Jumat, 06 Maret 2009

Kenikmatan Dunia

Menghabiskan waktu di luar ruangan lantai tiga Ramayana restauran

Merokok di tepi jalan habis makan di Suan Lum Nigh Bazzar, Bangkok

Ahli Hisap

Harry terlihat gugup. Ia buru-buru mematikan rokok yang baru dihisapnya di sebuah pot penuh pasir putih yang biasanya diletakkan di depan lift. Saking takutnya, ia menimbun rokoknya dengan pasir dalam tempat sampah itu. “Kan tak nampak lagi bekasnya,’’ katanya.

WAJAR saja teman saya ini agak takut saat saya bilang, tak boleh merokok di lorong hotel ini. Karena jika ketahuan, akan didenda sebanyak 2.000 baht. Jadi ketika mendengarkan itu, ia pun buru memasukkan rokoknya ke dalam timbunan pasir, pot sampah depan lift.

Memang susah kalau kecanduan nikotin. Apalagi jika melakukan perjalanan di luar negeri. Seperti di Thailand, seperti yang saya jalani beberapa hari lalu. Sebagai salah seorang penggemar berat rokokGP, (sekarang tinggal saya satu-satunya penggemar GP di kantor), tak merokok serasa hidup tak nyaman. Memang semua perokok tahu bahwa merokok merugikan kesehatan. Namun kalau sudah kecanduan, gimana lagi. Yang paling susah kalau selesai makan, lagi minum kopi atau saat duduk santai. Jika tak ada rokok rasanya seperti sayur kurang garam.

Saat transit pesawat di LCCT terminal Kualalumpur Malaysia, saya semula agak takut merokok. Satu jam dalam pesawat, ditambah setengah jam menunggu bagasi, membuat mulut rasanya asam dan ingin disentuh asap. Keluar dari ruang kedatangan, saya duduk di ruang tunggu yang kebetulan berada di jalan karena gedungnya dalam perehaban. Saya pun bertanya kepada seorang “keling” yang jadi petugas kebersihan apa boleh merokok di tempat tersebut. “Boleh ncik,’’ katanya sambil meraih rokok GP yang saya sodorkan ke tangannya. Maka mengepullah asap ke udara.

Saat makan siang di lokasi tersebut, saya beruntung memiliki teman yang juga satu rombongan dari Solo. Usai makan di ruang ber AC, kami pun bekumpul di bangku besi ditengah teriknya matahari guna menikmati candu nikotin. ‘’Ahli hisap berkumpul kembali,’’ canda kami.

Sebagai bekal di luar negeri, kami pun membawa banyak stok rokok. Karena rokok di Indonesia tak ada dijual. Kalau pun ada, mungkin rasanya tak sama karena buatan negara tersebut, seperti mild-nya Malaysia beda rasanya dengan mild-nya Indonesia. Saya agak beruntung punya teman dari Padang yang juga sama-sama penggemar GP. Lucunya, saat di bandara LCCT ketika pulang kembali ke Indonesia, saya bermaksud membayar utang karena sebelumnya saya pinjam uangnya untuk beli minuman. Namun ia menolak uang Baht saya. ‘’Bayar saja dengan rokok GP bang. Rokok marlboro yang saya beli ini ntah apa rasanya,’’ pintanya.

Di Thailand, orang tidak boleh sembarang merokok. Pokoknya di dalam ruangan yang ramai dengan orang, ruang ber AC, dalam bus, bahkan bar dan tempat hiburan malam, sama sekali tidak boleh merokok. Kalau ingin merokok, maka terpaksa ke luar dulu dari ruangan dan duduk sendiri di pinggir jalan menikmati asap. ‘’Merokok boleh di pinggir jalan. Kalau ada asbak besar terletak, maka merokoklah disana,’’ ujar guide kami mengingatkan.

Untuk hotel, hampir 70 persen melarang tamunya merokok dalam kamar. Tapi untung Hotel Montiens tempat saya menginap di Bangkok dan Hotel Pattaya Center di Pattaya menyediakan asbak dan korek api dalam kamarnya. Berarti tamu bisa bebas merokok dalam kamar tersebut.

Yang tak enaknya kalau duduk di bar atau tempat santai yang menyediakan minuman serta hiburan malam. Pengunjung sama sekali dilarang merokok. Jadi tak ada enaknya duduk ngopi atau minum bir sambil ngobrol, tapi tak bisa merokok. Jadi tak enak dan malah kangen dengan negara kita Indonesia yang bisa bebas.

Harga rokok yang ditawarkan di supermarket dengan nama 7eleven yang tersebar di seantero Thailand, tergolong mahal. Dan yang disediakan pun rokok-rokok kelas dunia seperti Marlboro, Lucky Strike, Dunhill dan sejenisnya. Tak ada dijual rokok kretek. Mungkin nampaknya rokok kretek hanya dijual di Indonesia.

Jadi setiap kali kami turun bus dan berkunjung ke sebuah lokasi wisata, yang pertama kali dicari setelah WC adalah lokasi rokok. Jika ingin ketemu anggota rombongan laki-laki, maka carilah ke tepi jalan, tempat asbak rokok seperti tong sampah tersedia. Demikian juga saat habis makan, rata-rata kursi akan kosong ditinggalkan para lelaki. Anggota yang lain sudah tahu kemana sang ahli hisap menghilang.

Terakhir saya merasa susah saat menginap di Hotel Golden Horses. Sebuah resort mewah dengan hotel berbintang lima saat transit satu hari di Malaysia. Tak boleh sama sekali merokok di semua lantai 7 tempat kamar kami berada. Tapi saya tak menyerah, malam-malam kami membuka jendela dan merokok di balkon kamar hotel sambil menikmati sinaran lampu menara kembar yang berkelip-kelip dari kejauhan.

Guna melepas dendam, saat sampai di bandara Sultan Syarif Kassim Pekanbaru, saya tak langsung menuju rumah. Saya masuk dulu di coffe shop bandara dan memesan kopi hitam panas. Saya pun memuaskan hasrat merokok dalam ruangan ber-AC sambil ditemani segelas kopi kental. Aduh, nikmat rasanya dan saya habiskan waktu hampir dua jam disana. Karena kalau di rumah saya, ada peraturan tak tertulis dari sang tuan rumah, dilarang sama sekali merokok. Bahkan saya agak takut merokok jika terlihat olehnya. Biasalah, sang istri…..***


Tidak ada komentar: