Kamis, 03 Juli 2008

ini politik bung



Kendaraan Politik

APA sebenarnya yang paling menarik di ranah Pilkada Riau akhir-akhir ini. Kalau kita mulai bicara masalah kendaraan politik menjelang Pilkada, pasti yang terbayang di kepala orang adalah partai politik. Karena partai politik menjadi idola dan diperebutkan untuk menjadi "perahu" saat pasangan calon bersepakat maju dan bersaing merebut kedudukan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Namun kali ini yang akan dibahas dan banyak membuat geli teman-teman saya adalah "kendaraan politik" para calon saat akan mendaftarkan diri maju ikut Pilkada ke KPU Riau, beberapa waktu lalu.

Memang ini masalah sepele, namun menjadi hal yang dibahas serius oleh teman-teman saya. Saya semula tidak begitu memperhatikannya, namun karena teman-teman membahasnya secara serius, saya pun jadi tertarik. ''Lucu saja rasanya saya melihat sang calon gubernur naik bajaj dan ojek motor atau bendi. Mungkin maksud hati ingin menarik hati rakyat, namun ternyata malah banyak yang tak simpatik,'' demikian ungkap salah seorang teman sambil menyeruput kopinya.

Ya, memang "kendaraan politik" yang dimaksudkan disini adalah angkutan yang digunakan pasangan calon saat mendaftar ke KPU Riau. Ada tiga pasangan calon gubernur dan wakil yang mendaftar ke KPU Riau, beberapa waktu lalu. Dua pasangan calon pada Senin lalu, usai melakukan deklarasi, bersama rombongan pendukung berangkat mendaftar ke KPU. Yang satu menaiki becak motor yang dihiasi rumbai-rumbai, secara beriringan melewati jalan protokol menuju Jalan Gajah Mada, dimana markas KPU berada. Pasangan kedua, walaupun terlihat ada bendi dengan kuda, namun nampaknya memutuskan berjalan kaki di tengah kemacetan kota di jalan protokol. Hari selanjutnya, pasangan calon lain memilih bajaj. Angkutan umum yang kini tergerus oleh lajunya transportasi modern ini, seakan menjadi raja sehari dalam arakan-arakan di jalan protokol.

''Tapi coba lihat beberapa hari setelah itu. Naik apa para calon ini berangkat ke RSUD dan RS Jiwa saat memeriksa kesehatan mereka. Naik mobil mewah, Camry, Land Cruiser, Innova atau
lainnya. Saya malah akan simpatik jika mereka naik mobil mewah ke KPUD dan naik kendaraan umum saat memeriksa kesehatan,'' kata sang teman yang lain lagi menyambung pembicaraan.
Wah, makin seru nampaknya "rapek mancik" di kantin ini. Saya pun dengan lugunya bertanya, apa tidak boleh menaiki angkutan umum saat mendaftar. Pertanyaan saya ini pun serentak dijawab oleh teman-teman dengan jawaban sama, "boleh".

''Tapi ini khan namanya pembodohan, seakan-akan mereka merasakan penderitaan rakyat. Tapi sebenarnya tindakan mereka itu malah melanggar aturan. Menaiki angkutan umum roda tiga dan bendi kuda, menurut aturan dilarang keras melewati jalan protokol di kota ini dan bisa ditangkap. Lalu, kenapa mereka-mereka ini tak ditangkap aparat kepolisian, Dishub ataupun mungkin Satpol PP yang terkenal garang tak menetu itu,'' kata sang kawan berkepala plontos ini menggebu-gebu, hingga air ludahnya pun mampir di kening saya.

"Betul itu, kenapa tidak naik sepeda saja kemarin. Sekalian mengkampanyekan program penghematan energi dan global warming. Itu baru aku dukung,'' kali ini rekan dari daerah utara ikut bersuara.

Saya pun ikut merenung dan mencoba meresapi kata rekan-rekan saya ini. Memang, saat genderang Pemilu atau Pilkada ditabuh, maka rakyat pun jadi jualan yang akan laku dimana-mana. Semua calon kalau ditanya program, pasti dan jelas yang paling utama adalah memperhatikan nasib rakyat. Terutama rakyat kecil, kaum marginal kota, tukang becak, petani miskin, nelayan, buruh dan segala yang kecil lainnya. Masyarakat pun lalu dihibur dengan orgen tunggal, penyanyi dangdut seronok, baju kaos gratis, pembagian sembako hingga fogging. Semuanya calon berebut-berebut berkunjung ke pasar-pasar tradisional, rumah-rumah warga dan tempat ibadah.

Hal ini terus terjadi dan berulang. Setelah semua berakhir, rakyat tetap seperti semula dengan kehidupan yang serba sulit. Minyak tanah langka, harga sembako melangit, ongkos angkutan umum yang naik, lapangan pekerjaan susah, biaya pendidikan mahal, pungutan liar PNS saat mengurus surat-menyurat tak juga reda, korupsi pejabat yang tetap marak, dan segala tetek bengek yang saat kampanye dijanjikan akan diberantas, masih tetap bercokol.

Lalu timbul pertanyaan, apa ada yang salah di balik semua ini? Uang rakyat ratusan miliar dari APBD untuk "pesta demokrasi" ini pun menguap bak air diteteskan di tengah padang pasir. Hasilnya hanya melanggengkan kekuasaan yang notabene banyak tidak berpihak kepada mayoritas nasib rakyat kecil yang katanya diperjuangkan. Yang kemudian terjadi hanya upaya menghabiskan kembali uang rakyat untuk biaya politik yang telah dikeluarkan untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Lalu setelah kekuasaan itu berakhir, jeruji besi pun menanti. Astaghfirullah.