Rabu, 15 Juli 2009

pergilah ke negeri orang

si mafia di tugu monas




reformasi 98

Cinta Tanah Air?

Saat ini, kalau bicara tentang cinta tanah air, banyak yang akan tertawa. Jika dipooling seluruh warga Indonesia kini, saya rasa mungkin rasa cinta tanah air tak akan sampai 50 persen. Semua orang Indonesia terlihat mulai melupakan rasa sayangnya terhadap bumi nusantara ini. Saat ini, semua orang terkesan pemarah, anarkis, saling tuding, menyelamatkan diri masing-masing, dan kurang cinta kepada negaranya.

MOHON maaf jika ada yang tersingung. Jangan terlampau dimasukkan ke dalam hati, ini hanya pandangan subjektif saya dari pengalaman sehari-hari dan melihat gejala bangsa ini dari liputan media massa yang selalu menampilkan berita jelek jadi headline. Terus terang saya sedih. Mengapa terkesan kita begitu membenci Indonesia ini. Bak salah satu lirik lagu Slank yang berjudul Gossip Jalanan, “kacau balau, negaraku ini.”

Memang banyak yang mengatakan semua kekesalan yang ditumpahkan kepada negara, agar negeri ini bisa berubah. Bisa menjadi negeri yang aman, sejahtera dengan penduduk yang hidup tentram. Tapi yang tak habis pikir, kenapa harus setiap hari negeri ini dikritik terus. Apa penyelenggara negara ini sudah pekak. Atau masyarakat yang jadi tuli? Tak usah kita perdebatkan secara serius.

Tapi, saya disini akan berbagi pengalaman unutk orang-orang yang benci dan kurang sayang kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sekali-kali, anda pergilah ke luar negeri. Cobalah menetap barang satu atau dua bulan. Jika tak terlalu lama, mungkin bisa satu atau dua minggu saja. Saya berani bertaruh, anda akan rindu terhadap tanah tumpah darah ini.

Saya pernah beberapa kali pergi ke luar negeri. Tak jauh-jauh, hanya negara terdekat di kawasan ASEAN, seperti Singapura, Malaysia atau Thailand. Waktunya pun tak lama, Mungkin hanya dalam hitungan minggu, tak sampai sebulan. Seindah-indahnya negeri orang, namun saya mengatakan Indonesia adalah yang paling indah.

Di Singapura, saya malah dilanda ketakutan saja. Saat akan memasuki check point pintu imigrasi Singapura, ketika itu saya datang melalui Johor melewati jalan di selat yang memisahkan semenanjung Melaya dengan Pulau Singapura. Kami sudah beberapa kali diingatkan sang guide. ‘’Bapak-bapak kami ingatkan agar tidak membawa rokok yang masih belum dibuka bungkusnya. Apalagi kalau membawanya satu sloff. Jangan bertingkah laku aneh, dts…dst…..,’’ cecarnya.

Denda uang jutaan rupiah, kalau nilainya dikurskan atau penjara akan menanti jika tak mematuhi aturan yang ada. Padahal sebagai warga negara asing di Singapura, saya memang tidak tahu banyak aturan yang berlaku. Ingin menikmati liburan, malah kesannya jadi terbebani. Apalagi untuk yang perokok, betul-betul diwanti-wanti agar jangan merokok sembarangan.

Soal belanja atau makanannya, saya rasa lebih hebatlah kita belanja di Bandung atau Bukitinggi. Belanja di Orchad Road mahal-mahal… Saya jadi tak bebas dan terikat disana. Walaupun tidak terlihat ada polisi, tapi bagi saya ini jadi beban. Rindu terhadap Indonesia pun menyergap. Alangkah enaknya hidup di tanah air, kampung halaman kita sendiri.

Suatu waktu, saya ke Malaysia. Di negara yang selalu bermasalah dengan TKI kita ini, saya sudah datang beberapa kali. Ketika kedatangan dengan istri guna berobat kesana untuk kesekian kalinya, saya malah makin cinta dengan Indonesia. Yang saya tak sukai di Malaysia ini adalah, makanannya yang tidak enak. Sangat tidak cocok dengan lidah saya. Ini mungkin yang membuat saya tersiksa.

Makanya saya mencari hotel yang didekatnya ada rumah makan padang. Walaupun yang memasaknya orang Jawa, tapi tak apa-apalah, saya agak sedikit nyaman dan tak kelaparan. Makanan pagi Malaysia seperti nasi lemak, roti jala, nasi hainan dan makanan sejenis yang katanya enak, sangat tidak familiar di lidah saya.

Pernah dulu saya dengan rombongan dijamu oleh, kalau di Indonesai mungkin setingkat gubernur, di Melaka. Kami pergi ke rumah dinasnya yang berada di atas bukit dengan pemandangan yang indah. Tapi saya sangat tidak suka dengan makanan yang disajikan. Saya ini agak sukar kalau menyangkut menu makanan. Hingga kini, terus terang saya tak bisa makanan jenis ayam, ikan laut dan air tawar. Jadi agak tersiksa juga jika disediakan makan jenis itu.

Termasuk saat ke Thailand. Pertama-tama mungkin kita akan enjoy, tapi agak lama akan terasa rindu dengan kondisi tanah air. Entah mengapa, selalu begitu. Saat itu saya masih merokok, rokok yang saya hisap selalu GP (Gudang Garam Filter). Di Bangkok, hampir mampus saya mencari rokok merek ini. Saya berkeliling dari satu kedai rokok ke kedai rokok mencarinya. Pokoknya dalam hati, saya berani bayar mahal jika ada yang menjualnya.

Soal makanan, selama tur, saya lebih banyak makan omelet. Dalam bahasa kitanya dinamakan “telur dadar”.. Menurut kawan-kawan lain makanannya enak-enak, ada Tomyam, aneka makanan laut, dan jenis lainnya. Tapi bagi saya telur dadar tetap favorit. Selain halal, memang itu yang cocok di lidah saya. Lama-lama saya agak sedikit tersiksa juga dengan suasana yang ada. Saya pikir, bagaimana ya dengan orang yang tinggal menetap.

Rupanya hal yang sama dialami juga oleh teman saya yang lama menetap di luar negeri. Shock kebudayaan, menurut teman saya itu juga dialaminya. Sesuatu hal yang baru dan berada diluar kebiasaan sehari-hari, memang agak sulit untuk beradaptasi. Ia bahkan mengaku pernah meneteskan air mata saat mendengar lagu “Indonesia Tanah Air Beta” saat berada jauh dari Indonesia.

“Memang negeri orang jauh lebih tertib, teratur, moderen dan maju dari negeri kita. Tapi percayalah kau, tanah air Indonesia tetap jadi tempat yang paling nyaman, indah bagi kita untuk ditinggali,’’ ungkapnya suatu waktu.

Malah ia juga berani menantang, orang yang tak cinta tanah air, menetaplah di luar negeri. ‘’Kalau tak ingin di Amerika bisa di Irak, Somalia, atau Afghanistan. Bisa dilihat berapa lama ia betah,’’ katanya berceloteh.

Saya juga tak bisa membayangkan, bagaimana dengan para pelarian politik dan tak bisa pulang ke Indonesia. Seperti warga Indonesia yang terkurung di luar negeri saat huru-hara tahun 1965 pecah. Banyak yang dituduh terlibat partai terlarang, hingga akhir hayatnya hanya bisa membayangkan di angan-angan memori kampung halaman yang sangat dirindukan. Seperti kisah Sobron Aidit, adik tokoh sentral partai terlarang yang baru bisa menginjakkan kaki ke kampung kelahirannya, saat hayat menjelang, usai orde reformasi bergulir. Ia pun meninggal di tanah seberang yang ribuan kilometer jauhnya…..***






Tidak ada komentar: