Kamis, 16 Juli 2009

catatan akhir pekan



Menunggu Gebrakan Sang Idrus


Dahulu, ketika baru bekerja walaupun belum diwisuda, di sebelah kamar kos saya tinggal seorang PNS yang baru diterima di sebuah departemen perwakilan pusat di Kota Bertuah ini. Sang pemuda ini berasal dari Medan dengan logatnya yang khas. Ia mengaku lulus ujian dari ribuan peserta yang memperebutkan posisi strategis di sebuah departemen yang selalu berhubungan dengan uang.


Semula ia bingung, dan mencoba beradaptasi dengan Kota Ber­tuah yang menurutnya miskin dengan hiburan. Maklum sang kawan ini sebelumnya menempuh jenjang pendidikan di Kota Kembang yang terkenal dengan julukan paris van java. Jadi ia merasa Kota Bertuah ini terasa kecil geliatnya dan miskin dengan hiburan.

Setelah beberapa bulan, saya lihat kawan ini agak bergairah. Saat pulang dari kantor di malam hari, saya mulai jarang mene­muinya di tempat kos. Saya pikir, ia mungkin sudah mendapatkan pacar, jadi agak sering keluar malam. Namun saat pulang di malam hari, malah ia membawa teman cowok sekantor. Maka dugaan saya ia pergi ke rumah pacar pun sirna.

Iseng-iseng, saya pun bertanya kemana saja mereka pergi di malam hari karena jarang saya temui pintu kamarnya terbuka saat saya pulang ke rumah. ''Kami serasa berada di tempat antah beran­tah. Seperti menonton keajaiban zaman dahulu,'' kata sang teman.

Saya pun agak bingung apa maksud perkataannya. ''Maksudnya apa nih,'' tanya saya sambil mencoba mengorek keterangan lebih dalam saat kami duduk berdua di beranda lantai atas paviliun kos kami.

Sambil memetik-metik dawai gitar, ia pun bercerita bahwa mereka kini mulai gandrung dengan pertunjukan bernuansa budaya Melayu yang sering digelar di Teater Arena Balai Dang Merdu. Semula, ia dan temannya tak sengaja berkunjung ke lokasi terse­but. Saat memasuki gedung itu, mereka pun seperti tersihir meli­hat ada pertunjukkan yang sangat menarik hati tersebut.

''Kami seperti berada di opera zaman-zaman dahulu. Sangat menarik melihat pertunjukkan orang-orang kesenian ini,'' ungkapn­ya.

Sejak saat itu, saya maklum jika saat pulang malam hari lampu teras kos kami belum dihidupkan. Bisa dipastikan sang kawan sedang menikmati hiburan kesukaannya. Waktu kebersamaan kami pun mulai beralih di hari libur, dimana kami jogging memutari lapan­gan di bekas areal MTQ. Setiap Minggu sore, kami pun menghabiskan waktu berlari mengitari lapangan bekas tempat upacara pembukaan MTQ.

Kini, teman saya itu sudah pindah ke Jakarta. Setelah meni­kah, kami pun masing-masing meninggalkan rumah kos. Namun saya tak tau, apakah ia masih gandrung menikmati kesenian Melayu. Sejak keluar dari kos, akibat kesibukan masing-masing, kami mulai jarang behubungan lagi.

Ia mungkin tidak tahu bahwa lapangan tempat kami jogging dulu kini telah menjulang megah gedung teater tertutup dengan nama Anjung Seni Idris Tintin. Gedung besar berasitektur Melayu dengan biaya sekitar Rp150 miliar ini, telah menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga Kota Bertuah. Walau belum diresmikan, namun tercatat gedung ini pernah diramaikan artis-artis ibu kota. Ia menjadi saksi sejarah tempat berlangsungnya Festival Film Indone­sia yang sebelumnya hanya berlangsung di Jakarta.

Kawan saya ini, saya rasa mungkin akan bergegas datang ke Kota Bertuah jika saya beritahu adanya pertunjukkan opera Tun Teja di teater tertutup ini. Lama kami tidak berkomunikasi hingga saya lupa kesukaannya terhadap seni budaya Melayu. Namun saya yakin, ia pasti tidak akan lupa dengan tontonannya saat bingung hendak pergi kamana jika malam menjelang, ketika pertama datang dulu.

Banyak yang berharap terutama saya pribadi, Anjung Seni Idrus Tintin mempunyai agenda tetap pagelaran kesenian dan budaya Mel­ayu. Saat opera bertajuk Tun Teja digelar di sana, saya berharap gedung ini rutin menggelar kegiatan serupa. Kesenian, menurut saya merupakan salah objek wisata yang layak dijual kepada para tamu yang datang ke Bumi Lancang Kuning ini.

Jika insan kesenian mampu membuat jadwal tetap dan menyebar brosurnya ke hotel-hotel dan daerah luar Riau, saya acungkan satu jempol. Saya pernah ke Siam Niramit, sebuah pertunjukan opera klasik di Bangkok, Thailand. Ribuan orang antre memasuki gedung pertunjukkan yang besar itu sekadar ingin tahu pertunjukkan kesenian khas Siam. Saya rasa seniman Riau mampu membuat pertun­jukkan spektakuler seperti di Siam Niramit. Tinggal bagaimana konsistensi tersebut tidak teresistensi dengan sebuah produk bernama proposal.***





Rabu, 15 Juli 2009

pergilah ke negeri orang

si mafia di tugu monas




reformasi 98

Cinta Tanah Air?

Saat ini, kalau bicara tentang cinta tanah air, banyak yang akan tertawa. Jika dipooling seluruh warga Indonesia kini, saya rasa mungkin rasa cinta tanah air tak akan sampai 50 persen. Semua orang Indonesia terlihat mulai melupakan rasa sayangnya terhadap bumi nusantara ini. Saat ini, semua orang terkesan pemarah, anarkis, saling tuding, menyelamatkan diri masing-masing, dan kurang cinta kepada negaranya.

MOHON maaf jika ada yang tersingung. Jangan terlampau dimasukkan ke dalam hati, ini hanya pandangan subjektif saya dari pengalaman sehari-hari dan melihat gejala bangsa ini dari liputan media massa yang selalu menampilkan berita jelek jadi headline. Terus terang saya sedih. Mengapa terkesan kita begitu membenci Indonesia ini. Bak salah satu lirik lagu Slank yang berjudul Gossip Jalanan, “kacau balau, negaraku ini.”

Memang banyak yang mengatakan semua kekesalan yang ditumpahkan kepada negara, agar negeri ini bisa berubah. Bisa menjadi negeri yang aman, sejahtera dengan penduduk yang hidup tentram. Tapi yang tak habis pikir, kenapa harus setiap hari negeri ini dikritik terus. Apa penyelenggara negara ini sudah pekak. Atau masyarakat yang jadi tuli? Tak usah kita perdebatkan secara serius.

Tapi, saya disini akan berbagi pengalaman unutk orang-orang yang benci dan kurang sayang kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sekali-kali, anda pergilah ke luar negeri. Cobalah menetap barang satu atau dua bulan. Jika tak terlalu lama, mungkin bisa satu atau dua minggu saja. Saya berani bertaruh, anda akan rindu terhadap tanah tumpah darah ini.

Saya pernah beberapa kali pergi ke luar negeri. Tak jauh-jauh, hanya negara terdekat di kawasan ASEAN, seperti Singapura, Malaysia atau Thailand. Waktunya pun tak lama, Mungkin hanya dalam hitungan minggu, tak sampai sebulan. Seindah-indahnya negeri orang, namun saya mengatakan Indonesia adalah yang paling indah.

Di Singapura, saya malah dilanda ketakutan saja. Saat akan memasuki check point pintu imigrasi Singapura, ketika itu saya datang melalui Johor melewati jalan di selat yang memisahkan semenanjung Melaya dengan Pulau Singapura. Kami sudah beberapa kali diingatkan sang guide. ‘’Bapak-bapak kami ingatkan agar tidak membawa rokok yang masih belum dibuka bungkusnya. Apalagi kalau membawanya satu sloff. Jangan bertingkah laku aneh, dts…dst…..,’’ cecarnya.

Denda uang jutaan rupiah, kalau nilainya dikurskan atau penjara akan menanti jika tak mematuhi aturan yang ada. Padahal sebagai warga negara asing di Singapura, saya memang tidak tahu banyak aturan yang berlaku. Ingin menikmati liburan, malah kesannya jadi terbebani. Apalagi untuk yang perokok, betul-betul diwanti-wanti agar jangan merokok sembarangan.

Soal belanja atau makanannya, saya rasa lebih hebatlah kita belanja di Bandung atau Bukitinggi. Belanja di Orchad Road mahal-mahal… Saya jadi tak bebas dan terikat disana. Walaupun tidak terlihat ada polisi, tapi bagi saya ini jadi beban. Rindu terhadap Indonesia pun menyergap. Alangkah enaknya hidup di tanah air, kampung halaman kita sendiri.

Suatu waktu, saya ke Malaysia. Di negara yang selalu bermasalah dengan TKI kita ini, saya sudah datang beberapa kali. Ketika kedatangan dengan istri guna berobat kesana untuk kesekian kalinya, saya malah makin cinta dengan Indonesia. Yang saya tak sukai di Malaysia ini adalah, makanannya yang tidak enak. Sangat tidak cocok dengan lidah saya. Ini mungkin yang membuat saya tersiksa.

Makanya saya mencari hotel yang didekatnya ada rumah makan padang. Walaupun yang memasaknya orang Jawa, tapi tak apa-apalah, saya agak sedikit nyaman dan tak kelaparan. Makanan pagi Malaysia seperti nasi lemak, roti jala, nasi hainan dan makanan sejenis yang katanya enak, sangat tidak familiar di lidah saya.

Pernah dulu saya dengan rombongan dijamu oleh, kalau di Indonesai mungkin setingkat gubernur, di Melaka. Kami pergi ke rumah dinasnya yang berada di atas bukit dengan pemandangan yang indah. Tapi saya sangat tidak suka dengan makanan yang disajikan. Saya ini agak sukar kalau menyangkut menu makanan. Hingga kini, terus terang saya tak bisa makanan jenis ayam, ikan laut dan air tawar. Jadi agak tersiksa juga jika disediakan makan jenis itu.

Termasuk saat ke Thailand. Pertama-tama mungkin kita akan enjoy, tapi agak lama akan terasa rindu dengan kondisi tanah air. Entah mengapa, selalu begitu. Saat itu saya masih merokok, rokok yang saya hisap selalu GP (Gudang Garam Filter). Di Bangkok, hampir mampus saya mencari rokok merek ini. Saya berkeliling dari satu kedai rokok ke kedai rokok mencarinya. Pokoknya dalam hati, saya berani bayar mahal jika ada yang menjualnya.

Soal makanan, selama tur, saya lebih banyak makan omelet. Dalam bahasa kitanya dinamakan “telur dadar”.. Menurut kawan-kawan lain makanannya enak-enak, ada Tomyam, aneka makanan laut, dan jenis lainnya. Tapi bagi saya telur dadar tetap favorit. Selain halal, memang itu yang cocok di lidah saya. Lama-lama saya agak sedikit tersiksa juga dengan suasana yang ada. Saya pikir, bagaimana ya dengan orang yang tinggal menetap.

Rupanya hal yang sama dialami juga oleh teman saya yang lama menetap di luar negeri. Shock kebudayaan, menurut teman saya itu juga dialaminya. Sesuatu hal yang baru dan berada diluar kebiasaan sehari-hari, memang agak sulit untuk beradaptasi. Ia bahkan mengaku pernah meneteskan air mata saat mendengar lagu “Indonesia Tanah Air Beta” saat berada jauh dari Indonesia.

“Memang negeri orang jauh lebih tertib, teratur, moderen dan maju dari negeri kita. Tapi percayalah kau, tanah air Indonesia tetap jadi tempat yang paling nyaman, indah bagi kita untuk ditinggali,’’ ungkapnya suatu waktu.

Malah ia juga berani menantang, orang yang tak cinta tanah air, menetaplah di luar negeri. ‘’Kalau tak ingin di Amerika bisa di Irak, Somalia, atau Afghanistan. Bisa dilihat berapa lama ia betah,’’ katanya berceloteh.

Saya juga tak bisa membayangkan, bagaimana dengan para pelarian politik dan tak bisa pulang ke Indonesia. Seperti warga Indonesia yang terkurung di luar negeri saat huru-hara tahun 1965 pecah. Banyak yang dituduh terlibat partai terlarang, hingga akhir hayatnya hanya bisa membayangkan di angan-angan memori kampung halaman yang sangat dirindukan. Seperti kisah Sobron Aidit, adik tokoh sentral partai terlarang yang baru bisa menginjakkan kaki ke kampung kelahirannya, saat hayat menjelang, usai orde reformasi bergulir. Ia pun meninggal di tanah seberang yang ribuan kilometer jauhnya…..***