Jumat, 22 April 2011

dreaming of me




PADA siang kemarin, usai pengambilan foto anakku untuk sebuah pass foto, sang pemilik studio foto pun bertanya, ''untuk apa pas foto anaknya ini,'' ujarnya sambil memegang-megang kepala anakku, Rakha, yang mulai mengambil ancang-ancang untuk berlari keluar.

''Untuk persyaratan masuk sekolah bang,'' jawabku sambil berlari mengejar Rakha mulai nampak lasaknya.

''Wah, anak sekecil ini sudah dimasukkan ke sekolah. Berapa umurnya? Apa tidak salah tuh. Mana mengerti anak kecil ini sekolah. Yang dia butuhkan adalah bermain,'' ujarnya bertubi-tubi menanggapi jawabanku yang dinilainya terlalu mengada-ada.

''Ya, itulah dia. Umurnya tiga tahun dua bulan bang. Saya berencana masukkan dia ke Playgroup Darma Yudha biar ada kawan bermain dan mengajarkan dia bersosialisasi. Disamping belajar dan memperkenalkan sejak dini bahasa inggris karena sekolahnya itu adalah sekolah intenasional dengan basic bahasa inggris,'' ujarku memberi sedikit keterangan.

''Memangnya di rumah tidak bersosialisasi dengan anak-anak tetangga. Apa ibunya tega anaknya dimasukkan ke sekolah,'' cecarnya lagi.

''Dia anak tunggal bang. Tidak ada abang dan adik. Di rumah kami, dia jarang ke luar rumah dan bermain-main dengan anak tetangga yang kebanyakan sudah besar-besar. Istri saya bekerja. Jadi selama ini di rumah ia hanya bermain sendiri ditemani neneknya. Mungkin teman setianya adalah televisi. Makanya sekarang ia agak pasif dalam berkomunikasi. Dengan bersekolah, tentu ia akan mendapat banyak teman,'' jelasku lagi.

''Itu bapaknya yang salah,'' jawab si pemilik studio foto lagi.

''Lho kok gitu,'' tanya saya.

''Iya lah. masak buat anak cuma satu. Buatkankanlah dia adik, jadi tidak sendiri di rumah,'' ujarnya setengah mengejek.

''Kalo bicara mendapatkan anak, itu kita bicara soal rezeki dari tuhan bang. Alhamdulillah, kami sudah diberi anak. Banyak pasangan lain, sudah puluhan tahun berumah tangga, belum juga diberi anak bang,'' ujarku sambil membayar biaya pas foto dan mengucapkan terima kasih kemudia berlalu meninggal si abang, yang nampaknya masih belum puas dan masih ingin melanjutkan percakapan.

Di dalam mobil, dengan ditemani oleh seorang teman dari Dumai yang baru sampai di Pekanbaru, saya pun memberikan sedikit penjelasan menyangkut dialog saya dengan sang pemilik studio foto yang juga di dengarnya. Teman saya ini pun nampaknya juga tidak setuju dengan usia anak saya yang masih tiga tahun dan akan dimasukkan ke sekolah.

''Begini bro. Selain agar anakku dapat bersosialisasi dengan teman seumurannya di sekolah nanti, aku sebenarnya punya cita-cita. Menurutku, cita-cita ini memang agak terlalu tinggi jika dilihat dari penghasilan kami bekerja,'' tuturku.

''Cita-cita apa itu,'' sang teman pun nampaknya penasaran.

''Aku ingin nanti anakku ini dapat bersekolah di luar,'' jelasku.

''Diluar daerah? Di Bandung atau Jogjakarta,'' tanyanya penuh selidik.

''Bukan. Tapi di luar negeri, seperti di Jerman, Inggris atau kalau yang paling dekat di Australia,'' jawabku.

''Wah, wah...,'' katanya setengah takjub

''Itu kan cita-cita. Bolehkan kita bercita-cita. Makanya untuk mewujudkan cita-cita itu maka anakku ini dimasukkan ke sekolah internasional yang bisa matching nantinya jika ia ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri. Mumpung juga maminya khan jadi guru di sekolah internasional tersebut. Kalo dana kami terbatas, saya akan berusaha mencari beasiswa nantinya. Pokoknya berusaha dulu dan kemudian baru diiringi dengan doa,'' jelasku sambil melirik Rakha yang duduk di bangku belakang.

''Amiin.....,'' jawab sang teman.