Minggu, 29 Juni 2008

Berbagi Pengalaman










Bogor Sang Kota Hujan yang Kini Beribu Angkot

Gemercik air mulai menghiasi kolam tanpa ikan. Tanpa adanya pertanda awan gelap, air mulai menetes perlahan-lahan. Saya berdiri di pojok lorong hotel menatap gerimis yang mengguyuri Kota Hujan ini. Rasa suntuk seharian di dalam ruangan pertemuan mulai hilang ketika mendengar suara hujan yang khas tersebut.

SAYA memang baru kali ini betul-betul merasakan berkunjung ke Kota Bogor. Sebetulnya, dulu sekali ketika berumur tiga atau empat tahun saya pernah berwisata kesini bersama kedua orang tua. Saya tak ingat betul detail saat itu. Cuma saya bisa melihatnya dari foto-foto di album keluarga dimana saya bergaya layaknya bocah lugu di pintu pagar depan istana Bogor. Saya lihat di foto itu jalanan basah, mungkin lagi gerimis karena rambut saya juga terlihat basah kena air.

Maklum masih kecil, jadi saya betul-betul tidak ingat memori berkunjung ke Kota Hujan itu. Menurut ortu saya, kami sekeluarga ketika itu berwisata ke Jakarta dan menyempatkan untuk datang ke Kota Bogor. Kini, saya berada telah berada di Kota Bogor. Walaupun tempat saya menginap di Hotel Novotel Bogor yang berada di pinggiran kota tersebut, namun saya bisa merasakan udara Kota Hujan ini.

Dengan menaiki bus wisata, kami dengan rombongan berangkat dari gedung Patra Jasa Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB. Di gedung ini, acara pelatihan Jurnalis Migas yang pesertanya dari Riau, Kalimantan Timur dan Jakarta, dibuka secara resmi oleh Kepala BP Migas R Priyono dan Presiden Direktur Chevron. Selanjutnya, rombongan wartawan pun beranjak ke tempat acara di Bogor. Berhubung hari Jumat, maka rombongan langsung berangkat mengingat Salat Jumat. Tak ada yang hal menarik selama dalam perjalan dari Jakarta menuju Kota Bogor. Karena lelah, sepanjang jalan saya pun tertidur lelap.

Sebetulnya, ada waktu satu hari yang bisa saya gunakan untuk istirahat di Hotel Sari Pan Pasifik Jakarta, saat datang dari Pekanbaru. Sebelumnya, saya berangkat menaiki pesawat Garuda pagi bersama dua rekan wartawan lain dan didampingi humas Chevron. Tiba di Jakarta sekitar pukul 11.00 WIB. Setelah check in di hotel Sari Pan dan merebahkan tubuh barang sejenak, saya pun mengajak kawan-kawan untuk makan siang.

Letak hotel Sari Pan memang berada di tengah kota. Di belakang hotel terdapat jalan Sabang yang kiri-kanannya dipenuhi tempat makanan berbagai jenis. Takut dengan makanan yang aneh-aneh, saya mengajak kawan-kawan makan di rumah makan Minang saja. Maklum sudah familiar dengan rasanya. Apalagi rendang di rumah makan ini enak sekali.

Sayang rasanya jika waktu yang selama sehari tersebut saya habiskan hanya di hotel, maka kami pun bergerak untuk menyusuri Kota Jakarta. Semula rencananya akan ke Mangga Dua, namun akhirnya berubah ke Glodok, pusat elektronik yang kabarnya terbesar dengan harga murah. Saya tak ada rencana untuk membeli barang-barang elektronik di tempat ini dan hanya ingin membeli beberapa keping DVD bajakan yang disini harganya sangat murah dibanding Pekanbaru, hanya Rp5.000 perkeping. Saya berencana akan memborong DVD band koleksi saya yang dulu banyak hilang akibat tidak dikembalikan teman yang meminjam. DVD konser Smashing Pumpkins, Pearl Jam atau Offspring yang susah diperoleh dapat saya temui disini.

Saat memasuki sebuah toko guna menemani humas Chevron yang berniat membeli MP4, malah saya yang tertarik untuk berbelanja. Sebuah digital camera lengkap dengan alat perekam video, pemutar musik, game dan aplikasi lainnya, membuat saya tak tahan untuk membelinya. Apalagi kamera digital merek Samsung saya rusak karena jatuh saat pulang dari Bandung beberapa waktu lalu. Akhirnya setelah ditawar-tawar, barang ini pun menjadi milik saya.

Malamnya, tak ada kegiatan berarti yang dilakukan. Sebenarnya saya ingin berjalan-jalan karena saya orang yang tak betah berlama-lama di dalam kamar hotel. Rasanya sayang telah jauh-jauh datang, hanya untuk tiduran di hotel. Tapi nampaknya kawan-kawan seperjalanan ini tidak satu ide dengan saya. Ya, akhirnya hanya duduk-duduk di lobi hotel sambil menikmati hiburan musik. Lalu masuk ke kamar dan tidur cepat, mengingat pagi sekali harus bangun karena acara dimulai pukul 08.00 WIB. Saya pun meminta pihak hotel membangunkan pada pukul 05.30 WIB karena saya susah sekali bangun pagi.

Setelah sarapan di hotel, kami langsung check out dan langsung membawa tas karena akan mengikuti acara di Bogor dan menginap di Novotel. Kami pun mengenakan batik karena menurut humas Chevron, peserta harus berpakaian batik. Sesampainya di Patra Jasa, tempat acara dilakukan, ternyata yang berpakaian batik malah para panitia. Para peserta lain berpakaian bebas. Maka kami pun disangka panitia oleh rakan-rekan wartawan. Termasuk saat peserta naik bus untk berangkat ke Bogor, Sang supir bertanya kepada saya apa sudah bisa berangkat atau tidak, karena dianggap saya sebagai kepala rombongan.

Sepanjang jalan, nampaknya tidur lebih menarik. Walaupun duduk di bangku paling depan, pemadangan sepanjang jalan membuat saya mengantuk. Tak lama, bus pun sampai ke lokasi hotel. Sebuah hotel dengan konsep alam yang unik. Dipenuhi taman dan lorong-lorong, berkonsep bangunan rumah adat di Kalimantan dengan dominan kayu. Berada di kompleks perumahan elit dan lapangan golf, jauh dari kesan hiruk pikuk kota. Mungkin panitia sengaja memilih lokasi ini agar para peserta dapat mengikuti seluruh jadwal acara tanpa bisa bolos. Bagaimana mau bolos, tak ada transportasi umum keluar dari lokasi ini, kecuali dengan kendaraan pribadi.

Kami pun menyempatkan makan siang sebentar sebelum menunaikan Salat Jumat. Usai salat, ternyata kami harus bersabar menunggu, karena kamar banyak yang dibuka. Kelihatan banyak kawan-kawan yang kecewa dan tertidur di kursi karena kelelahan akibat perjalanan jauh. Banyak juga yang protes karena menunggu lama. Akhirnya kami pun memperoleh kunci kamar dan beristrirahat sejenak di kamar.

Karena kelelahan, kami sempat tertidur di kamar dan terlambat mengikuti pelatihan. Tak perlu saya ceritakan disini apa isi pelatihan. Namun pelatihan ini walaupun bersifat sangat teknis membahas masalah seputar dunia perminyakan termasuk masalah bagi hasil, sangat bermanfat menambah ilmu. Hampir sepanjang hari saya terpaku duduk di urutan depan mencoba menyimak pemaparan para pemateri.

Memang suntuk juga, apalagi tanpa acara jeda. Untung, saya punya teman di Bogor ini. Seorang teman yang juga bekerja di bidang perminyakan. Sebelumnya saya sempat kontak-kontak dengannya dan ia berjanji pada malam hari akan menjemput saya dan mengajak keliling Bogor. Sesuai dengan janji ia datang, dan saya mengajak dua kawan dari Pekanbaru untuk ikut serta. Kasihan jika mereka hanya tidur-tidur saja di kamar hotel.

Semula, teman tersebut membawa keliling Kota Bogor. Mulai Tugu Kujang dan berakhir di Tugu Kujang karena mengitari Kebun Raya Bogor yang di lokasi itu terdapat istana Bogor. Tak ada yang menarik dilihat malam hari di kota ini. Saya membayangkan Kota Bogor hampir sama halnya dengan Kota Bukittinggi di malam hari. Menurut teman saya, kini Bogor telah bertambah namanya dari Kota Hujan menjadi Kota Seribu Angkot. Menurutnya, jika pagi hari, maka jalanan akan macet akibat dipenuhi angkot yang ngetem seenaknya.

Puas berkeliling, sang teman pun mengajak ke Puncak. Jarum jam telah menunjukkan pukul 10.30 WIB, tapi ajakan teman tersebut tak saya tampik. Biarlah terlambat besok pagi bangun mengikuti acara, kapan lagi melihat pemandangan di Puncak pada malam hari. Mobil sang teman pun melaju di jalanan menanjak tersebut. Sepanjang jalan menuju puncak, selalu terlihat warga dengan memgang senter menawarkan vila. ‘’Vila, vila mas,’’ katanya sambil menyorotkan lampu senter di tangan kepada mobil kami.

Ketika hampir sampai ke puncak yang ditandai dengan keberadaan rumah makan Rindu Alam, sang teman menyuruh kami membuka jendela untuk merasakan sejuknya udara Puncak malam hari. Ya, hampir sama dingin dengan AC mobil. Kami pun mampir sebentar di pelataran parkir Rindu Alam sekedar melihat pemandangan kota-kota yang ada di bawah. Saat berada di luar mobil, baru terasa badan menggigil disapu angin puncak. Tak tahan dingin, saya pun membeli sweater yang dijajakan pedagang yang berada di sekitar lokasi tersebut.

Usai berehat sejenak, kami pun mencari kedai yang strategis untuk menikmati teh hangat dan mie rebus. Sebuah kedai dengan pemandangan lepas melihat kerlap-kerlip lampu-lampu Kota Bogor, menjadi pilihan kami bersantai sejenak. Sebuah pemandangan yang indah, namun sayang tak dapat saya abadikan karena lupa membawa kamera. Ditemani pengamen jalanan, suasana dinihari di puncak pun makin membuat kami betah duduk berlama-lama. Mungkin suatu waktu nanti saya akan membawa istri dan anak semata wayang saya untuk berwisata ke sini.

Paginya, untung saya tak telat datang ke ruangan acara. Sampai di hotel pada pukul 2.30 WIB, membuat saya harus menyetel alarm HP. Paginya, saya bisa bangun dengan segar walau tidur hanya beberapa jam. Beruntung acara setengah hari, dan siangnya usai acara secara resmi ditutup, kami pun bertolak ke Jakarta. Saya gunakan kesempatan sepanjang perjalanan ini untuk membalas tidur yang kurang tadi malam.

Hotel Sari Pan Pasifik kembali menjadi pilihan untuk tempat menginap. Saya punya waktu sepanjang malam dan setengah hari bebas. Karena besok sore sekitar pukul 15.00 WIB saya akan bertolak dari Soekarno/Hatta kembali ke Sultan Syarif Kasim II. Sampai di hotel saya langusng masuk kamar dan meletakkan tas, langsung cabut ke Hotel Dusit. Disana telah menunggu bos kantor saya. Ia yang dari sebuah acara di Banjarmasin, sengaja menunggu saya di Jakarta. Kami pun berkeliling menikmati Kota Jakarta di malam hari. Tak banyak sebenarnya yang berubah dari Kota Jakarta, sebuah kota yang tak pernah mati, walaupun hingga dini hari masih tetap ramai.

Besoknya, saya menyempatkan diri mengunjungi paman istri yang sedang sakit di rumahnya kawasan Tanah Abang. Pulang dari rumahnya, waktu hampir kasip. Saya mesti check out dari hotel pukul 13.00 WIB. Sementara pesanan istri agar dibelikan baju untuk Rakha dan dirinya belum saya penuhi. Maka untk lebih ringkas saya pun berbelanja di Sarinah saja, dekat dengan hotel dan tinggal jalan kaki. Walaupun harganya lebih mahal dibanding Pasar Tanah Abang atau Mangga Dua, tapi biarlah. Kapan lagi beli baju mahal untuk istri dan anak.

Akhirnya, pesawat Garuda yang saya naiki dari Jakarta, menjejakkan kaki di runway bandara SultanSyarif Kasim Pekanbaru. Walau hanya beberapa hari, saya merasa telah lama meninggalkan rumah. Rindu rasanya ingin bertemu Rakha. Memang rasa rindu terhadap anak ternyata mengalahkan rasa rindu terhadap istri….***







Kamis, 26 Juni 2008

Masih Tetap Garang


aksi bagus dan Coki di purna MTQ Pekanbaru


Meloncat, selalu mewarnai aksi panggung


Duet bas dan gitar

Ketemu Idola
*Netral Sampai Mati

Semula, tak ada niat atau bayangan saya akan bertemu Netral, grup band idola saya. Saya mempunyai koleksi lengkap album grup band ini sejak dari album pertama hingga terakhir. Bahkan lagu-lagu Netral menjadi lagu wajib yang saya bawakan bersama “bobo in the corner”, (band yang saya bentuk bersama kawan-kawan saat duduk di bangku kuliah). Lagu “Tiga Dini Hari” dari album pertama Netral telah sukses membawa kami menjadi band festival saat kuliah dulu.


TELAH lama saya mendambakan melihat langsung konser Netral. Beberapa kali Netral ke Pekanbaru, namun saya baru tahu setelah beberapa hari konser mereka berlangsung. Saat tahu Netral akan konser pada Kamis (26/2) malam di purna MTQ, saya berniat menonton. Walaupun saya kerja masuk malam, namun saya tinggalkan dulu untuk melihat konser band alternatif terakhir di negeri ini.

‘’Hei brur, Netral main Kamis malam,’’ begitu suara Dang, teman dekat saya yang dulu gitaris Bobo ketika menghubungi HP saya. Ternyata saya kalah cepat menghubunginya untuk nonton bareng.

Akhirnya pada Kamis malam, kami pun berangkat ke purna MTQ. Saat sampai, kami kaget melihat antrean panjang memasuki gerbang purna MTQ. Alamak, bisa dua jam ngantre baru bisa masuk nih. Saya pun mencari akal dan memutuskan parkir di Hotel Sahid yang tak jauh dari lokasi konser. Lalu dengan berjalan kaki kami melewati ratusan motor dan mobil yang berdesakan di pintu masuk. Saat masuk ke dalam, yang telihat di panggung baru acara seremoni sponsor dari perusahaan rokok gudang garam yang merayakan ulang tahun ke-50. Ribuan penonton sudah membludak dan kami hanya kebagian menonton di belakang.

Hampir satu jam menunggu, sang idola belum juga muncul di panggung. Selain Netral, panggung juga akan diisi ST12. Penonton sudah gelisah karena tak ada juga tanda-tanda kemunculan di atas panggung. Beruntung MC yang dibawakan Facri Smekot dan Lina bisa membuat sabar penonton menunggu dengan lelucon mereka. Semula saya duga yang akan tampil pertama adalah ST12, karena band ini beraliran menye-menye dan disukai semua orang. Beda dengan Netral yang mengusung kekerasan. Jika Netral tampil terakhir, saya pasti tidak akan selesai menonton, dan bisa mungkin batal menonton. Mengingat begitu lama kantor saya tinggalkan, sementara deadline cetak,tak bisa ditawar.

Namun entah alasan apa, ternyata yang muncul awal malah Netral. Dimulai dengan musik intro, Bagus (bas/vokal), En0 (drum) dan Coki (gitar) berhasil membuat penonton bergeliat. Lagu Super Ego, pun digeber dan membuat penonton di barisan depan bergelinjang dan debu tipis pun beterbangan. Lagu-lagu lain dari album kancut, seperti I Love You, Sorry serta dari album 9th seperti Cinta Gila dan beberapa lagu lain seperti Nurani dan Cahaya Bulan membuat suasana makin panas. Hal ini membuat penonton berteriak-teriak, “air, air, air”. Hal ini memaksa Bagus meminta petugas mobil pemadam kebakaran untuk menyeporkan air ke penonton. Kontan saja semburan air berhasil meredakan suasana panas di penonton barisan depan.

Saat membawakan lagu, Bagus bahkan mengambil topi salah seorang penonton dan memakainya saat tampil di panggung. Hentakan drum Eno yang bertubi-tubi dan full energy, nampaknya memaksa ia menanggalkan baju kaus kutung putihnya. Dari layar scren di sisi pangung terlihat keringat mengucur deras di badannya. Memang bermain drum dengan energi prima seperti itu jelas menguras tenaga. Ditambah lagi Bagus dengan mengacungkan gitar basnya ke atas saat asyik masyuk dengan lagu yang ia bawa. Kadang-kadang ia meloncat bersama Coki yang juga tampil powerful dengan suara gitarnya yang meraung. Walaupun tampil bertiga, namun sound yang mereka hasilnya berhasil memekakkan telingan penonton hingga barisan belakang.

Konser Netral pada malam itu terpaksa diakhiri dengan lagu Pertempuran Hati yang diambil dari album 9th. Penonton pun ikut bernyanyi bersama-sama dengan mengacungkan tangan ke angkasa. Seakan-akan mereka tak rela malam itu konser Netral akan berakhir.

Kami pun usai Netral turun panggung, langsung cabut dari lokasi. Pukul 11.30 WIB, saya melirik jam di tangan kanan. Sudah saatnya balik ke kanntor dan mengecek halaman koran yang dikerjakan para redaktur. Dengan kembali berjalan kaki, Saya dan Dang pun berusaha keluar dari kerumunan orang dan motor kembali ke Hotel Sahid, tempat kendaraan kami diparkir.
Tak dinyana tak disangka, saat sampai di lobi hotel, secara tak sengaja mata saya tertumbuk dengan sebuah mobil yang baru sampai dan terlihat kepala plontos Bagus keluar dari kendaraan tersebut. ‘’Eh, itu Bagus Dang, ayo kita ke sana,’’ kata saya. Dengan setengah berlari saya pun menghampiri Bagus dan menyalaminya dengan erat.

‘’Sukses, konsernya mantap,’’ kata saya.
‘’Terima kasih, tadi nonton ya,’’ kata Bagus
‘’Iya lah, Netral khan idola saya”
‘’Tapi masih ada band lain yang tampil tuh, tak nonton”
“Saya cuma nonton Netral,’’ kata saya.

Saya pun lalu menyalami Eno yang masih bertelanjang dada dan Coki yang masih tetap kalem. Dadang pun menyampaikan kepada Bagus bahwa saya adalah pengoleksi lengkap album Netral. Saya menyampaikan bahwa ada satu album Netral yang tak saya punyai, yaitu album black yang diedarkan terbatas.

‘’Eh, kalau tak salah ada tuh sama Puput. Adakan Put CDnya,’’ kata Bagus kepada managernya Puput.
‘’Ya, ada nih,’’ kata Puput sambil memabawa travel bagnya.
‘’Tak mau foto bareng, sini saya ambilkan,’’ katanya lagi sambil melihat HP saya.
‘’HP Nokia saya tak ada kameranya,’’ jawab saya sambil mengikuti Puput menuju kursi di lobi hotel.

Puput membuka tasnya, dan mengeluarkan satu CD black Netral. ‘’Ada nih, CD sekaligus DVD konser,’’ ia mengulurkannya ke tangan saya. Dadang pun meminta satu lagi. Namun Puput mengatakan bahwa CD dan DVD tersebut merupakan merchandise yang dijual. Kami pun menyanggupinya.

Tak lama kemudian Bagus, Coki dan Eno menyusul. Eno sibuk melihat-lihat kamera digital yang menjepret penampilan mereka tadi. Sementara Bagus dan Coki sibuk membahas aksi penampilan mereka.

“Gimana penampilan kami tadi, ada yang kurang,’’ tanyanya.
‘’Ya, suara bas Bagus tadi kurang keluar,’’ kata saya.
‘’Coki juga tadi ada sedikit meleset main gitarnya,’’ kata Dadang lagi memberi masukan.
‘’Oh, begitu ya. Khan betul apa tadi gue bilang,’’ kata Coki kepada Bagus.
Saya pun menanyakan apa kabar anaknya kepada Bagus dan dijawabnya dengan senyum. ‘’Capek betu tadi, saya sekarang saya masih ngos-ngosan dan masih mencoba mengambil napas,’’ katanya sambil selonjor di kursi.

Puput sang manager kemudian menawarkan kembali foto bersama dengan kamera digitalnya. ‘’Tolong smskan emailnya ke HP saya, nanti saya kirim,’’ ujarnya kepada saya.
Akhirnya saya dan Dang pun berpose bersama artis idola saya yang tak pernah mati ide ini. Tak cukup satu jepretan Puput mengambilnya hingga tiga kali.

‘’Kapan pulang ke Jakarta,’’ kata saya.
‘’Besok pagi jam lima berangkat dari Hotel. Pesawatnya berangkat pukul 7,’’ jawabnya.
Bagus pun kemudian pamit ke kamar kepada kami sambil menyalami erat tangan saya.
‘’Sukses selalu, saya tunggu albumnya yang kesepuluh,’ kata saya.
‘’Terima kasih, doakan ya,’’ katanya. Rombongan pun masuk ke lorong hotel menuju kamar masing-masing.

Setelah berbincang sebentar dengan Puput kami akhirnya juga pamit.
‘’Tak disangka, saya hampir kehilangan kata-kata,’’ Dang kepada saya saat kami hampir sampai di parkiran.***

nb: foto-foto dari fotografer Riau Pos, Said Mufti....