Senin, 17 Oktober 2011

Sakai




Suku Terasing Itu

SAAT bocah dulu, di sebuah kota kecil nan kaya minyak tempat saya menghabiskan sebagian besar masa remaja, sering melihat seorang pria tanpa baju dan hanya bercelana pendek yang lebih mirip dengan sempak, berjalan kaki di depan rumah. Tanpa alas kaki, pria tersebut berjalan di tepi jalan raya yang dilumuri minyak mentah yang kadang licin saat hujan mengguyur. Sebuah kayu ber­bentuk segi empat dipanggul di punggungnya. Di tangannya tergeng­gam sebuah kayu bulat panjang yang telah bersih dikikis. Dengan santai, pria ini kerap melewati depan rumah kami. Walaupun tidak setiap hari, namun setiap pekannya ia selalu lewat dengan membawa barang yang sama.

Sempat saya bertanya kepada orang tua tentang siapa pria tegap tanpa baju tersebut dan apa yang dibawanya. ''Jangan meng­ganggu atau meludah sembarangan kalau orang itu lewat ya. Itu orang dari hutan, orang Sakai. Ia membawa lesung untuk dijual ke pasar,'' jawab ibu kepada saya yang kala itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Kami pun mendengar cerita-cerita menyeramkan tentang kesak­tian ilmu magic orang-orang hutan tersebut. Makanya tidak ada yang berani mengganggu orang tersebut, dan kami para bocah-bocah agak ketakutan jika melihat pria tersebut berjalan di depan rumah. Kami lari bersembunyi dan hanya mengintip saat dia melin­tas.

Suatu waktu, ketika bapak saya pulang dari mandah (pulang ke rumah setelah beberapa hari bekerja mengebor minyak di tengah hutan belantara), sering membawa ikan besar dan buah-buahan. Katanya itu pemberian dari orang Sakai yang tinggal di sekitar tempatnya bekerja yang dibarter dengan barang-barang tertentu.

Ketika duduk di bangku SMA, saya berteman dengan salah seor­ang anak suku Sakai. Sang teman jauh dari kesan orang Sakai yang tertanam di benak kami saat bocah-bocah dulu. Ia layaknya anak remaja sebagaimana kami dengan pakaian dan tingkah laku yang sama. Hanya bahasa saja yang agak sedikit berbeda karena kami menggunakan bahasa pasaran dalam berdialog sehari-hari. Si teman ini ternyata mendapat beasiswa dan menjadi binaan sebuah perusa­haan migas di tempat kami tinggal.

Karena si teman sering menggunakan fasilitas perusahaan migas tersebut, ia yang memberi tahu saya rute angkutan yang harus dinaiki saat kami kuliah di Pekanbaru. Saya yang jarang mengguna­kan bus perusahaan, sering bareng bersamanya pergi kuliah menggu­nakan bus tersebut ke Kota Bertuah. Dialah yang memberi petunjuk angkot mana yang harus saya naiki untuk mencapai tempat kos. Walaupun ia tidak kuliah di universitas negeri, namun ia tetap semangat kuliah di Pekanbaru. Ia terus melanjutkan kuliahnya hingga sarjana dan sempat duduk di kursi legislatif. Teman saya itu kini sudah almarhum.

Seiring bergulirnya era reformasi, ketika sedang aktif-aktifnya di kegiatan luar kampus, saya kembali mendengar nama Sakai diperdengung-dengungkan. Kala itu banyak orang, baik dari kalangan akademis hingga penggiat sosial, menyuarakan kehidupan orang-orang hutan ini. Berbagai acara mereka gelar dengan dalih untuk memperjuangkan nasib suku terasing ini. Tapi kebanyakan mereka malahan memanfaatkan momentum isu tersebut untuk kepentin­gan pribadi dan golongan. Sementara suku asli tersebut, masih saja tetap tergusur oleh derasnya arus modal yang masuk dan merangsek ke dalam rumah-rumah kulit kayu mereka di tengah hutan. Si "pengolah" tersebut makin kaya, sedangkan yang diperjuang­kannya tetap begitu-begitu saja. Malahan proposal yang terlihat banyak bertebaran. Begitulah.

Di suatu saat lagi, saya pernah diajak berkeliling menaiki helikopter sebuah perusahaan kayu untuk melihat wilayah HTI mereka yang tidak bisa digarap karena bentrok dengan warga tempa­tan. Dari atas udara saya memandang miris, rumah-rumah kayu yang disekilingnya pohon-pohon mulai menipis.

Di kala lain, ketika pulang ke kota kecil, kampung halaman saya nan kaya minyak dengan menggunakan mobil, masih terlihat mereka ini berdiri di tepi jalan sambil menyodorkan bakul sumban­gan. Saya tak tahu apakah hari ini kegiatan tersebut masih tetap dilakukan, karena saya sudah jarang pulang. Semoga zaman yang sudah berubah ini juga ikut merubah nasib saudara kita yang dulu menjadi raja dan pemilik hutan rimba ini lebih baik lagi.

Semoga..

Tidak ada komentar: