokasi terse­but. Saat memasuki gedung itu, mereka pun seperti tersihir meli­hat ada pertunjukkan yang sangat menarik hati tersebut.

''Kami seperti berada di opera zaman-zaman dahulu. Sangat menarik melihat pertunjukkan orang-orang kesenian ini,'' ungkapn­ya.

Sejak saat itu, saya maklum jika saat pulang malam hari lampu teras kos kami belum dihidupkan. Bisa dipastikan sang kawan sedang menikmati hiburan kesukaannya. Waktu kebersamaan kami pun mulai beralih di hari libur, dimana kami jogging memutari lapan­gan di bekas areal MTQ. Setiap Minggu sore, kami pun menghabiskan waktu berlari mengitari lapangan bekas tempat upacara pembukaan MTQ.

Kini, teman saya itu sudah pindah ke Jakarta. Setelah meni­kah, kami pun masing-masing meninggalkan rumah kos. Namun saya tak tau, apakah ia masih gandrung menikmati kesenian Melayu. Sejak keluar dari kos, akibat kesibukan masing-masing, kami mulai jarang behubungan lagi.

Ia mungkin tidak tahu bahwa lapangan tempat kami jogging dulu kini telah menjulang megah gedung teater tertutup dengan nama Anjung Seni Idris Tintin. Gedung besar berasitektur Melayu dengan biaya sekitar Rp150 miliar ini, telah menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga Kota Bertuah. Walau belum diresmikan, namun tercatat gedung ini pernah diramaikan artis-artis ibu kota. Ia menjadi saksi sejarah tempat berlangsungnya Festival Film Indone­sia yang sebelumnya hanya berlangsung di Jakarta.

Kawan saya ini, saya rasa mungkin akan bergegas datang ke Kota Bertuah jika saya beritahu adanya pertunjukkan opera Tun Teja di teater tertutup ini. Lama kami tidak berkomunikasi hingga saya lupa kesukaannya terhadap seni budaya Melayu. Namun saya yakin, ia pasti tidak akan lupa dengan tontonannya saat bingung hendak pergi kamana jika malam menjelang, ketika pertama datang dulu.

Banyak yang berharap terutama saya pribadi, Anjung Seni Idrus Tintin mempunyai agenda tetap pagelaran kesenian dan budaya Mel­ayu. Saat opera bertajuk Tun Teja digelar di sana, saya berharap gedung ini rutin menggelar kegiatan serupa. Kesenian, menurut saya merupakan salah objek wisata yang layak dijual kepada para tamu yang datang ke Bumi Lancang Kuning ini.

Jika insan kesenian mampu membuat jadwal tetap dan menyebar brosurnya ke hotel-hotel dan daerah luar Riau, saya acungkan satu jempol. Saya pernah ke Siam Niramit, sebuah pertunjukan opera klasik di Bangkok, Thailand. Ribuan orang antre memasuki gedung pertunjukkan yang besar itu sekadar ingin tahu pertunjukkan kesenian khas Siam. Saya rasa seniman Riau mampu membuat pertun­jukkan spektakuler seperti di Siam Niramit. Tinggal bagaimana konsistensi tersebut tidak teresistensi dengan sebuah produk bernama proposal.***





Rabu, 15 Juli 2009

pergilah ke negeri orang

si mafia di tugu monas




reformasi 98

Cinta Tanah Air?

Saat ini, kalau bicara tentang cinta tanah air, banyak yang akan tertawa. Jika dipooling seluruh warga Indonesia kini, saya rasa mungkin rasa cinta tanah air tak akan sampai 50 persen. Semua orang Indonesia terlihat mulai melupakan rasa sayangnya terhadap bumi nusantara ini. Saat ini, semua orang terkesan pemarah, anarkis, saling tuding, menyelamatkan diri masing-masing, dan kurang cinta kepada negaranya.

MOHON maaf jika ada yang tersingung. Jangan terlampau dimasukkan ke dalam hati, ini hanya pandangan subjektif saya dari pengalaman sehari-hari dan melihat gejala bangsa ini dari liputan media massa yang selalu menampilkan berita jelek jadi headline. Terus terang saya sedih. Mengapa terkesan kita begitu membenci Indonesia ini. Bak salah satu lirik lagu Slank yang berjudul Gossip Jalanan, “kacau balau, negaraku ini.”

Memang banyak yang mengatakan semua kekesalan yang ditumpahkan kepada negara, agar negeri ini bisa berubah. Bisa menjadi negeri yang aman, sejahtera dengan penduduk yang hidup tentram. Tapi yang tak habis pikir, kenapa harus setiap hari negeri ini dikritik terus. Apa penyelenggara negara ini sudah pekak. Atau masyarakat yang jadi tuli? Tak usah kita perdebatkan secara serius.

Tapi, saya disini akan berbagi pengalaman unutk orang-orang yang benci dan kurang sayang kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sekali-kali, anda pergilah ke luar negeri. Cobalah menetap barang satu atau dua bulan. Jika tak terlalu lama, mungkin bisa satu atau dua minggu saja. Saya berani bertaruh, anda akan rindu terhadap tanah tumpah darah ini.

Saya pernah beberapa kali pergi ke luar negeri. Tak jauh-jauh, hanya negara terdekat di kawasan ASEAN, seperti Singapura, Malaysia atau Thailand. Waktunya pun tak lama, Mungkin hanya dalam hitungan minggu, tak sampai sebulan. Seindah-indahnya negeri orang, namun saya mengatakan Indonesia adalah yang paling indah.

Di Singapura, saya malah dilanda ketakutan saja. Saat akan memasuki check point pintu imigrasi Singapura, ketika itu saya datang melalui Johor melewati jalan di selat yang memisahkan semenanjung Melaya dengan Pulau Singapura. Kami sudah beberapa kali diingatkan sang guide. ‘’Bapak-bapak kami ingatkan agar tidak membawa rokok yang masih belum dibuka bungkusnya. Apalagi kalau membawanya satu sloff. Jangan bertingkah laku aneh, dts…dst…..,’’ cecarnya.

Denda uang jutaan rupiah, kalau nilainya dikurskan atau penjara akan menanti jika tak mematuhi aturan yang ada. Padahal sebagai warga negara asing di Singapura, saya memang tidak tahu banyak aturan yang berlaku. Ingin menikmati liburan, malah kesannya jadi terbebani. Apalagi untuk yang perokok, betul-betul diwanti-wanti agar jangan merokok sembarangan.

Soal belanja atau makanannya, saya rasa lebih hebatlah kita belanja di Bandung atau Bukitinggi. Belanja di Orchad Road mahal-mahal… Saya jadi tak bebas dan terikat disana. Walaupun tidak terlihat ada polisi, tapi bagi saya ini jadi beban. Rindu terhadap Indonesia pun menyergap. Alangkah enaknya hidup di tanah air, kampung halaman kita sendiri.

Suatu waktu, saya ke Malaysia. Di negara yang selalu bermasalah dengan TKI kita ini, saya sudah datang beberapa kali. Ketika kedatangan dengan istri guna berobat kesana untuk kesekian kalinya, saya malah makin cinta dengan Indonesia. Yang saya tak sukai di Malaysia ini adalah, makanannya yang tidak enak. Sangat tidak cocok dengan lidah saya. Ini mungkin yang membuat saya tersiksa.

Makanya saya mencari hotel yang didekatnya ada rumah makan padang. Walaupun yang memasaknya orang Jawa, tapi tak apa-apalah, saya agak sedikit nyaman dan tak kelaparan. Makanan pagi Malaysia seperti nasi lemak, roti jala, nasi hainan dan makanan sejenis yang katanya enak, sangat tidak familiar di lidah saya.

Pernah dulu saya dengan rombongan dijamu oleh, kalau di Indonesai mungkin setingkat gubernur, di Melaka. Kami pergi ke rumah dinasnya yang berada di atas bukit dengan pemandangan yang indah. Tapi saya sangat tidak suka dengan makanan yang disajikan. Saya ini agak sukar kalau menyangkut menu makanan. Hingga kini, terus terang saya tak bisa makanan jenis ayam, ikan laut dan air tawar. Jadi agak tersiksa juga jika disediakan makan jenis itu.

Termasuk saat ke Thailand. Pertama-tama mungkin kita akan enjoy, tapi agak lama akan terasa rindu dengan kondisi tanah air. Entah mengapa, selalu begitu. Saat itu saya masih merokok, rokok yang saya hisap selalu GP (Gudang Garam Filter). Di Bangkok, hampir mampus saya mencari rokok merek ini. Saya berkeliling dari satu kedai rokok ke kedai rokok mencarinya. Pokoknya dalam hati, saya berani bayar mahal jika ada yang menjualnya.

Soal makanan, selama tur, saya lebih banyak makan omelet. Dalam bahasa kitanya dinamakan “telur dadar”.. Menurut kawan-kawan lain makanannya enak-enak, ada Tomyam, aneka makanan laut, dan jenis lainnya. Tapi bagi saya telur dadar tetap favorit. Selain halal, memang itu yang cocok di lidah saya. Lama-lama saya agak sedikit tersiksa juga dengan suasana yang ada. Saya pikir, bagaimana ya dengan orang yang tinggal menetap.

Rupanya hal yang sama dialami juga oleh teman saya yang lama menetap di luar negeri. Shock kebudayaan, menurut teman saya itu juga dialaminya. Sesuatu hal yang baru dan berada diluar kebiasaan sehari-hari, memang agak sulit untuk beradaptasi. Ia bahkan mengaku pernah meneteskan air mata saat mendengar lagu “Indonesia Tanah Air Beta” saat berada jauh dari Indonesia.

“Memang negeri orang jauh lebih tertib, teratur, moderen dan maju dari negeri kita. Tapi percayalah kau, tanah air Indonesia tetap jadi tempat yang paling nyaman, indah bagi kita untuk ditinggali,’’ ungkapnya suatu waktu.

Malah ia juga berani menantang, orang yang tak cinta tanah air, menetaplah di luar negeri. ‘’Kalau tak ingin di Amerika bisa di Irak, Somalia, atau Afghanistan. Bisa dilihat berapa lama ia betah,’’ katanya berceloteh.

Saya juga tak bisa membayangkan, bagaimana dengan para pelarian politik dan tak bisa pulang ke Indonesia. Seperti warga Indonesia yang terkurung di luar negeri saat huru-hara tahun 1965 pecah. Banyak yang dituduh terlibat partai terlarang, hingga akhir hayatnya hanya bisa membayangkan di angan-angan memori kampung halaman yang sangat dirindukan. Seperti kisah Sobron Aidit, adik tokoh sentral partai terlarang yang baru bisa menginjakkan kaki ke kampung kelahirannya, saat hayat menjelang, usai orde reformasi bergulir. Ia pun meninggal di tanah seberang yang ribuan kilometer jauhnya…..***






Kamis, 16 April 2009

Kampung halaman (2)

Kabut pagi


Jalan Hang Tuah usai diperbaiki



Para pekerja sibuk memasang pembatas Jalan Jenderal Sudirman


Setelah berabad menunggu, lampu jalan kini menyala


Salat Id di Lapangan Pokok Jengkol

Masa-masa Remaja yang Menyenangkan

Diakui atau tidak, ada sebuah waktu yang selalu ditunggu-tunggu warga Duri selain hari raya Idul Fitri tentunya. Bagi anak-anak sekolah, waktu ini selalu ditunggu-tunggu dengan harap cemas, akan jadi apa nanti mereka di hari yang ditunggu tersebut. Kegiatan apa pula itu?

BAGI warga Duri pasti tahu hari apa itu. Ya, kegiatan itu adalah pawai hari kemerdekaan RI yang selalu digelar setiap tanggal 17 Agustus. Pawai ini sangat meriah. Selain diikuti oleh seluruh pelajar SMP, siswa SMA, paguyuban, ormas, termasuk juga para kontraktor dan PT Caltex sendiri. Kendaraan operasional mereka seperti mobil rig, traktor, truk dan kendaraan lainnya akan disulap menjadi kendaraan hias. Hingga mobil tersebut menyerupai ikan paus, rumah besar, lokasi pengeboran minyak, istana raja dan lainnya.

Tak kalah, para anak sekolah pun menjadi bukan diri sendiri di hari itu. Bermacam kostum dikenakan, mulai dari pakaian adat se-Indonesia, pakaian berbagai macam profesi dari petani hingga dokter. Termasuk juga berbagai hasil kerajinan yang diusung sepanjang jalan plus marching band. Bahkan dipertandingkan, sekolah mana yang nantinya jadi juara pertama.

Untuk paguyuban, berbagai atraksi daerah asal digelar selama acara di sepanjang jalan. Mulai dari silat, tari piring, talempong, kuda kepang hingga reog. Pada hari itu, semua penduduk Duri tumpah ruah memenuhi pinggir jalan protokol kota satu-satunya, Jalan Jenderal Sudirman. Awal acara, semuanya berkumpul di lapangan Pokok Jengkol. Mulai dari lapangan depan kantor Koramil hingga lapangan di belakangnya hingga sekolah lapangan sekolah kami SMAN 2 Duri, akan disemuti ribuan orang. Dari titik ini maka akan dilepas satu persatu dengan berjalan kaki melwati sepanjang Jalan Jenderal Sudirman menuju lapangan Kantor Camat Duri. Coba bayangkan jarak yang akan ditempuh itu sekitar 10 kilometer dengan berjalan kaki!

Tak ada yang mengeluh dengan jarak yang cukup jauh itu. Semua bergembira, baik peserta maupun para penonton di pinggiran jalan. Pokoknya hari itu, layaknya sebuah pesta rakyat. Tak ada lagi pengelompokan masyarakat atau pengelompokan suku atau putra daerah dan pendatang atau kaya dan miskin, semua sama. Penduduk Kota Duri.

Sejak SMP, tentunya saya selalu mengikuti kegiatan pawai ini. Kostum pekerja minyak, pecinta alam hingga pejuang kemerdekaan pernah saya kenakan di acara pawai ini. Namun ada satu hal lucu hingga kini tak dapat saya lupakan. Kejadian ini saat saya duduk di bangku SMA. Saya dan teman-teman badung di SMA, sangat anti dengan kostum pakaian adat daerah. Jika para perempuan banyak yang minta-minta kepada guru untuk mengenakan pakaian adat tertentu, kami malah takut.

Jadi ketika penentuan kostum apa yang akan dikenakan, semua siswa berkumpul di lapangan sekolah. Kami yang agak bandel, cabut dan ngumpul-ngumpul di kantin belakang sekolah. Setelah agak lama berkumpul, kami merasa keadaan sudah aman dan berjalan ke lapangan depan sekolah untuk bergabung. Namun ternyata apes yang didapat. Kehadiran kami diketahui seorang guru yang lagi berdiri di podium.

‘’Ya, beri tepuk tangan. Kita telah dapat rombongan siswa yang akan mengenakan kostum badut. Ayo sini kalian semua, dicatat namanya,’’ kata sang guru.

Kontan saja, gelak tawa bergemuruh. Wajah kami pun pucat-pasi saat menuju ke depan. Yah, terpaksalah saya dan teman-teman berkonstum badut bodoh, dasar apes… Bagi kami para siswa, berpakaian badut sangat dihindari, karena dinilai kostum yang levelnya rendahlah, hingga tak ada yang mau.

Saat ditanya orang tua dan teman bermain di rumah saya akan berpakaian apa saat pawai, saya hanya dapat merahasiakannya. Pada hari H, kami semua memakai kostum di sekolah, tidak dirumah seperti yang dilakukan orang lainnya. Saya segaja pakai wig, bawa kacamata hitam dengan muka yang dibedaki putih dengan baju layaknya orang hamil. Jadi saat melewati lingkungan rumah saya, tak ada orang yang tahu bahwa saya telah lewat di depan mereka. Keluarga saya sendiri pun saat pawai berakhir dan saya kembali ke rumah, bertanya-tanya apakah saya ikut pawai pada hari itu.

Tapi usai kejadian itu membuat kami jadi waspada. Dengan dalih agar bisa mengamankan rombongan sekolah di sepanjang jalan saat pawai berlangsung, kami menawarkan diri memakai pakaian tentara! Saya sendiri punya stok pakaian tentara kakek saya yang sebelum bekerja di Caltex merupakan tentara di Angkatan Darat. Sementara kawa-kawan lain, meminta surat dari sekolah dan meminjam pakaian tentara yang bermarkas di Dumai.

Kami pun memotong rambut cepak ala tentara. Jadi selama acara, kami yang membawa pentungan dan kayu, menjadi tim penjaga sekolah yang menyuruh warga minggir ke pinggir jalan saat rombongan sekolah kami lewat. Banyak yang menyangka bahwa kami benar-benar tentara, ha.ha..ha, selamat kostum tinggal badut yang memalukan…

Namun saya tak tau apakah kini acara tersebut masih gelar. Karena menjelang era reformasi, pawai kemerdekaan ini tidak pernah lagi dilakukan karena alasan keamanan. Saya berharap kegiatan pawai ini terus berlangsung, karena dengan beginilah suasana Kota Duri yang penuh keakraban akan terbangun. Karena Duri penduduknya terdiri dari berbagai suku, dan kegiatan ini mempunyai nilai positif.***

Selasa, 10 Maret 2009

Kunjungan Wisata ke Negeri Seribu Pagoda (habis)

Patung kuda di Jatuchak market

Duet dengan penduduk lokal

Suasana dinner di tepi pantai nan romantis

Suan Lum Night Bazaar dipenuhi turis

Berebut foto dengan waria

Depan teater Alzacar Show

Surga Belanja yang Banyak Kabaret Kolosal

Jarum jam di tangan menunjukkan pukul 01.00 dini hari waktu Thailand. Tak ada perbedaan waktu dengan Indonesia. Kawasan Patpong di tengah Kota Bangkok yang dipenuhi ribuan kios dan penuh sesak dengan wisatawan mendadak sunyi. Para pedagang sibuk bekerja membongkar kios-kios mereka yang dibuat dari besi bongkar pasang. Pukul 02.00, otomatis jalanan bersih dari pedagang, tinggal satu-dua bar yang masih buka di kawasan hiburan ini.

SIAPAPUN yang ke Bangkok pasti akan mencari Patpong. Kawasan yang merupakan nama jalan ini memang terkenal dengan bermacam hiburan malamnya. Disamping itu, juga jadi idola para ibu-ibu, khususnya dari Indonesia yang terkenal “gila” belanja itu.

Saya yang menginap di The Montien Hotel, berseberangan dengan lokasi ini sengaja duduk hingga dinihari melihat kondisi kawasan tersebut. Saat matahari terbenam, kawasan disini akan penuh sesak. Bermacam barang dan souvenir dijajakan, dan pembelinya hampir seluruhnya adalah wisatawan. Wajah-wajah bule, Cina dan Indonesia, nampaknya tak asing ditemui di tempat ini.

Menghabiskan malam disini juga menyenangkan. Berbagai macam lokasi tempat minum mulai dari berat hingga ringan tersedia. Namun tak afdol rasanya jika tak berkeliling dulu melihat-lihat barang-barang yang dijajakan.

Thailand menjadi daerah belanja barang-barang murah yang banyak disajikan dalam bentuk pasar rakyat. Hari pertama menginjakkan kaki ke Kota Bangkok, usai makan malam, langsung diajak guide berkeliling Suan Lum Night Bazaar. Pasar rakyat yang hanya buka malam ini, dipenuhi kendaraan-kendaraan yang membawa para wisatawan. Tercatat sekitar 3000 kios menjual bermacam barang, terutama souvenir khas Thailand disini.

Ini baru yang sedang, mau tahu pasar yang terbesar? Jatuchak lah namanya. Dengan moto shopping everyday, select whatever you want, di pasar yang diklaim terbesar di Asia ini, semua barang dijual. Mulai dari yang nampak hingga yang tak tampak. Apa itu barang yang tak tampak, mungkin anda akan berpikir-pikir. Barang yang tak tampak itu ternyata jimat. Segalanya dijual disini hingga ada binatang peliharaan segala. Tercatat sebanyak 10 ribu kios memenuhi kawasan ini. Jika dikelilingi maka kaki akan bengkak. Dan hati-hati, kita akan tersesat dan akan lupa jalan masuk jika asyik dengan suasana.

Saya yang mencoba menjelajahi pasar ini hingga ke dalam, tak bisa lagi menemukan jalan keluar tempat bus di parkir. Tak mempan dengan menelpon koordinator rombongan, akhirnya terselamatkan dengan menyewa tuk-tuk dengan harga 40 baht guna mencari lokasi bus yang parkir di depan JJ Mall. Menurut beberapa agen travel yang iktu dalam acara tersebut, mereka sangat berhati-hati jika membawa rombongan ke daerah tersebut, karena akan “keringat darah” mencari jika ada anggota tersesat. Ditambah lagi, jika peserta tak ngerti Bahasa Inggris, alamat akan susah ketemu karena bahasa yang agak dipahami disini setelah bahasa Thai adalah bahasa Inggris.

Kalau membawa uang pun nampak harus banyak jika ingin berbelanja. ‘’Tak bisa sekarung, mungkin sekontainer,’’ canda para wartawan yang ikut rombongan mengingat banyaknya barang menarik dengan harga murah yang ditawarkan.

Masih tak puas dengan pasar tersebut, bisa mengunjungi factory outlet dan bermacam mall. Namun mall agak menarik adalah di Siam Paragon. Di mall ini di lantai dasar terdapat Siam Ocean World, yang katanya akuarium terbesar di Asia. Mirip-mirip Sea World di Ancol, Jakarta. Atau di Royal Garden Plaza Pattaya, yang di lantai atasnya terletak museum Ripleys, believe or not. Semua barang aneh dan langka dipamerkan disini.

Satu hal lagi, selain memiliki bermacam bangunan eksotis, setiap wisatawan di Thailand, selalu disuguhi bermacam pertunjukan kabaret kolosal yang spektakuler.

Di hari kedua kunjungan ke Thailand, sorenya rombongan dibawa melihat pertunjukan spektakuler bernama Siam Niramit. Di kompleks seluas 10 hektare ini terdiri atas kompleks yang dibuat mirip perkampungan warga Siam (Thailand) lengkap dengan contoh orangnya. Kemudian sebuah gedung teater besar berkapasitas 2.000 tempat duduk. Dimana ditampilkan sebuah kabaret spektakuler dan terbesar yang masuk dalam daftar Guiness World tentang kehidupan warga Siam. Para pengunjung yang masuk pun membeli tiket dengan harga akan sama dengan kualitas yang ditontonnya, sebanyak 1.500 baht atau 40 dolar AS per orang atau sekitar Rp600 ribu.

Saya yang mendapat kursi VIP di dalam gedung itu, sempat terkagum-kagum dengan pertunjukkan kolosal yang ditampilkan. Set panggung yang sangat besar, dalam sekejab bisa berubah-ubah latar. Dari latar pagoda, Bperbukitan, kapal besar, perkampungan, istana hingga kondisi waktu hujan petir dimana di dalam ruangan turun hujan lebat serta ada sungai kecil yang dilewati kapal kayu. Sangat spektakuler dan menakjubkan. Pemain dengan kostum-kostum yang wah dan membawa rombongan gajah sekaligus ke atas pentas, menimbulkan decak kagum ribuan penonton. Semua penonton tidak dibolehkan mengambil gambar saat pertunjukkan karena sebelum masuk, semua kamera, handycam dan telepon seluler, wajib dititipkan.

Di lokasi lain, seperti di Noong Nooch, sebuah area taman bunga dan pertunjukkan gajah, juga ditampilkan kabaret zaman kerajaan. Dimana diatas panggung dibuat ring untuk Thai Boxing dengan duel seru sebagai bagian dari pertunjukkan.

Lalu yang jadi jualan menarik lainnya untuk para turis adalah pertunjukan kabaret di Alcazar dan Tifanny Show. Anda mungkin akan terheran-heran dengan pemainnya yang cantik-cantik dan putih mulus. Namun hati-hati, semuanya adalah para waria yang katanya telah berganti kelamin serta memiliki payudara yang mirip perempuan normal. Seorang rekan cewek dari Manado yang duduk disebelah saya saat menonton pertunjukan tak percaya bahwa yang dilihatnya adalah waria. ‘’Wah, cantiknya. Mustahil kalau itu waria,’’ ungkapnya.

Orang-orang akhirnya bisa percaya bahwa yang muncul dalam pementasan adalah betul-betul waria setelah usai pertunjukkan saat penonton bisa berfoto dengan mereka. Setiap kali foto dipungut biaya 40 baht. ‘’Quickly, i have no more time ,’’ ungkap gadis cantik itu dengan suara berat saat seorang wartawan agak lama mengambil foto rekannya yang berpose dengan waria tersebut. Dilihat secara dekat pun, terlihat di bawah bibir sang gadis cantik ini pun masih nampak kumis tipis.

Begitulah Thailand, walaupun memiliki banyak tempat menarik, namun mereka berusaha terus menciptakan tujuan wisata baru yang banyak menarik minat wisatawan untuk melihatnya. Walaupun hanya dengan pertunjukan kabaret dengan pemeran para waria.***

Kunjungan Wisata ke Negeri Seribu Pagoda (1)

Siap-siap melaju

Berleha-leha di kursi jemur

Pantai Coral Islands yang putih

Diramaikan turis dan kedai souvenir

Wisata Alam Pattaya yang Menggoda

“Run, run…,” sang pemandu pun berteriak saat speedboat kecil mulai melaju. Kaki pun bergerak cepat melangkah si atas dek kapal yang sauh di tengah laut depan Kota Pattaya. Parasut pun langsung mengembang dan mengangkat tubuh melayang ke angkasa. Perlahan-lahan keindahan pantai Pataya pun terkembang di depan mata.

LAJU speedboat kian cepat hingga membuat tubuh seakan menjadi sebuah layang-layang. Tali yang mengikat di tubuh dan parasut, lalu ditarik kapal cepat, membuat sensasi lain. Teriakan para wisatawan pun terdengar di depan dan belakang. Belasan tubuh lainnya juga melayang dan menikmati keindahan alam laut salah satu kota tujuan wisata di Thailand ini.

Parasailing, demikian nama ajang permainan tersebut. Semua orang boleh ikut. Cukup merogoh kantong 350 Baht (satu bath sekitar Rp400, red) lalu menyebutkan nomor kamar hotel, kita akan mendapatkan tiket dan cap di tangan kiri. Lalu baju pelampung pun diikat dan tubuh diangkat melayang-layang di udara selama 10 menit. Nun jauh dari udara terlihat plang nama raksasa Kota Pattaya di punggung bukit tepi pantai.

Pada kunjungan hari keempat di Thailand pada pekan pertama bulan Maret, Riau Pos bersama rombongan media dan agen travel dari seluruh Indonesia mengunjungi kota wisata kedua yang banyak dikunjungi setelah Kota Bangkok. Dalam acara Fam Trip yang ditaja Tourism Authority of Thailand bersama dengan Air Asia, rombongan disuguhkan bermacam lokasi wisata dan bermacam pertunjukan spektakuler dari 27 Februari hingga 4 Maret. Dari pagi hingga malam hari, pihak penyelenggara berusaha menampilkan wajah wisata di negara yang tak pernah dijajah ini.

Pada kunjungan ke Pattaya, para peserta diberi kesempatan menikmati wisata laut. Usai makan pagi di Hotel Pattaya Center, rombongan diarak berjalan kaki menuju pantai. Lokasi hotel memang terletak di pinggir pantai, sehingga dengan berjalan kaki sudah sampai ke pinggir laut,. Sebuah speedboat putih, telah menunggu dan rombongan satu persatu pun naik. Handuk mandi diberikan sebagai bekal untuk membersihkan diri.

Laju speedboat yang membelah air terhenti ketika berada di tengah laut. Sebuah kapal yang agak besar dengan dek depan terbuka, terlihat sauh di sana dan dipenuhi orang. Satu persatu anggota rombongan pun menaiki kapal ini dan disambut dengan dengan teriakan histeris para wisatawan yang mencoba parasailing. Memang tak banyak peserta yang mencoba parasailing ini, mungkin sebagian agak takut dengan ketinggian. Namun Riau Pos yang mencobanya, merasakan kenikmatan tersendiri saat melihat keindahan alam kota wisata ini dari udara.

Selesai mencoba parasailing, rombongan lalu bertolak menuju Coral Island. Sebuah pulau dengan pantai putihnya yang indah. Laut yang kebiruan, seakan tak mampu menyimpan pasir putih di dalamnya. Ratusan tenda payung dan kursi untuk berjemur telah menyemut di pinggiran pantai. Dengan berjalan di air laut setinggi lutut, kaki pun menjejakkan pasir putih saat speedboad menurunkan kami. Ratusan wisatawan yang berenang, menggoda diri untuk segera melepaskan baju dan terjun ke dalam birunya air.

Tapi ternyata arena jet ski, nampaknya lebih menggoda untuk dicoba. Dengan mengeluarkan uang sebanyal 500 baht, kemudi pun beralih ke tangan. Menjelang mencapai laut lepas, pemandu yang memegang stir. Tapi ketika sudah keluar dari keramaian, maka kita bisa berpacu menekan gas dalam-dalam. Rasanya seperti ajang balap motor, namun dengan media air. Jet ski akan melompat ke angkasa, jika bertemu dengan gumpalan ombak kecil dan tubuh akan melayang di atas air. Bukannya kita yang jadi takut, tapi sang pemandu yang duduk dibangku depan yang memegang erat tubuh kita, mungkin takut terlepas ke laut. Waktu sepuluh menit pun seakan berlalu cepat saat jet ski kembali diarahkan ke tepi pantai. Untuk kaum hawa, nampaknya banana boat jadi pilihan yang banyak dituju. Namun bersiap-siap basah, sang penarik banana boat, akan berusaha membuat para penumpang kapal berbentuk pisang ini agar jatuh air. Tak usah cemas, penumpang dilengkapi pelampung dan akan mengambang setelah terbalik bersama sang banana.

Berenang di birunya air pun jadi pilihan selanjutnya. Manusia dari berbagai ras campur baur di dalam air. Namun wajah yang banyak terlihat adalah dari negara pecahan Uni Soviet, Eropa dan Cina. 

Menurut Tourism Authority of Thailand Indonesia Rep Office, Indra Nugraha, sebelumnya kawasan Coral Island penuh sesak. Kebanyakan dari bule Aussie. Namun mungkin karena resesi global, jumlah bule agak sedikit menurun. ‘’Pantai Coral Island ini memang jadi tujuan wisatawan yang menghabiskan waktu ke Pataya. Beda dengan pantai Pataya, pantai disini lebih alami dan indah,’’ ungkapnya saat menemani Riau Pos berjemur di pinggir pantai.

Menu ala seafood seperti kepiting, udang, ikan, kerang, tak lupa tomyam, jadi santapan siang wajib di pulau ini. Ratusan penjaja souvenir di depan lokasi tempat makan, rupanya lebih menarik banyak minat turis berpakaian minim untuk belanja. 

Lalu kemana lagi lokasi wisata di Pataya ini? Noong Nooch Tropical Garden jadi jawaban selanjutnya.. Dikunjungi lebih dari 2 ribu wisatawan setiap harinya, kawasan seluas 600 Ha ini, membuat rasa penasaran terhadap apa yang ditawarkannya. Ternyata Noong Nooch merupakan sebuah daerah resort taman bunga terutama bermacam palem, pertunjukan atraksi gajah serta kabaret kolosal Thai yang membawa gajah sebagai aktor ke atas panggung.

Pertunjukan akan dilanjutkan dengan menonton atraksi gajah. Gajah-gajah setinggi pohon ini ditonton ribuan pengunjung di sebuah area mirip stadion mini sepakbola. Berbagai macam atraksi mulai dari gajah naik sepeda, melukis, main sepakbola, basket, bowling, melempar pisau, menari hingga melangkahi penonton pun disajikan. Lalu usai atraksi dengan menaiki bus khusus tanpa jendela, pengunjung dibawa berkeliling taman bunga yang ditata indah di area resort tersebut.

‘’Noong Nooch menjadi tempat wajib yang selalu dikunjungi wisatawan Indonesia yang ikut paket tur,’’ ujar Freddy Wuisan dari travel Agent Asia Holiday yang menangani perjalanan tur rombongan.

Belum juga puas, rombongan dibawa melihat Pataya Floating Market. Di lokasi ini dibuat miniatur pasar terapung masyarakat Thai dengan bangunan rumah dimana air dibawahnya. Duplikat tempat ini sangat mirip dengan aslinya dimana pengunjung bisa berbelanja di pedagang di atas perahunya dengan rumah-rumah yang menjajakan berbagai macam souvenir.  

Memasuki senja hari, makan akan malam pun lalu dilakukan di rumah makan seafood di atas laut, tepi pantai Pataya, dengan pemandangan yang eksotis. Memang, tak puas jika hanya menghabiskan waktu tiga hari di Pataya. Ada sebanyak 72 lokasi yang wajib dikunjungi di daerah ini . Rombongan dalam satu hanya bisa mengunjungi kurang lebih lima lokasi. Apalagi jika dalam sebuah kunjungan lokasi wisata, ada anggota yang terlambat menepati waktu yang telah ditentukan. Agenda lain akan molor karena waktu akan habis sia-sia karena lama menunggu.***



Senin, 09 Maret 2009

Thailand Lage

Takut...

Mendarat dengan sempurna

International Airport Svarnabhumi Thailand

Berangkat Subuh buat mata mengantuk

Ketakutan Jelang ke Negeri Gajah Putih

SEMULA saya sempat khawatir berangkak ke Bangkok guna melakukan peliputan pariwisata Thailand atas undangan Tourism Authority Thailand, pada pekan terakhir bulan Februari ini. Berita-berita menyangkut kondisi negara Gajah Putih ini agak menakutkan pada saat-saat terakhir saya akan berangkat. Ditambah lagi dengan berita demonstran yang menduduki gedung perdana menteri guna melengserkan sang perdana menteri. 


Yang saya takutkan adalah, kejadian beberapa waktu lalu, bisa saja berulang kembali. Dimana para demonstran menduduki bandara udara Svarnabhumi, bandara internasional Thailand yang cukup besar dan megah itu. Mungkin saya tak bisa pulang ke tanah air dan akan terkatung-katung. Ditambah lagi, saya baru pertama kali berkunjung ke Thailand dan berangkat sendiri lagi, tanpa ditemani. 


Karena kode booking tiket sudah di tangan, (pesawat yang saya naiki nampaknya tak perlu tiket, cukup kode booking saja) dan jadwal sudah tersusun, saya pun akhirnya berangkat. Dalam benak saya, jika terjadi kekacauan, maka saya akan langsung ke KBRI di Bangkok, sekaligus melakukan peliputan kondisi terakhir untuk suplai berita desk internasional yang saya gawangi. Saya pun menyiapkan segala sesuatu guna tugas peliputan, mulai dari kamera, alat perekam, kartu pers dan HP comunicator pun saya buka roaming internasionalnya jika sewaktu-waktu perlu cepat bikin berita, bisa saya kirim melalui HP saja. 


Perjalanan dari Bandara Sultan Syarif Kasim II, berjalan lancar hingga transit di LCCT Kuala Lumpur. Di bandara yang khusus untuk penumpang pesawat Air Asia ini, saya melihat antrean menuju pesawat ke Bangkok sangat panjang. Di pesawat pun tak ada bangku yang kosong. Saya pun mulai bertanya-tanya, apa mereka yang ke Bangkok tidak tahu kondisi terakhir di sana? Karena saya lihat wajah-wajah bule dan Cina yang banyak, dan nampak betul mereka ingin berwisata di negeri pagoda itu.


Saat sampai di bandara Svarnabhumi, keramaian makin menjadi-jadi. Semua orang hilir mudik sambil menyeret tas jinjing. Kekhawatiran saya pun akhirnya sirna ketika melihat kondisi kota dari dalam mobil yang membawa saya ke hotel. Hampir tak ada nampak adanya aksi demonstrasi di jalan-jalan yang saya lewati. Semuanya berjalan lancar dengan kondisi jalan dari bandara menuju Bangkok
yang padat merayap. 
Kawasan Patpong, depan Hotel Montiens tempat saya menginap, ramai sekali. Wisatawan dari berbagai ras hilir mudik menikmati hiburan malam dan berbelanja barang-barang ratusan kios yang bertebaran. Saya tak melihat ketakutan yang saya rasakan saat mengedit berita internasional yang saya ambil dari situs-situs luar saat bekerja di kantor. Semua berjalan aman dan lancar. Mungkin saja di tempat lain terjadi aksi demonstrasi menurunkan sang perdana menteri, tapi saya lihat tak berpengaruh banyak dengan kehidupan rakyat dan para wisatawan.


Rombongan kami, sempat lewat di depan kantor perdana menteri saat akan berkunjung ke Grand Palace. Saya tak melihat adanya aktivitas keramaian di sana, malah yang banyak turis asing. Mungkin, itulah hebatnya negara ini, tak terpengaruh banyak dengan kondisi politik. Beda dengan negara kita, yang sedikit saja ada aksi demonstrasi, langsung membuat panik, rupiah turun dan wisatawan pun takut datang.


Tapi dari analisa saya pribadi, saya lihat rakyat Thai sangat patuh kepada rajanya. Jadi mungkin saja perdana menteri bisa berganti, tapi wajah sang Raja tetap berkibar dimana-mana dan jadi panutan rakyatnya. Bahkan saat menonton di bioskop, sebelum film dimulai, penonton harus berdiri dulu mendengarkan lagu Long Live the King untuk sang raja. Mungkin ini contoh baik negeri tetangga yang bisa diterapkan di negara kita.***

Jumat, 06 Maret 2009

Kenikmatan Dunia

Menghabiskan waktu di luar ruangan lantai tiga Ramayana restauran

Merokok di tepi jalan habis makan di Suan Lum Nigh Bazzar, Bangkok

Ahli Hisap

Harry terlihat gugup. Ia buru-buru mematikan rokok yang baru dihisapnya di sebuah pot penuh pasir putih yang biasanya diletakkan di depan lift. Saking takutnya, ia menimbun rokoknya dengan pasir dalam tempat sampah itu. “Kan tak nampak lagi bekasnya,’’ katanya.

WAJAR saja teman saya ini agak takut saat saya bilang, tak boleh merokok di lorong hotel ini. Karena jika ketahuan, akan didenda sebanyak 2.000 baht. Jadi ketika mendengarkan itu, ia pun buru memasukkan rokoknya ke dalam timbunan pasir, pot sampah depan lift.

Memang susah kalau kecanduan nikotin. Apalagi jika melakukan perjalanan di luar negeri. Seperti di Thailand, seperti yang saya jalani beberapa hari lalu. Sebagai salah seorang penggemar berat rokokGP, (sekarang tinggal saya satu-satunya penggemar GP di kantor), tak merokok serasa hidup tak nyaman. Memang semua perokok tahu bahwa merokok merugikan kesehatan. Namun kalau sudah kecanduan, gimana lagi. Yang paling susah kalau selesai makan, lagi minum kopi atau saat duduk santai. Jika tak ada rokok rasanya seperti sayur kurang garam.

Saat transit pesawat di LCCT terminal Kualalumpur Malaysia, saya semula agak takut merokok. Satu jam dalam pesawat, ditambah setengah jam menunggu bagasi, membuat mulut rasanya asam dan ingin disentuh asap. Keluar dari ruang kedatangan, saya duduk di ruang tunggu yang kebetulan berada di jalan karena gedungnya dalam perehaban. Saya pun bertanya kepada seorang “keling” yang jadi petugas kebersihan apa boleh merokok di tempat tersebut. “Boleh ncik,’’ katanya sambil meraih rokok GP yang saya sodorkan ke tangannya. Maka mengepullah asap ke udara.

Saat makan siang di lokasi tersebut, saya beruntung memiliki teman yang juga satu rombongan dari Solo. Usai makan di ruang ber AC, kami pun bekumpul di bangku besi ditengah teriknya matahari guna menikmati candu nikotin. ‘’Ahli hisap berkumpul kembali,’’ canda kami.

Sebagai bekal di luar negeri, kami pun membawa banyak stok rokok. Karena rokok di Indonesia tak ada dijual. Kalau pun ada, mungkin rasanya tak sama karena buatan negara tersebut, seperti mild-nya Malaysia beda rasanya dengan mild-nya Indonesia. Saya agak beruntung punya teman dari Padang yang juga sama-sama penggemar GP. Lucunya, saat di bandara LCCT ketika pulang kembali ke Indonesia, saya bermaksud membayar utang karena sebelumnya saya pinjam uangnya untuk beli minuman. Namun ia menolak uang Baht saya. ‘’Bayar saja dengan rokok GP bang. Rokok marlboro yang saya beli ini ntah apa rasanya,’’ pintanya.

Di Thailand, orang tidak boleh sembarang merokok. Pokoknya di dalam ruangan yang ramai dengan orang, ruang ber AC, dalam bus, bahkan bar dan tempat hiburan malam, sama sekali tidak boleh merokok. Kalau ingin merokok, maka terpaksa ke luar dulu dari ruangan dan duduk sendiri di pinggir jalan menikmati asap. ‘’Merokok boleh di pinggir jalan. Kalau ada asbak besar terletak, maka merokoklah disana,’’ ujar guide kami mengingatkan.

Untuk hotel, hampir 70 persen melarang tamunya merokok dalam kamar. Tapi untung Hotel Montiens tempat saya menginap di Bangkok dan Hotel Pattaya Center di Pattaya menyediakan asbak dan korek api dalam kamarnya. Berarti tamu bisa bebas merokok dalam kamar tersebut.

Yang tak enaknya kalau duduk di bar atau tempat santai yang menyediakan minuman serta hiburan malam. Pengunjung sama sekali dilarang merokok. Jadi tak ada enaknya duduk ngopi atau minum bir sambil ngobrol, tapi tak bisa merokok. Jadi tak enak dan malah kangen dengan negara kita Indonesia yang bisa bebas.

Harga rokok yang ditawarkan di supermarket dengan nama 7eleven yang tersebar di seantero Thailand, tergolong mahal. Dan yang disediakan pun rokok-rokok kelas dunia seperti Marlboro, Lucky Strike, Dunhill dan sejenisnya. Tak ada dijual rokok kretek. Mungkin nampaknya rokok kretek hanya dijual di Indonesia.

Jadi setiap kali kami turun bus dan berkunjung ke sebuah lokasi wisata, yang pertama kali dicari setelah WC adalah lokasi rokok. Jika ingin ketemu anggota rombongan laki-laki, maka carilah ke tepi jalan, tempat asbak rokok seperti tong sampah tersedia. Demikian juga saat habis makan, rata-rata kursi akan kosong ditinggalkan para lelaki. Anggota yang lain sudah tahu kemana sang ahli hisap menghilang.

Terakhir saya merasa susah saat menginap di Hotel Golden Horses. Sebuah resort mewah dengan hotel berbintang lima saat transit satu hari di Malaysia. Tak boleh sama sekali merokok di semua lantai 7 tempat kamar kami berada. Tapi saya tak menyerah, malam-malam kami membuka jendela dan merokok di balkon kamar hotel sambil menikmati sinaran lampu menara kembar yang berkelip-kelip dari kejauhan.

Guna melepas dendam, saat sampai di bandara Sultan Syarif Kassim Pekanbaru, saya tak langsung menuju rumah. Saya masuk dulu di coffe shop bandara dan memesan kopi hitam panas. Saya pun memuaskan hasrat merokok dalam ruangan ber-AC sambil ditemani segelas kopi kental. Aduh, nikmat rasanya dan saya habiskan waktu hampir dua jam disana. Karena kalau di rumah saya, ada peraturan tak tertulis dari sang tuan rumah, dilarang sama sekali merokok. Bahkan saya agak takut merokok jika terlihat olehnya. Biasalah, sang istri…..***


Kamis, 19 Februari 2009

kampung halaman

Simpang Pokok Jengkol dengan landmark tugu jam

Kini warga Duri sudah bisa berbelanja di Plaza Ramayana

Kawasan Sebanga yang jalannya kini sudah diaspal

Pasar Duri, kini mulai tertata

Rakha bermain di depan rumah oma di Duri

Duri Kota Tercinta (1)

Bau apa yang paling anda suka di muka bumi ini. Bau bunga rose, melati, sakura, akar wangi, kulit manis, udara pegunungan, embun di pagi hari atau yang lainnya? Itu terserah, tergantung selera yang bersangkutan. Namun kalau ditanya kepada saya, saat ini saya merindukan bau tanah aspal minyak yang sedang digeledor. Lho bau apa itu?

MEMANG tak banyak yang tau akan bau khas ini. Mungkin hanya warga yang tinggal di lingkungan daerah minyak yang bisa mengenalinya. Baunya sangat menyengat dan bisa dikatakan tidak enak buat sebagian orang, seperti bau-bau taik anjingg…. Namun tak sebauk itulah, agak wangi sedikit lah dan agak khas. 

Sekarang saya tak bisa lagi menikmati bau itu, karena sesuai dengan undang-undang lingkungan hidup, minyak bekas pengeboran, yang kami sebut minyak mentah, dilarang disebar di jalan. Dulu di kampung saya, Duri, hingga tahun 80-an akhir, jalanan belum diaspal seperti sekarang. Yang ada hanya jalan tanah, kemudian diberi minyak mentah oleh mobil tangki. Hingga minyak di jalan tanah tersebut mengering dan tampak seperti layaknya aspal atau tar. Jika hujan mengguyur, maka jalan tersebut minta ampun licinnya. Sampai-sampai mobil yang lewat di atasnya, roda ban harus dibalut dengan rantai besi agar kuat mencengkeram jalan dan tak terpeleset.

Parahnya lagi, jika jalan tersebut diperbaiki. Menggunakan kendaraan berat yang kami sebut geledor. Mobil full besi ini dengan pengais besi di tengah kendaraan dan ban sebesar lubang sumur, sibuk meratakan jalan agar datar. Saat geledor mengais jalan ini, maka akan muncul bau khas yang hingga saat ini saya rindu untuk menciumnya lagi. Kemudian akan diakhiri dengan sebuah mobil tangki berisi minyak mentah menyerakkan ke sekujur badan jalan. Setelah itu, jalan akan sulit dilewati. Ban sepeda motor dan mobil akan penuh kerak minyak jika memaksakan diri lewat di sana. 

Dulu, saat geledor beraksi, saya betah duduk berlama-lama memperhatikan para pegawai Caltex (sekarang Chevron) bekerja sambil menghirup bau itu. Asyik juga melihat mobil besar mondar-mandir. Bahkan kadang-kadang, kami mencuri besi anak pengais tanah yang selalu diletakkan dibelakang mobil, untuk main-mainan. Anak pengais itu kami sebut mobil besi, karena bentuknya mirip mobil sedan.

Saya bersekolah di SD milik Caltex yang terletak di daerah Sebanga. Semua om dan tante saya bersekolah di sana. SDN 003 Talang Mandi Duri, menjadi sekolah kami sekeluarga. Bahkan ada guru SD saya yang dulu merupakan teman sekolah ibu. Kami yang tinggal di daerah Simpangpadang, jika ke sekolah, dijemput oleh sebuah bus. Kami namakan bus kingkong. Ini karena bus yang diimpor dari Amerika itu seluruhnya terbuat dari besi, kecuali roda dan kacanya mungkin. Badan bus hingga tempat duduknya, semuanya dari besi metal.

Ada titik-titik penjemputan bus yang memutar mulai dari Simpang Pokok Jengkol-Jalan Hang Tuah-Desa Harapan-Jalan Sudirman-sekolah kami. Kebetulan tempat pemberhentian bus berada di depan rumah kami di simpang Muhammadiyah, Jalan Sudirman. Jadi saya tak repot jauh-jauh jalan kaki menunggu bus itu. Bus akan penuh sesak oleh murid SD hingga banyak yang berdiri. Paling enak kalau berdiri di belakang cewek. Jadi kalau bus ngerem mendadak, maka semua yang berdiri akan jatuh dan kita akan menimpa si cewek tadi, he.he dasar…

Saat duduk di kelas tiga, kemudian dibuat terminal di daerah Pokokjengkol. Kami yang tinggal di luar area perumahan Caltex, harus jalan kaki ke terminal untuk naik bus ke sekolah. Kali ini busnya sudah lebih manusiawi. Kami namakan bus panjang karena berupa truk panjang dengan gandengan. Di gandengan itu kami duduk dengan kepala bus di depannya. Tempat duduknya sudah sofa dan agak bertingkat di bagian depan. Untuk yang duduk di depan biasanya anak perempuan dan kami laki-laki duduk di belakang. Jadi kalau bus belok maka perempuan yang duduk didepan akan langsung seperti berhadapan dengan jalan karena kepala bus hilang .

Saat itulah oplet mulai muncul karena banyak juga yang tidak lagi menaiki bus lagi. Kami yang tinggal sekitar terminal bus yang memakai alat transportasi ini. Saat itulah Kakek saya, kami memanggilnya Papip, pindah ke perumahan Caltex di Kompleks Dempo no.66. Hingga saya dan orang tua lah yang menunggu rumah papip di dekat simpang Muhamaddiyah, Simpangpadang Duri.

Yang lucunya, saya masih ingat, kami sangat musuhan dengan sekolah Imanuel yang berjarak sekitar satu kilometer dari sekolah kami. Saat melewati sekolah kristen yang banyak dihuni anak-anak suku Batak, perang pun pecah. Adu perang tembak karet gelang pun tak terelakkan. Sampai-sampai saling lempar batu pun terjadi. “Imanuel, tidak laku, imanuel, tidak laku…” terus diteriakkan jika melewati sekolah ini. Teriakan kami pun mereka balas,” SD negeri, tidak laku, SD negeri tidak laku.” Tapi perang hanya terjadi saat kami dalam bus. Jika diluar bus, kami biasa-biasa saja. Dan bus kami pun beda dengan bus mereka.

Bus sekolah yang menuju ke kompleks Caltex lebih bagus lagi. Bus-nya seperti bus AKAP sekarang ini, namun lebih pendek. Saya malah lebih sering naik bus ini ke rumah Papis setelah pulang sekolah. Di rumah papip di kompleks Dempo, saya punya dua sahabat akrab bernama Daniel dan Akhiruddin. Kami yang satu kelas jadi akrab karena satu kompleks tempat tinggal. Siangnya kami habiskan dengan main-main, cari belalang lalu dibakar dan dimakan, main perang-perangan di lapangan tenis dan main petak umpet di rumah kosong. Sorenya saat papip pulang kantor, setelah mandi, saya pun diantar pulang ke rumah.

Pada hari Jumat, ibu dan adik-adik selalu datang ke rumah papip. Jadi kami pun tidur di sana. Saya paling suka kalau hari Jumat tiba, karena ibu akan selalu buat kue yang enak di sana. Dan saya pun bisa main-main sampai malam dengan teman-teman. Kami pun sampai masuk ke daerah terlarang, dimana banyak terdapat mobil-mobil bekas dan mobil yang hancur akibat kecelakaan milik Caltex. Disini kami ambil speedometer, stir atau barang-barang yang bisa dijadikan mainan. Malah pernah dikejar sekuriti hingga kami kalang-kabut ke rumah masing-masing.

Bapak saya dulu bekerja di bidang transportasi. Kami punya dua mobil, satu mobil merek Datsun yang dijadikan oplet dan satu lagi merek Hiace yang dijadikan angkutan umum dari Duri ke Pekanbaru. Kadang-kadang mobil datsun kami disewa untuk mengangkut pekerja kontraktor Caltex ke lokasi-lokasi pengeboran. Kadang-kadang saya diajak jika menjemput mereka. Namun pernah saat bapak pulang makan siang, saya sembunyi di bawah jok belakang dan terbawa bapak ke lokasi pekerja di tengah hutan belantara. Tentu saja bapak saja berang ketika tahu ada saya di dalam mobil dan terbawa jauh hingga ke tengah hutan belantara.

Karena nenek (ibu dari bapak) naik haji, bapak saya pun menjual mobil kami. Bapak mulai bekerja di perusahaan minyak, mengikuti jejak papip saya. Sejak itulah, ritual pulang kampung ramai-ramai sekeluarga pun tak lagi dilakukan. Biasanya saat hari raya, kami sekeluarga besar, ramai-ramai pulang kampung ke Bukittinggi, kampung papip dengan mobil kami itu. Setelah pernah sekali pergi dan itu dengan mobil orang lain.

Kota Duri pada tahun1980-an, saya rasa penuh kedamaian. Penduduknya tidak banyak. Duri kala itu dibagi menjdi tiga daerah. Sebanga, Simpangpadang dan kompleks Caltex. Yang paling banyak penduduknya adalah daerah Simpangpadang. Disini terdapat konsentrasi penduduk, pasar, rumah sakit, kantor polisi, kantor pos dan bioskop. Ada dua bioskop yang terkenal saat itu, Alhamra di belakang pasar dan Murni di pinggir jalan Sudirman dekat Jalan Nusantara. Bioskopnya tidak beratap. Jadi kalau hujan, penonton pun minggir ke dan berteduh ke tepi.

Masih ingat ketika saya pertama kali dibawa bapak nonton di bioskop Murni. Waktu itu film Dono. Hanya lima menit saya serius nonton, setelah itu saya tertidur. Terpaksalah saya digendong bapak pulang.

Kalau libur sekolah, saya biasanya dijemput tante saya yang tinggal di Minas. Kadang-kadang diantar nenek saya dengan bus, lalu ditunggu mobil combi (kayak taksi sekarang) di simpang pos, lalu bergerak ke kompleks Anggrek, tempat perumahan tante tinggal. Biasanya saya disini agak lama, bisa hampir sebulan. Tante saya paling jago main bowling. Setiap sore ia berlatih bowling di club. Jadi hampir setiap sore, tante bermain bowling, saya dan sepupu berenang di club tersebut. Habis berenang, selalu ditemani sebuah hamburger dan segelas teh dingin. Kadang-kadang, waktu saya habiskan di library depan club. Saya yang hobi membaca, memuaskan hobi di library yang tak banyak pengunjung ini, namun dipenuhi banyak buku bagus.

Kalau lagi suntuk, tante mengajak ke Pekanbaru. Kami naik bus caltek melewati Rumbai lalu berhenti di terminal tepi sungai Siak. Lalu rute bus dilanjutkan ke samping bisokop Latifa Pasar Pusat. Kala itu yang paling ngetop tempat belanja adalah Ramanda, di samping kantor Telkom Pekanbaru. Lalu jalan-jalan di seputar Pasar Pusat.****




Senin, 16 Februari 2009

Tentang Rakha

Hello, i'm Rakha

Rakha di hari ulang tahun

Rakha saat di hotel

Smile boys...

Rambut Rakha sekarang

Beginilah rambut Rakha di umur empat bulan

Hmm, tenang ya...

Ayo nunduk, sang ladies mencoba membujuk

Dua pemotong rambut pun turun tangan

Membujuk Rakha biar tenang, koran pun jadi korban

Rakha dengan rambut baru di umur 8 bulan

Potong Rambut

Setiap kali habis dari ruang menyusui saat kami berbelanja di mal, istri saya selalu saja cerocos bercerita tentang kesalahaan para ibu-ibu di ruangan tersebut. Kemarin saat, jalan-jalan ke Mal Ska, hal itu kembali terjadi. Ia nampaknya kesal.

MASAK, para ibu itu memanggil kakak sama anak kita. Saat dibilang Rakha laki-laki, langsung aja ibu-ibu minta maaf. “Eh laki-laki ya, habis wajahnya manis”. Padahal Rakha kan pakai baju laki-laki,’’ ujar my wife bercerita sepanjang jalan.

Bukan satu atau dua kali istri saya mengatakan hal tersebut. Namun saya hanya bisa memberikan argumentasi. “Mungkin saja karena mereka melihat rambut Rakha yang panjang. Jadi disangka perempuan. Kan jarang ada anak laki-laki yang rambutnya panjang,’’ ujar saya.

Memang, anak saya Rakha memiliki kelebihan di rambutnya. Sejak baru dilahirkan, rambutnya sudah tebal. Pada umur lima bulan, rambutnya sudah sampai menutupi kedua matanya. Kami belum berani memotongnya karena menunggu acara akikah, yang merupakan acara selamatan sekaligus potong rambut. Saat akikah pada bulan Agustus tahun lalu, barulah rambut Rakha dipotong oleh opa dan omanya dan keluarga lainnya.

Sebulan setelah acara akikah, kami pun memotong rambutnya. Saya semula bingung, kalo bayi potong rambutnya dimana ya? Namun setelah mendengar cerita teman-teman, akhirnya kami pun membawa Rakha potong rambut di Johnny Andrean. Agak susah memang memotong rambutnya. Karena saat itu ia merasa tak nyaman saat gunting sang ladies pemotong rambut singgah. Ia bergerak ke kiri dan ke kanan. Kemudian diiringi dengan pekikan dan desahan.

Terpaksalah sebuah koran jadi mainan dan habis digigitnya. Sengaja kami kasih koran karena Rakha biasanya matanya akan berbinar-binar melihat koran atau majalah. Kalau di rumah, janganlah coba-coba meletakkan koran di bawah. Akan habis dilumatnya. Malah majalah Rolling Stone yang baru saya beli, hancur tak karuan dengan cover robek-robek karena lupa meletakkan jauh dari jangkauannya.

Hingga ketika pulang kampung saat hari raya, Rakha sudah berambut baru dan kelihatan macho. Setelah itu, rambutnya pun tak pernah tersentuh gunting lagi. Akhir pekan kemarin, saat ke rumah neneknya di Hasanuddin, sang mami pun kena marah sama sang nenek. ‘’Satu permintaan ibu, tolonglah rambut si Rakha ini dipotong. Tengoklah, rambutnya sudah sampai ke mata. Nanti kalo dibiarkan, lama-lama jadi juling,’’ sergahnya.

Kami yang baru pulang weekend dari hotel pun tak bisa berkata-kata. Akhirnya, Rakha pun menjalani prosesi potong rambut yang kedua di usianya satu tahun. Karena malas ke mal, kami pun membawanya ke tukang pangkas pria. Maka rambut Rakha pun dipermak lagi. Kali yang memotongnya cowok, bukan cewek Tionghoa. Namun karena sudah satu tahun, ia tak lagi lasak saat saya gendong ketika potong rambut.

Namun setiap kali habis potong rambut, saya selalu rindu dengan anak saya yang berambut agak panjang dan awut-awutan. Saat rambut pendek, ia kelihatan terlalu dewasa.***


Rabu, 11 Februari 2009

Ultah

Hallo para blogger sedunia

 Ayo tiup kuenya..

Blackforrest pertama Rakha

Muahhhh, jadi ngantuk....

 Ini apa ya..




Genap Setahun

Jauh hari sebelum datangnya tanggal Sepuluh Februari tahun ini, istri saya mulai sibuk. Selalu saja nanya-nanya. Ia seakan tak sabar untuk merayakan ultah anak kami semata wayang. Namun karena tidak mendapat respon dari saya, ia pun jadi kesal.

‘’MASAK anak baru satu, tidak dirayakan ulang tahunnya, Keterlaluan papimu ini ya Kha,’’ katanya sambil memberi makan Rakha sambil bersungut-sungut. Sementara saya sibuk memencet-mencet tombol tivi pada pagi yang diselimuti gerimis itu.

Istri saya rupanya kesal karena saya bilang bahwa saya dulunya tak pernah ada acara ulang di keluarga kami. Ia tambah marah saat saya katakan kalau acara ulang tahun itu adalah budaya agama lain. ‘’Mana pulak tahu si Rakha ini acara ulang tahun-ulang tahun. Kalau sudah ngerti dia boleh lah kita rayakan,’’ ujar saya sambil memeluk bantal dengan menjawab sekenanya.

Sang istri pun malah tambah beringas. ‘’Ya kalau tak mau merayakannya, biar kami berdua yang merayakan. Memangnya kami tak bisa, ya Kha,’’ katanya kepada Rakha yang lagi sibuk merangka ke sana kemari.

Ulang tahun, memang merupakan hari yang bersejarah dan patut dikenang dan dirayakan. Saya tak sejahat itulah tidak merayakan ulang tahun anak kami ini. Sudah susah-susah mendapatkannya, tak mungkinlah saya tak meprehatikannya. Namun jika berbeda pendapat sedikit saja mengenai anak, istri saya langsung sewot.

Saat saya katakan Rakha nanti akan saya jadikan pemusik dan harus pintar main gitar dan piano di umur lima tahun, langsung dibantahnya. Ia ingin Rakha jadi dokter. Pokoknya jadi dokter. ‘’Biar tak seperti maminya yang kuliah salah jurusan,’’ ujarnya.

Namun pada intinya, ia selalu memberi yang terbaik kepada anak kami ini. Bahkan perkembangannya pun selalu diawasi dengan perasaan cemas.

‘’Kenapa ya gigi Rakha belum juga tumbuh. Umurnya khan sudah hampir satu tahun,’’ tanya istri beberapa hari lalu kepada saya. Atau sebelumnya, ia begitu khawatir anak kami belum juga telungkup atau belum juga merangkak atau yang lain-lainnya. Mungkin begitu ya naluri sang ibu melihat anaknya.

Kembali kepada acara ulang tahun tadi, akhirnya acara pun kami rayakan untuk lingkungan keluarga saja. Pada tanggal sepuluh itu, saya sudah usahakan untuk bangun cepat. Namun karena pulang kantornya jam tiga pagi, mata saya agak susah terbuka. Walaupun sebelumnya saat Subuh tubuh saya sudah dipanjat-panjat, hidung dikorek-korek dan kepala diinjak-injak Rakha, saya hanya bisa pasrah.

Sudah jadi kebiasaan, Rakha pada jam 4 pagi ia sudah bangun. Ia akan mengelilingi kamar dan bermain-main sendiri. Jadi maklum saja jika kakinya bisa sampai ke mulut atau duduk dia atas kepada kita yang ketika itu masih terlelap. Sampai bosan, baru ia kemudian merengek. Giliran ke luar kamar wajib untuk dilakukan dan wajib pula memutar DVD lagu anak-anak. Rakha akan diam selama satu jam menonton sampai ia kemudian minta mimik dan akan tertidur hingga pukul 8 pagi. Begitu setiap harinya.

Tapi pagi tanggal sepuluh itu, mami dan Rakha sudah siap untuk berangkat. Tinggal saya yang dengan masih separuh mengantuk mencoba-coba dinginnya air di kamar mandi. Hari ini kami akan merayakan Ultah Rakha di rumah neneknya. Sebelumnya, Rakha sempat ditimbang dulu di Posyandu dan dapat vitamin A. Karena memang jadwalnya ia ditimbang bulan ini.

Sampai di rumah nenek, para sepupu yang sering agak anarkis sudah berkumpul. Termasuk tante-tantenya. Karena sudah jadwalnya makan siang, maka rombongan pun bergerak makan-makan dulu di D’Cost. Itu, lo tempat makan seafood dengan motto mutu bintang lima, harga kaki lima. Tapi tetap tidak murah juga, mungkin harga kaki lima yang jualan di dalam mall ya….

Rencananya sekalian potong kue tart di tempat makan. Namun batal dilakukan karena negosiasi yang ketat dan diawasi mata para sepupu yang agak beringas, akhirnya kue tart pun dibawa pulang. Namun sebelum pulang, arena permainan akan harus disinggahi dulu. Ya terpaksalah, harus sabar-sabar memegang keponakan istri yang lagi lasak-lasaknya. Pokoknya, arena permainan itu bisa bikin mata bocah-bocah jadi liar. Coba sana, coba sini. Saling rebutan pun tak terelakkan, he.he… Kalau lama-lama disini, bisa berabe nih.

Akhirnya rombongan pun pulang juga. Tak terasa hari sudah beranjak Maghrib. Sampai di rumah nenek, para tamu kecil pun tak kuat menahan nafsu melihat kue tar di meja. Maka acara nyanyi selamat ulang tahun dan potong-potong kue pun dilakukan. Sayang saya harus segera berangkat kerja dan meninggalkan Rakha dan maminya nginap di rumah nenek. Terpaksalah saya malam itu tidur sendiri di rumah. Namun asyiknya, pagi hari saya bisa hidupkan Metalicca, Koil dan Netral dengan suara yang full. Tidak kecil-kecil lagi. Serasa hidup di rumah kos dulu rasanya…***