Senin, 17 Oktober 2011

tugu pesawat yang hilang











Pekanbaru Kehilangan Jati Diri

SEBAGAI Ibu Kota Provinsi, nasib Kota Pekanbaru kini mulai menye­dihkan. Setelah beberapa pekan belakangan Kota Bertuah yang semula tenang dan damai, rusuh dengan aksi demonstrasi akibat Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilukada yang gagal dilakukan KPUD Pekanbaru, kini bakal ada lagi hal baru yang datang mengusik. Landmark Kota Bertuah yang berlokasi di tengah kota berupa pesa­wat tempur, keberadaannya mulai diganggu. Bahkan akan segera di-almarhumkan dan digantikan tugu baru. Sebuah tindakan yang tidak populis di tengah makin maraknya "penghancuran" bangunan-bangunan lama. Mulai dari Masjid Raya Pekanbaru, Balai Dang Merdu, Stadion Hang Tuah, Pasar Pusat Sukaramai, Kantor Wali Kota lama yang kini jadi kompleks Plaza Senapelan, rumah-rumah adat Melayu di sepan­jang Jalan Senapelan serta bangunan lama di Pasar Bawah yang berganti dengan ruko.

Tugu Pesawat Tempur berdasarkan penandatangan di prasasti, dilakukan oleh Gubernur Imam Munandar pada tahun 1981. Konon pesawat tempur yang diletakkan ditengah kota tersebut merupakan bukti dan penanda bahwa Kota Pekanbaru pernah jaya dan kuat dalam pertahanan tempur udara di masa konfrontasi serta merupakan airbase TNI AU di wilayah barat. Keberadaan tugu pesawat tempur jenis F-86 Sabre ini juga menyumbang andil sangat besar terben­tuknya Skuadron Udara 12 Lanud Pekanbaru.

Para tokoh terdahulu agaknya ingin menunjukkan kepada anak cucu mereka bahwa Kota Pekanbaru punya andil tersendiri dalam perjalanan sejarah di negara Indonesia. Maka diletakkanlah pesa­wat tempur yang sebelumnya pernah menjadi tulang punggung kekua­tan udara wilayah barat Indonesia di tengah kota. Pekanbaru pun identik dengan tugu pesawat tempur. Siapa pun yang berkunjung ke Kota Bertuah akan berdecak kagum dengan tugu yang berada tepat di depan kantor Gubernur Riau ini. Bahkan tugu tersebut menjadi penanda pusat kota.

Keinginan pemerintah untuk meng-almarhumkan tugu pesawat tempur sebenarnya sudah mulai dilakukan beberapa tahun lalu. Kala itu rencananya tugu tersebut akan diganti dengan tugu perahu Lancang Kuning. Namun karena derasnya penolakkan akhirnya rencana tersebut batal dengan sendirinya. Kini ditengah hiruk pikuk morat-maritnya pelaksanaan Pemilukada Kota Pekanbaru, Tugu terse­but pun sudah dipagari seng dan bakal segera diganti.

Tidak ada yang tidak senang dengan dibangunnya tugu di Kota Pekanbaru seperti Tugu Zapin. Namun yang disayangkan, pembangunan tugu baru hendaknya jangan sampai menghancurkan tugu yang lama. Bangunlah di tempat yang baru, karena wilayah Pekanbaru luas sekali. Menghancurkan tugu atau bangunan lama, berarti menghi­langkan satu lagi saksi sejarah. Ingat kata-kata Soekarno: "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah".

masih tentang minyak






Apakah Kita Sudah Siap?

SAAT masih kecil dulu ketika duduk di bangku sekolah dasar, pernah suatu kali terfikir, apa yang akan terjadi di dunia ini jika minyak bumi sudah habis? Terbayang, semua kendaraaan bermo­tor akan menjadi besi tua dan teronggok begitu saja. Mesin-mesin tidak akan bisa bekerja dan orang-orang akan menganggur. Tidak ada lagi listrik dan hidup akan menjadi gelap gulita di saat malam. Tidak bisa menonton televisi dan memutar musik kesukaan di tape.

Dan saya tak akan bisa lagi melihat mobil tangki menyerakkan minyak untuk aspal ke jalan tanah di kotaku yang kaya raya dengan emas hitam. Saat SD dulu, jalan di kota kami masih jauh dari sentuhan aspal hotmix. Jalanan diaspali dengan minyak mentah yang diserakkan di sepanjang jalan tanah yang telah diratakan dengan geledor. Minyak yang diserakkan tersebut akan mengeras diatas jalan dan membentuk aspal. Licinnya bukan main saat hujan turun, sehingga roda mobil pun kadang harus diberi rantai besi agar tidak selip.

Ketika penduduk belum padat, kami sering saat malam menyaksi­kan lampu berpencaran dan berkedap-kedip di daerah operasi minyak Caltex yang kini dinamakan ladang minyak injeksi Duri atau Duri Steamflood Field. Ladang minyak injeksi uap yang terbesar di dunia. Karena rumah kami berada di ketinggian dekat ladang minyak tersebut, jadi kalau malam kami mendpat suguhan pemandangan yang menarik, layaknya melihat sinar lampu Singapura dari Kota Batam. Siang hari, sering tercium bau seperti kentut yang menurut warga sekitar berarti ada gas yang bocor. Tak jarang kami pun berjalan kaki ke sana memancing ikan sambil melihat ratusan pompa angguk yang tak henti-hentinya menyedot minyak.

Saat sudah dewasa, saya pun mengerti bahwa minyak bumi bukan­lah satu-satunya energi penggerak di dunia ini. Jadi kalaupun minyak bumi habis, maka akan ada gas bumi, minyak nabati, tenaga surya, tenaga air, tenaga angin hingga nuklir. Kendaraan bermotor pun masih bisa berseliweran di jalan raya. Mesin pabrik masih dapat beroperasi dan menghasilkan barang. Listrik pun bahkan bisa lebih murah membayarnya jika dihidupkan dengan tenaga nuklir.

Satu pertanyaan saya sudah terjawab ketika tahu bahwa ada energi alternatif yang ternyata bisa menggantikan minyak bumi. Namun satu lagi pertanyaan yang hingga kini masih menghinggapi adalah, bagaimana dengan pekerjaan orang tua, keluarga besar kami dan teman-teman saya yang semua bekerja di bidang penyedotan minyak bumi ini. Saya tak bisa membayangkan kota tempat kelahiran saya yang merupakan penghasil devisa terbesar di Republik ini, akan jadi kota hantu jika minyak bumi habis. Apakah pemerintah sudah punya alternatif dan solusinya, hingga sekarang masih gelap bagi saya.

Berbicara kekinian, ketika minyak bumi berangsur-angsur habis, apakah pemerintah kita sudah siap dengan energi alterna­tif? Empat tahun yang lalu, saya pernah diajak field trip ke wilayah kerja dan melihat-lihat operasi kerja di BOB BSP yang merupakan mantan CPP Blok-nya Caltex. Saat saya bertanya kepada top manager disana kapan minyak di blok ini akan habis, ia pun memprediksi tahun 2020 minyak ditempatnya akan kering. Dengan catatan tidak ada lagi eksplorasi dan penerapan teknologi ter­baru. Karena menurutnya, minyak bumi adalah energi yang tidak bisa diperbaharukan dan suatu saat nanti akan segera habis.

Sudah siapkah pemerintah dan kita sendiri menghadapi hal tersebut? Saat ini pun krisis energi sudah menimpa negara kita. Penghapusan subsidi minyak tanah dan mengalihkannya ke gas, merupakan bukti bahwa produk minyak bumi di Indonesia terus turun. Indonesia yang merupakan pengasil minyak bumi dan terga­bung organisasi negara dunia pengekspor minyak bumi atau OPEC, kini sudah keluar. Kenaikkan harga minyak dunia membuat pemerin­tah pusat bingung. Bahkan timbul opsi menghapuskan subsidi untuk minyak premium atau bensin yang menurut renana akan dilakukan pada bulan April tahun ini, namun molor karena banyaknya tantan­gan.

Sudah siapkan kita di negeri Lancang Kuning ini. Negeri yang diatas dan dibawah kaya dengan minyak. Apa yang telah pemerintah daerah lakukan untuk menerapkan energi alternatif. Apakah pemer­intah sudah mulai melakukan penerapan energi ini? Atau masyarakat sudah mulai beralih ke energi alternatif di kehidupan sehari-hari? Kenyataannya, kita terlihat lebih senang dan candu dengan kehidupan carut marut politik dibanding memikirkan masalah men­yangkut dunia teknologi terutama masalah energi alternatif.***

Sakai




Suku Terasing Itu

SAAT bocah dulu, di sebuah kota kecil nan kaya minyak tempat saya menghabiskan sebagian besar masa remaja, sering melihat seorang pria tanpa baju dan hanya bercelana pendek yang lebih mirip dengan sempak, berjalan kaki di depan rumah. Tanpa alas kaki, pria tersebut berjalan di tepi jalan raya yang dilumuri minyak mentah yang kadang licin saat hujan mengguyur. Sebuah kayu ber­bentuk segi empat dipanggul di punggungnya. Di tangannya tergeng­gam sebuah kayu bulat panjang yang telah bersih dikikis. Dengan santai, pria ini kerap melewati depan rumah kami. Walaupun tidak setiap hari, namun setiap pekannya ia selalu lewat dengan membawa barang yang sama.

Sempat saya bertanya kepada orang tua tentang siapa pria tegap tanpa baju tersebut dan apa yang dibawanya. ''Jangan meng­ganggu atau meludah sembarangan kalau orang itu lewat ya. Itu orang dari hutan, orang Sakai. Ia membawa lesung untuk dijual ke pasar,'' jawab ibu kepada saya yang kala itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Kami pun mendengar cerita-cerita menyeramkan tentang kesak­tian ilmu magic orang-orang hutan tersebut. Makanya tidak ada yang berani mengganggu orang tersebut, dan kami para bocah-bocah agak ketakutan jika melihat pria tersebut berjalan di depan rumah. Kami lari bersembunyi dan hanya mengintip saat dia melin­tas.

Suatu waktu, ketika bapak saya pulang dari mandah (pulang ke rumah setelah beberapa hari bekerja mengebor minyak di tengah hutan belantara), sering membawa ikan besar dan buah-buahan. Katanya itu pemberian dari orang Sakai yang tinggal di sekitar tempatnya bekerja yang dibarter dengan barang-barang tertentu.

Ketika duduk di bangku SMA, saya berteman dengan salah seor­ang anak suku Sakai. Sang teman jauh dari kesan orang Sakai yang tertanam di benak kami saat bocah-bocah dulu. Ia layaknya anak remaja sebagaimana kami dengan pakaian dan tingkah laku yang sama. Hanya bahasa saja yang agak sedikit berbeda karena kami menggunakan bahasa pasaran dalam berdialog sehari-hari. Si teman ini ternyata mendapat beasiswa dan menjadi binaan sebuah perusa­haan migas di tempat kami tinggal.

Karena si teman sering menggunakan fasilitas perusahaan migas tersebut, ia yang memberi tahu saya rute angkutan yang harus dinaiki saat kami kuliah di Pekanbaru. Saya yang jarang mengguna­kan bus perusahaan, sering bareng bersamanya pergi kuliah menggu­nakan bus tersebut ke Kota Bertuah. Dialah yang memberi petunjuk angkot mana yang harus saya naiki untuk mencapai tempat kos. Walaupun ia tidak kuliah di universitas negeri, namun ia tetap semangat kuliah di Pekanbaru. Ia terus melanjutkan kuliahnya hingga sarjana dan sempat duduk di kursi legislatif. Teman saya itu kini sudah almarhum.

Seiring bergulirnya era reformasi, ketika sedang aktif-aktifnya di kegiatan luar kampus, saya kembali mendengar nama Sakai diperdengung-dengungkan. Kala itu banyak orang, baik dari kalangan akademis hingga penggiat sosial, menyuarakan kehidupan orang-orang hutan ini. Berbagai acara mereka gelar dengan dalih untuk memperjuangkan nasib suku terasing ini. Tapi kebanyakan mereka malahan memanfaatkan momentum isu tersebut untuk kepentin­gan pribadi dan golongan. Sementara suku asli tersebut, masih saja tetap tergusur oleh derasnya arus modal yang masuk dan merangsek ke dalam rumah-rumah kulit kayu mereka di tengah hutan. Si "pengolah" tersebut makin kaya, sedangkan yang diperjuang­kannya tetap begitu-begitu saja. Malahan proposal yang terlihat banyak bertebaran. Begitulah.

Di suatu saat lagi, saya pernah diajak berkeliling menaiki helikopter sebuah perusahaan kayu untuk melihat wilayah HTI mereka yang tidak bisa digarap karena bentrok dengan warga tempa­tan. Dari atas udara saya memandang miris, rumah-rumah kayu yang disekilingnya pohon-pohon mulai menipis.

Di kala lain, ketika pulang ke kota kecil, kampung halaman saya nan kaya minyak dengan menggunakan mobil, masih terlihat mereka ini berdiri di tepi jalan sambil menyodorkan bakul sumban­gan. Saya tak tahu apakah hari ini kegiatan tersebut masih tetap dilakukan, karena saya sudah jarang pulang. Semoga zaman yang sudah berubah ini juga ikut merubah nasib saudara kita yang dulu menjadi raja dan pemilik hutan rimba ini lebih baik lagi.

Semoga..