Senin, 05 Januari 2009

Lagi-lagi Tentang Musik


Piano membuat jiwa jadi sentimentil


Menyanyi ternyata bisa menyehatkan

Piano
Tiba-tiba tangan saya merasa gatal saat memasuki sebuah hotel yang terletak di bilangan Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta, beberapa waktu lalu. Sebuah piano klasik hitam dengan tuts terbuka berserta kursi di depannya terlihat menggoda. Ia seakan menunggu di sudut ruangan untuk dimainkan. Sudah lama rasanya saya tidak memencet tuts piano dan rindu sekali ingin memainkannya.

WAKTU kecil dulu, sekitar umur enam tahun, saya punya sebuah piano kayu kecil berwarna biru. Mainan mobil-mobilan yang sudah dua kardus, sudah tidak menarik lagi setelah saya mendapatkan piano ini. Setiap ada waktu, saya memencet-mencet piano ini walaupun belum tahu nada. Pokoknya pencet sana, pencet sini, yang penting bunyi. Sampai ibu saya pusing mendengar saya setiap saat membawa-bawa piano itu dan terus memencet-mencetnya.

Ketika saya duduk di bangku kelas tiga SD, saya dibelikan piano atau tepatnya organ. Kali ini lebih canggih karena dilengkapi dengan berbagai macam bunyi alat musik dan suara band pengiring. Saya gembira sekali waku itu. Ditambah lagi suara organ ini makin mantap setelah disambungkan ke amplifier di rumah. Setiap pulang sekolah, saya pun terus berlatih di rumah. Buku-buku musik pun saya beli dan saya belajar sendiri secara otodidak.

Tidak ada yang berani menyentuh organ ini. Saat tak ada di rumah, organ ini saya simpan di lemari saya. Adik-adik saya sendiri pun tak saya perkenankan memegangnya. Memang kalau diingat-ingat, saya saat itu begitu egois. Semua barang pribadi saya, tak boleh ada yang menganggu. Tak seperti anak-anak yang paling tua lainnya, saya tak mengenal istilah mewariskan barang-barang kepada adik-adik. Semua barang saya, mainan, sepatu, buku, kaset, majalah, baju dan lainnya, tidak pernah saya berikan kepada adik-adik. Jadi di rumah, saya seakan menjadi raja. Bahkan saya tidur di kasur dan kamar sendiri dan tak boleh ada yang menganggu. Kalau ingat hal itu sekarang, saya merasa berdosa dan merasa salah kepada adik-adik saya. Namun, anehnya, saat itu adik-adik itu tak penah protes kepada saya. Tidak tahulah kalau di dalam hati mereka.

Piano, telah menjadi bagian hidup yang ikut menemani sejarah kehidupan saya saat kecil hingga remaja. Di sekolah, saat pelajaran kesenian, saya menjadi orang yang paling, dapat dikatakan mantaplah, dalam bermain piano. Walaupun tak begitu mahir, saya berada di urutan terdepan kawan-kawan di kelas kalau bicara masalah main piano. Mungkin, teman-teman kurang terlatih bermain alat musik ini karena tak memilikinya. Hanya ada satu dua teman yang pandai.

Saat duduk di bangku SMA, saya dapat lagu satu buah organ. Kali ini saya dapatkan dari tante saya. Waktu libur sekolah, saya menghabiskannya di rumah nenek di Dumai. Kala itu, saya melihat sebuah piano dengan ukuran standar, terlihat menganggur dan berdebu. Sementara itu, tante mempunyai sebuah piano besar lain yang juga tak ada yang memainkannya, kecuali saya jika ada di sana. Sepupu perempuan saya nampaknya tak tertarik dengan alat musik ini, walaupun ia diberi kursus oleh guru privat untuk memainkannya. Maka piano yang ukuran sedang ini pun menemani hari-hari saya di rumah.

Sejak saya membeli gitar bekas milik teman, piano jadi terlupakan. Saya menjadi lebih tertarik memainkan alat petik ini, dan juga belajar secara otodidak dari buku musik yang saya beli. Serta belajar dari majalah-majalah musik yang saat itu banyak memberikan chord-chord lagu yang sedang ngetop. Nampaknya, main gitar itu kelihatan macho dan dapat dibawa kemana-mana. Tak perlu arus listrik dan bisa jadi hiburan kala berkumpul dengan rekan-rekan. Apalagi saat-saat tahun terakhir duduk di bangku SMA, saya banyak menghabiskan waktu malam hari di rumah teman. Jadi, gitar jadi alat pergaulanlah…

Gitar ini pun saya bawa ke rumah kos ketika kuliah dulu. Malah pernah bapak kos saya bercanda ingin menjadikan gitar saya sebagai kayu bakar karena saking hancurnya akibat sering dimainkan. Saya kos di sebuah pavilun rumah lantai atas yang punya teras. Jadi gitar saya letakkan di luar kamar, di teras atas itu. Karena, banyak teman yang datang ke kos saya, jika saya tak ada di kamar, mereka bisa menunggu sambil main gitar. Saya kala itu begitu tergila-gila dengan musik dan gitar jadi tempat pemuasannya. Hingga akhirnya gitar saya itu patah dua akibat lapuk dimakan usia.

Namun saat pulang ke rumah, kerja saya hanya di rumah saja dan memainkan piano. Dari sore hari hingga malam, kerap bermain piano ini saya lakukan. Ketika kuliah, teman-teman saya banyak yang melanjutkan pendidikan di kota lain. Jadi saat pulang ke rumah, saya malas kemana-mana karena tidak punya teman lagi. Jadi saya habiskan waktu dengan bermain bersama adik saya yang paling kecil yang lahir saya memasuki dunia kampus. Serta membaca serta itu tadi, main piano.

Jadi, kembali saat masuk ke hotel di seputaran Jalan Pangeran Jayakarta tadi, saya pun tak bisa melepaskan kerinduan terhadap piano ini. Walau tangan sudah agak kaku, namun saya masih bisa bermain lagu-lagu nostalgia secara klasik. Jadi ingat masa lalu….