Senin, 17 Oktober 2011

tugu pesawat yang hilang











Pekanbaru Kehilangan Jati Diri

SEBAGAI Ibu Kota Provinsi, nasib Kota Pekanbaru kini mulai menye­dihkan. Setelah beberapa pekan belakangan Kota Bertuah yang semula tenang dan damai, rusuh dengan aksi demonstrasi akibat Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilukada yang gagal dilakukan KPUD Pekanbaru, kini bakal ada lagi hal baru yang datang mengusik. Landmark Kota Bertuah yang berlokasi di tengah kota berupa pesa­wat tempur, keberadaannya mulai diganggu. Bahkan akan segera di-almarhumkan dan digantikan tugu baru. Sebuah tindakan yang tidak populis di tengah makin maraknya "penghancuran" bangunan-bangunan lama. Mulai dari Masjid Raya Pekanbaru, Balai Dang Merdu, Stadion Hang Tuah, Pasar Pusat Sukaramai, Kantor Wali Kota lama yang kini jadi kompleks Plaza Senapelan, rumah-rumah adat Melayu di sepan­jang Jalan Senapelan serta bangunan lama di Pasar Bawah yang berganti dengan ruko.

Tugu Pesawat Tempur berdasarkan penandatangan di prasasti, dilakukan oleh Gubernur Imam Munandar pada tahun 1981. Konon pesawat tempur yang diletakkan ditengah kota tersebut merupakan bukti dan penanda bahwa Kota Pekanbaru pernah jaya dan kuat dalam pertahanan tempur udara di masa konfrontasi serta merupakan airbase TNI AU di wilayah barat. Keberadaan tugu pesawat tempur jenis F-86 Sabre ini juga menyumbang andil sangat besar terben­tuknya Skuadron Udara 12 Lanud Pekanbaru.

Para tokoh terdahulu agaknya ingin menunjukkan kepada anak cucu mereka bahwa Kota Pekanbaru punya andil tersendiri dalam perjalanan sejarah di negara Indonesia. Maka diletakkanlah pesa­wat tempur yang sebelumnya pernah menjadi tulang punggung kekua­tan udara wilayah barat Indonesia di tengah kota. Pekanbaru pun identik dengan tugu pesawat tempur. Siapa pun yang berkunjung ke Kota Bertuah akan berdecak kagum dengan tugu yang berada tepat di depan kantor Gubernur Riau ini. Bahkan tugu tersebut menjadi penanda pusat kota.

Keinginan pemerintah untuk meng-almarhumkan tugu pesawat tempur sebenarnya sudah mulai dilakukan beberapa tahun lalu. Kala itu rencananya tugu tersebut akan diganti dengan tugu perahu Lancang Kuning. Namun karena derasnya penolakkan akhirnya rencana tersebut batal dengan sendirinya. Kini ditengah hiruk pikuk morat-maritnya pelaksanaan Pemilukada Kota Pekanbaru, Tugu terse­but pun sudah dipagari seng dan bakal segera diganti.

Tidak ada yang tidak senang dengan dibangunnya tugu di Kota Pekanbaru seperti Tugu Zapin. Namun yang disayangkan, pembangunan tugu baru hendaknya jangan sampai menghancurkan tugu yang lama. Bangunlah di tempat yang baru, karena wilayah Pekanbaru luas sekali. Menghancurkan tugu atau bangunan lama, berarti menghi­langkan satu lagi saksi sejarah. Ingat kata-kata Soekarno: "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah".

masih tentang minyak






Apakah Kita Sudah Siap?

SAAT masih kecil dulu ketika duduk di bangku sekolah dasar, pernah suatu kali terfikir, apa yang akan terjadi di dunia ini jika minyak bumi sudah habis? Terbayang, semua kendaraaan bermo­tor akan menjadi besi tua dan teronggok begitu saja. Mesin-mesin tidak akan bisa bekerja dan orang-orang akan menganggur. Tidak ada lagi listrik dan hidup akan menjadi gelap gulita di saat malam. Tidak bisa menonton televisi dan memutar musik kesukaan di tape.

Dan saya tak akan bisa lagi melihat mobil tangki menyerakkan minyak untuk aspal ke jalan tanah di kotaku yang kaya raya dengan emas hitam. Saat SD dulu, jalan di kota kami masih jauh dari sentuhan aspal hotmix. Jalanan diaspali dengan minyak mentah yang diserakkan di sepanjang jalan tanah yang telah diratakan dengan geledor. Minyak yang diserakkan tersebut akan mengeras diatas jalan dan membentuk aspal. Licinnya bukan main saat hujan turun, sehingga roda mobil pun kadang harus diberi rantai besi agar tidak selip.

Ketika penduduk belum padat, kami sering saat malam menyaksi­kan lampu berpencaran dan berkedap-kedip di daerah operasi minyak Caltex yang kini dinamakan ladang minyak injeksi Duri atau Duri Steamflood Field. Ladang minyak injeksi uap yang terbesar di dunia. Karena rumah kami berada di ketinggian dekat ladang minyak tersebut, jadi kalau malam kami mendpat suguhan pemandangan yang menarik, layaknya melihat sinar lampu Singapura dari Kota Batam. Siang hari, sering tercium bau seperti kentut yang menurut warga sekitar berarti ada gas yang bocor. Tak jarang kami pun berjalan kaki ke sana memancing ikan sambil melihat ratusan pompa angguk yang tak henti-hentinya menyedot minyak.

Saat sudah dewasa, saya pun mengerti bahwa minyak bumi bukan­lah satu-satunya energi penggerak di dunia ini. Jadi kalaupun minyak bumi habis, maka akan ada gas bumi, minyak nabati, tenaga surya, tenaga air, tenaga angin hingga nuklir. Kendaraan bermotor pun masih bisa berseliweran di jalan raya. Mesin pabrik masih dapat beroperasi dan menghasilkan barang. Listrik pun bahkan bisa lebih murah membayarnya jika dihidupkan dengan tenaga nuklir.

Satu pertanyaan saya sudah terjawab ketika tahu bahwa ada energi alternatif yang ternyata bisa menggantikan minyak bumi. Namun satu lagi pertanyaan yang hingga kini masih menghinggapi adalah, bagaimana dengan pekerjaan orang tua, keluarga besar kami dan teman-teman saya yang semua bekerja di bidang penyedotan minyak bumi ini. Saya tak bisa membayangkan kota tempat kelahiran saya yang merupakan penghasil devisa terbesar di Republik ini, akan jadi kota hantu jika minyak bumi habis. Apakah pemerintah sudah punya alternatif dan solusinya, hingga sekarang masih gelap bagi saya.

Berbicara kekinian, ketika minyak bumi berangsur-angsur habis, apakah pemerintah kita sudah siap dengan energi alterna­tif? Empat tahun yang lalu, saya pernah diajak field trip ke wilayah kerja dan melihat-lihat operasi kerja di BOB BSP yang merupakan mantan CPP Blok-nya Caltex. Saat saya bertanya kepada top manager disana kapan minyak di blok ini akan habis, ia pun memprediksi tahun 2020 minyak ditempatnya akan kering. Dengan catatan tidak ada lagi eksplorasi dan penerapan teknologi ter­baru. Karena menurutnya, minyak bumi adalah energi yang tidak bisa diperbaharukan dan suatu saat nanti akan segera habis.

Sudah siapkah pemerintah dan kita sendiri menghadapi hal tersebut? Saat ini pun krisis energi sudah menimpa negara kita. Penghapusan subsidi minyak tanah dan mengalihkannya ke gas, merupakan bukti bahwa produk minyak bumi di Indonesia terus turun. Indonesia yang merupakan pengasil minyak bumi dan terga­bung organisasi negara dunia pengekspor minyak bumi atau OPEC, kini sudah keluar. Kenaikkan harga minyak dunia membuat pemerin­tah pusat bingung. Bahkan timbul opsi menghapuskan subsidi untuk minyak premium atau bensin yang menurut renana akan dilakukan pada bulan April tahun ini, namun molor karena banyaknya tantan­gan.

Sudah siapkan kita di negeri Lancang Kuning ini. Negeri yang diatas dan dibawah kaya dengan minyak. Apa yang telah pemerintah daerah lakukan untuk menerapkan energi alternatif. Apakah pemer­intah sudah mulai melakukan penerapan energi ini? Atau masyarakat sudah mulai beralih ke energi alternatif di kehidupan sehari-hari? Kenyataannya, kita terlihat lebih senang dan candu dengan kehidupan carut marut politik dibanding memikirkan masalah men­yangkut dunia teknologi terutama masalah energi alternatif.***

Sakai




Suku Terasing Itu

SAAT bocah dulu, di sebuah kota kecil nan kaya minyak tempat saya menghabiskan sebagian besar masa remaja, sering melihat seorang pria tanpa baju dan hanya bercelana pendek yang lebih mirip dengan sempak, berjalan kaki di depan rumah. Tanpa alas kaki, pria tersebut berjalan di tepi jalan raya yang dilumuri minyak mentah yang kadang licin saat hujan mengguyur. Sebuah kayu ber­bentuk segi empat dipanggul di punggungnya. Di tangannya tergeng­gam sebuah kayu bulat panjang yang telah bersih dikikis. Dengan santai, pria ini kerap melewati depan rumah kami. Walaupun tidak setiap hari, namun setiap pekannya ia selalu lewat dengan membawa barang yang sama.

Sempat saya bertanya kepada orang tua tentang siapa pria tegap tanpa baju tersebut dan apa yang dibawanya. ''Jangan meng­ganggu atau meludah sembarangan kalau orang itu lewat ya. Itu orang dari hutan, orang Sakai. Ia membawa lesung untuk dijual ke pasar,'' jawab ibu kepada saya yang kala itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Kami pun mendengar cerita-cerita menyeramkan tentang kesak­tian ilmu magic orang-orang hutan tersebut. Makanya tidak ada yang berani mengganggu orang tersebut, dan kami para bocah-bocah agak ketakutan jika melihat pria tersebut berjalan di depan rumah. Kami lari bersembunyi dan hanya mengintip saat dia melin­tas.

Suatu waktu, ketika bapak saya pulang dari mandah (pulang ke rumah setelah beberapa hari bekerja mengebor minyak di tengah hutan belantara), sering membawa ikan besar dan buah-buahan. Katanya itu pemberian dari orang Sakai yang tinggal di sekitar tempatnya bekerja yang dibarter dengan barang-barang tertentu.

Ketika duduk di bangku SMA, saya berteman dengan salah seor­ang anak suku Sakai. Sang teman jauh dari kesan orang Sakai yang tertanam di benak kami saat bocah-bocah dulu. Ia layaknya anak remaja sebagaimana kami dengan pakaian dan tingkah laku yang sama. Hanya bahasa saja yang agak sedikit berbeda karena kami menggunakan bahasa pasaran dalam berdialog sehari-hari. Si teman ini ternyata mendapat beasiswa dan menjadi binaan sebuah perusa­haan migas di tempat kami tinggal.

Karena si teman sering menggunakan fasilitas perusahaan migas tersebut, ia yang memberi tahu saya rute angkutan yang harus dinaiki saat kami kuliah di Pekanbaru. Saya yang jarang mengguna­kan bus perusahaan, sering bareng bersamanya pergi kuliah menggu­nakan bus tersebut ke Kota Bertuah. Dialah yang memberi petunjuk angkot mana yang harus saya naiki untuk mencapai tempat kos. Walaupun ia tidak kuliah di universitas negeri, namun ia tetap semangat kuliah di Pekanbaru. Ia terus melanjutkan kuliahnya hingga sarjana dan sempat duduk di kursi legislatif. Teman saya itu kini sudah almarhum.

Seiring bergulirnya era reformasi, ketika sedang aktif-aktifnya di kegiatan luar kampus, saya kembali mendengar nama Sakai diperdengung-dengungkan. Kala itu banyak orang, baik dari kalangan akademis hingga penggiat sosial, menyuarakan kehidupan orang-orang hutan ini. Berbagai acara mereka gelar dengan dalih untuk memperjuangkan nasib suku terasing ini. Tapi kebanyakan mereka malahan memanfaatkan momentum isu tersebut untuk kepentin­gan pribadi dan golongan. Sementara suku asli tersebut, masih saja tetap tergusur oleh derasnya arus modal yang masuk dan merangsek ke dalam rumah-rumah kulit kayu mereka di tengah hutan. Si "pengolah" tersebut makin kaya, sedangkan yang diperjuang­kannya tetap begitu-begitu saja. Malahan proposal yang terlihat banyak bertebaran. Begitulah.

Di suatu saat lagi, saya pernah diajak berkeliling menaiki helikopter sebuah perusahaan kayu untuk melihat wilayah HTI mereka yang tidak bisa digarap karena bentrok dengan warga tempa­tan. Dari atas udara saya memandang miris, rumah-rumah kayu yang disekilingnya pohon-pohon mulai menipis.

Di kala lain, ketika pulang ke kota kecil, kampung halaman saya nan kaya minyak dengan menggunakan mobil, masih terlihat mereka ini berdiri di tepi jalan sambil menyodorkan bakul sumban­gan. Saya tak tahu apakah hari ini kegiatan tersebut masih tetap dilakukan, karena saya sudah jarang pulang. Semoga zaman yang sudah berubah ini juga ikut merubah nasib saudara kita yang dulu menjadi raja dan pemilik hutan rimba ini lebih baik lagi.

Semoga..

Minggu, 26 Juni 2011





Kali ini Kami Gagal Bung......

Suara azan Maghrib sudah menghilang. Di sore menjelang malam, di nun di kejauhan, sinar lampu warna-warni terlihat indah menyorot angkasa raya. Diantara kerumunan manusia, kami turut berjalan kaki menyusuri jalan mendaki menuju panggung di punggung bukit yang terlihat bersinar dari kejauhan tersebut.

SEBANYAK umat manusia yang bergerak naik ke atas, demikian juga dengan yang turun ke bawah. Mungkin sebagian dari mereka sudah lelah digempur band-band dengan berbagai aliran musik sejak siang tadi. Sehingga memanfaatkan waktu Maghrib untuk beristirahat sejenak ke bawah. Tapi sebagian lainnya malah baru datang dan mengambil moment malam hari untuk menonton pertunjukkan spektakuler dari band-band ternama tanah air. Seperti halnya kami yang memang sengaja menonton pagelaran musik ini pada malam hari.

Lokasi Soundrenaline kali ini, terletak jauh di pinggiran Kota Pekanbaru, tepatnya di Kawasan Hotel Labersa yang sudah berada di daerah Siak Hulu Kabupaten Kampar. Lokasinya agak sedikit tinggi dari kawasan sekitarnya, sehingga hotel Labersa dari kejauhan terlihat seperti berdiri di atas sebuah bukit. Dengan sedikit terangah-engah selama lebih kurang setengah jam, kami berjalan kaki dari lokasi parkir. Ketika sampai di pintu masuk, yang pertama kali kami cari adalah musalla. Namun si penjaga pintu mengarahkan kami ke wilayah hotel yang berada di luar lokasi pentas soundrenaline. Mau tidak mau kami pun terpaksa berjalan kaki ke hotel. Sayup-sayup kami mendengar suara raungan distorsi gitar dari pentas musik.

''Saya seperti mendengar aura musiknya netral,'' kata Dadang, gitaris bobo in the corner saat kami memasuki lobi hotel.

Walaupun saya pun merasakan hal yang sama, namun panggilan kepada tuhan nampaknya tidak bisa ditunda-tunda lagi mengingat hari sudah mulai gelap. Kami sudah terlambat Salat Maghrib dan harus segera menunaikannya. Dan memang, di ruangan musala di lantai basement hotel, sudah tidak terlihat lagi jamaah. Kami berdua pun menghadap sang khalik.

Usai salat, saat kembali berjalan di lobi, para artis yang akan tampil terlihat memenuhi tempat duduk di depan resepsionis hingga duduk-duduk lesehan di tangga masuk. Mulai dari Ipang hingga personel Andra and the backbone terlihat sedang santai bercanda. Saya tawarkan kepada dadang jika ia ingin berfoto dengan idolanya, maka akan saya abadikan. Namun Dadang menolak dan kurang antusias dengan para artis yang berada di lobi tersebut. Kami pun lalu berlalu dan kembali berjalan kaki menuju panggung soundrenaline.

Tiga panggung besar dengan sound yang hinggar bingar dan lamput sorot berwarna-warni menyambut kami saat memasuki arena soundrenaline 2011 ini. Di panggung yang paling besar dengan ribuan kerumunan manusia, terlihat vocalis saint locco bertelanjang dada, berlarian kesana-kemari. Suara distorsi gitar seakan-akan bersahutan-sahutan dengan dentuman drum dan cabikan bass. Teriakan-teriakan penonton pun membahana mengikuti musik. Kami pun kemudian sudah berada di dalam kerumunan manusia yang sudah liar, berlompat-lompatan, jingkrak-jingkrak atau sekadar mengangkat kedua tangan ke atas. Sementara itu, di panggung lainnya, juga sedang beraksi Ello dengan musik popnya yang juga diramaikan umat manusia.

Usai Saint Locco, muncul band rock legendaris Riff menggeber panggung. Keringat penonton pun kembali mengucur. Suasana kembali riuh dengan raungan-raungan suara gitar dengan lengkingan suara si Andi. Saya dan Dadang pun membuka buku panduan yang dibagikan saat membeli tiket. Kami pun melihat dengan teliti kapan Netral tampil. Karena satu-satunya yang menarik hati kami untuk melihat soundrenaline kali ini adalah guna menyaksikan penampilan om bagus cs.

''Disini nampaknya Netral main di stage yang satu lagi, bukan yang disini,'' kata Dadang.

Kami pun berkeliling ke stage-stage lainnya, namun tak terlihat kepala plontos Bagus dengan suara melengkingnya. Kami menduga tentu Bagus akan tampil terakhir karena mereka merupakan grup band senior, tentu diletakkan di bagian paling akhir. Kami pun berkeliling di stand-stand yang berdiri berseliweran. Mulai dari stand penjualan baju, tempat musik, penjual rokok, souvenir, belajar musik dan lainnya. Setelah penat berkeliling, kami pun kembali ke panggung semula. Ternyata yang tampil adalah J-Rock.. Kami pun kembali melihat buku panduan. Disana tertulis, J-Rock tampil setelah Netral. Wah..... kami kecolongan.

''Betul khan firasatku tadi saat kita baru sampai. Yang tampil itu Netral,'' ujar Dadang.

''Ya, kita tunggu saja. Kita lihat usai J-Rock. Tidak mungkin lah Netral tampil lebih dulu dibanding J-Rock,'' kata saya mencoba menenangkan.

Tapi penampilan J-Rock pun tak kalah bagus. Skill permainan gitar dengan lagu-lagu yang mengena di hati pun, membuat sausana tak kalah panasnya. Taburan kilatan lampu-lampu pun membuat penampilan band yang telah rekaman di abey road, tempat the beatles merekam album-album mereka ini, makin menambah semarak suasana malam. Setelah J-Rock turun panggung, ternyata yang tampil malah Changcutter. Band kerempeng ini, sangatlah tidak menarik bagi kami untuk ditonton.

''Nampaknya kali ini kita gagal, dang,'' ungkap saya ketika kami duduk di stand makanan sambil menikmati coca cola dingin.

Yah, kami gagal menonton Netral. Band alternatif nan kocak kesukaan kami. Tapi tidak masalah, karena sebelumnya kami pun sudah pernah menonton aksi trio alternatif ini beberapa waktu lalu. Tapi kegagalan kami kali ini mulai terhibur dengan munculnya Andra and the Backbone yang menghentak-hentak panggung utama.

Tak terasa hari pun sudah merangkak hampir tengah malam. Sementara banyak band-band lain yang belum tampil, seperti slank. Namun kami merasa sudah harus kembali pulang ke rumah. Kami sadar bahwa kami bukan pria bebas lagi. Seorang nyonya dan sang pahlawan hanya berdua di rumah. Pulang larut malam, tidak baik bagi kesehatan. Sampai ketemu di Soundrenaline yang akan datang jika waktu masih memungkinkan...***

Jumat, 22 April 2011

dreaming of me




PADA siang kemarin, usai pengambilan foto anakku untuk sebuah pass foto, sang pemilik studio foto pun bertanya, ''untuk apa pas foto anaknya ini,'' ujarnya sambil memegang-megang kepala anakku, Rakha, yang mulai mengambil ancang-ancang untuk berlari keluar.

''Untuk persyaratan masuk sekolah bang,'' jawabku sambil berlari mengejar Rakha mulai nampak lasaknya.

''Wah, anak sekecil ini sudah dimasukkan ke sekolah. Berapa umurnya? Apa tidak salah tuh. Mana mengerti anak kecil ini sekolah. Yang dia butuhkan adalah bermain,'' ujarnya bertubi-tubi menanggapi jawabanku yang dinilainya terlalu mengada-ada.

''Ya, itulah dia. Umurnya tiga tahun dua bulan bang. Saya berencana masukkan dia ke Playgroup Darma Yudha biar ada kawan bermain dan mengajarkan dia bersosialisasi. Disamping belajar dan memperkenalkan sejak dini bahasa inggris karena sekolahnya itu adalah sekolah intenasional dengan basic bahasa inggris,'' ujarku memberi sedikit keterangan.

''Memangnya di rumah tidak bersosialisasi dengan anak-anak tetangga. Apa ibunya tega anaknya dimasukkan ke sekolah,'' cecarnya lagi.

''Dia anak tunggal bang. Tidak ada abang dan adik. Di rumah kami, dia jarang ke luar rumah dan bermain-main dengan anak tetangga yang kebanyakan sudah besar-besar. Istri saya bekerja. Jadi selama ini di rumah ia hanya bermain sendiri ditemani neneknya. Mungkin teman setianya adalah televisi. Makanya sekarang ia agak pasif dalam berkomunikasi. Dengan bersekolah, tentu ia akan mendapat banyak teman,'' jelasku lagi.

''Itu bapaknya yang salah,'' jawab si pemilik studio foto lagi.

''Lho kok gitu,'' tanya saya.

''Iya lah. masak buat anak cuma satu. Buatkankanlah dia adik, jadi tidak sendiri di rumah,'' ujarnya setengah mengejek.

''Kalo bicara mendapatkan anak, itu kita bicara soal rezeki dari tuhan bang. Alhamdulillah, kami sudah diberi anak. Banyak pasangan lain, sudah puluhan tahun berumah tangga, belum juga diberi anak bang,'' ujarku sambil membayar biaya pas foto dan mengucapkan terima kasih kemudia berlalu meninggal si abang, yang nampaknya masih belum puas dan masih ingin melanjutkan percakapan.

Di dalam mobil, dengan ditemani oleh seorang teman dari Dumai yang baru sampai di Pekanbaru, saya pun memberikan sedikit penjelasan menyangkut dialog saya dengan sang pemilik studio foto yang juga di dengarnya. Teman saya ini pun nampaknya juga tidak setuju dengan usia anak saya yang masih tiga tahun dan akan dimasukkan ke sekolah.

''Begini bro. Selain agar anakku dapat bersosialisasi dengan teman seumurannya di sekolah nanti, aku sebenarnya punya cita-cita. Menurutku, cita-cita ini memang agak terlalu tinggi jika dilihat dari penghasilan kami bekerja,'' tuturku.

''Cita-cita apa itu,'' sang teman pun nampaknya penasaran.

''Aku ingin nanti anakku ini dapat bersekolah di luar,'' jelasku.

''Diluar daerah? Di Bandung atau Jogjakarta,'' tanyanya penuh selidik.

''Bukan. Tapi di luar negeri, seperti di Jerman, Inggris atau kalau yang paling dekat di Australia,'' jawabku.

''Wah, wah...,'' katanya setengah takjub

''Itu kan cita-cita. Bolehkan kita bercita-cita. Makanya untuk mewujudkan cita-cita itu maka anakku ini dimasukkan ke sekolah internasional yang bisa matching nantinya jika ia ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri. Mumpung juga maminya khan jadi guru di sekolah internasional tersebut. Kalo dana kami terbatas, saya akan berusaha mencari beasiswa nantinya. Pokoknya berusaha dulu dan kemudian baru diiringi dengan doa,'' jelasku sambil melirik Rakha yang duduk di bangku belakang.

''Amiin.....,'' jawab sang teman.


Selasa, 01 Maret 2011

lagi-lagi musik

Rata Penuh
Musik memang tidak pernah matinya meracuni jiwa ini. Walaupun telah absen dalam rentangan belasan tahun, namun hasrat untuk bermain musik tetap selalu hadir. Gayung pun bersambut ketika ada permintaan dari rekan sesama profesi kerja agar kembali menekuni dunia yang telah lama terlupakan dan terkubur tersebut. Pertama-tama, sempat bimbang juga karena jari-jari tangan sudah tidak terlatih lagi. Tidak pernah memegang gitas bass, akan terasa kaget saat merasakan kembali senar-senarnya yang kasar dan siap melumatkan kulit jari tangan yang halus lembut karena setiap hari hanya disentuh keyboard komputer.


Namun segalanya harus dicoba. Dan akhirnya latihan setiap sabtu malam pun rutin dilakukan hingga dini hari menjelang. Memang kulit jari sedikit lecet. Itu tidak apa-apa dibanding kenikmatan yang didapat dari kepuasan batin ini. Jiwa pun serasa muda kembali. Walau umur telah merambah kepala tiga, tapi ketika bermain musik akan terasa seperti anak muda yang duduk di semester pertama bangku kuliah. Beruntung mendapatkan teman-teman yang satu hobi walau pekerjaan di bidang jurnalis sering menyita waktu. Dan teman-teman dari latar belakang media yang berbeda ini, sangat berbakat dan ahli dalam memainkan alat. Baru disebut judul lagu, sudah bisa mengulik-ulik dan langsung memainkannya. Hebat. Semua serba instan dan yang penting happy.


Masih tersimpan dalam memori otak ini, saat pertama kali tampil di depan khalayak ramai di tahun 1996. Ketika itu sebuah festival musik digelar di Balai Arena Dang Merdu (sekarang telah hancur porak-poranda oleh proyek menara bank riau). Yang saya takutkan saat akan tampil adalah kegelapan cahaya. Kok bisa? Iya, saya takut tidak mencapatkan cahaya lampu karena lampu memang sengaja dimatikan saat band tampil di hadapan penonton. Saya takut tidak bisa melihat gitar bass yang saya mainkan. Hingga bisa jadi saya tidak bisa menekan senar di kunci-kunci yang tepat. Hanya itu yang saya takutkan, bukan grogi terhadap penonton sebagaimana banyak dialami para pemula.


Namun ternyata, yang saya takutkan itu sama sekali tidak terjadi dan jauh seperti yang terbayangkan. Saat band kami, Bobo, dipanggil naik ke atas pentas, ruangan masih dipenuhi cahaya lampu. Saat sudah memegang alat masing-masing, lampu kemudian padam. Para penonton pun hilang dari pandangan dan berubah gelap. Namun kami di panggung terang benderang disorot lampu yang bahkan menyilaukan mata. Saya pun bersyukur dalam hati, bayangan buruk itu ternyata hanya ketakutan belaka.


Akibat asyik bermain band, berbagai ajakan teman untuk berkaraoke saya tolak. Sebelumnya, karaoke adalah ajang untuk berlatih vokal dan menyalurkan hasrat akan musik. Walaupun banyak rekan-rekan yang merasa bak penyanyi profesional dengan suara fals di ruang karaoke, agak menganggu pendengaran, tapi tak pernah saya kritik. Beda kalau bermain band, siapa yang sumbang harus ditegur dan harmoni harus disamakan. Karena band adalah satu kesatuan irama yang dipadukan antara instrumen gitar, drum, bass dan vokal. Satu saja yang salah, maka suara yang keluar akan sumbang. Disinilah diperlukan insting dan perasaan mulai bermain. Dan saya suka itu....

hallo

wah, sudah lama tak nge-blog nih...
udah lupa cara postingnya...
2 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menghilang
selamat datang didunia maya