Rabu, 19 Maret 2008

Insyaflah



Teleju dan Pemerintah Kita


AWALNYA saya agak menggigil ketika pertama kali menginjakkan kaki di sebuah daerah yang bernama Teleju. Saat itu tepat pada jam 12.00 WIB dinihari. Dengan mengendarai sepedamotor, saya beserta beberapa teman masuk ke daerah "hitam" tersebut. Usai melewati dua ampang-ampang yang wajib menyetorkan uang, kami pun melewati jalanan tanah yang diapit oleh rumah-rumah semi permanen dengan penerangan yang redup. ''Mampir mas...,'' sapa seorang lonte yang berdiri di depan rumah tersebut.

Saat itu saya masih kuliah, sekitar akhir tahun 1990-an lah. Saya yang tak biasa dengan hawa dunia hitam ini, makin gemetaran saat sepeda motor yang dibawa teman dengan pelan menjelajahi makin ke dalam kawasan tersebut. Mengapa gemetaran? Terus terang saya takut. Pertama, takut saya tak bisa kembali pulang dan dipaksa untuk menginap di sana oleh para penjaga Teleju. Disamp¬ing saya juga takut jika terjadi hal-hal yang tak diingini saat berada di dalam kawasan "panas" tersebut. Serta takut terkena razia oleh polisi dan wajah saya pun akan masuk koran. Sebuah pikiran lugu saya kala itu yang masih awam.

Saya pun bahkan mewanti-wanti teman yang membawa kami agar ingat dengan janjinya bahwa kami hanya sekedar jalan-jalan dan melihat-lihat saja, setelah itu pulang. Seorang teman yang kini sekantor dengan saya. Syukur teman ini konsekwen dengan janjinya dan hanya selama lima menit berkeliling di kompleks pelacuran itu, kami pun kembali pulang. Belakangan, teman saya ini meraih juara lomba penulisan tingkat nasional yang mengambil tema Tele¬ju. Ia mengangkat kisah seorang ustad yang juga sebagai seorang germo di daerah lokalisasi terbesar di Pekanbaru ini.

Kawasan Teleju yang terletak di ujung pelosok Kota Bertuah, kini mendapatkan perhatian. Namun perhatian yang diperoleh adalah perhatian serius. Teleju akan dihabiskan. Bisakah? Sebuah pertan¬yaan yang jawaban telah lama dinanti-nantikan oleh para ulama di negeri ini. Kecuali mungkin oleh sang ustad yang ditulis teman saya yang nyambi sebagai germo, mungkin.
Memang sejak lama penutupan kawasan pelacuran ini dikuman¬dangkan oleh segenap warga kota. Pro dan kontra terus begulir seiring berjalannya waktu dan kasus ini pun hilang timbul. Hingga belum lama ini muncul berita yang mengejutkan warga. Satpol PP memungut setoran di lokalisasi Teleju. Peristiwa yang cukup memalukan ini mendapat perhatian luas dan akhirnya juga meredup.

Kini, usai sang Wali Kota Drs H Herman Abdullah MM memberikan akte kelahiran gratis untuk anak-anak Teleju, keinginan untuk menutup Teleju kian menguat. Wali kota yang digadang-gadangkan akan menjadi calon kuat "Gubernur Riau" ini ternyata tak main-main. Ia bahkan membentuk tim khusus mengkaji hal tersebut. Apakah ditutup habis atau dialihkan menjadi sebuah tempat baru yang jauh dari kesan prostitusi. Sebuah niat mulia dan layak untuk didukung.

Namun yang jadi pertanyaan, bisakah aparat di bawahnya mewu¬judkan keinginan tersebut. Sebab kalau dirunut-runut, sebagai penyakit purba yang telah ada sejak zaman dahulu kala, prostitusi sangat sulit diberantas. Dimana saja dibelahan dunia ini, prosti¬tusi tetap saja ada. Sesuai dengan prinsip ekonomi, dimana ada pemintaan maka disitu akan ada penawaran.
Seorang senior saya bahkan punya pendapat yang mungkin layak untuk ditentang. Ia tidak setuju Teleju dihapuskan dan minta agar lokalisasi ini tetap ada. ''Kenapa bisa begitu,'' tanya saya.

Ia pun punya pendapat yang layak didengarkan. ''Kau ingin istri, anak perempuan atau keluarga yang lain "dipanjat" oleh orang-orang yang buas seksual. Kalau dihapuskan, maka orang yang yang kebutuhan biologisnya memang disalurkan ke sana akan terham¬bat. Maka bisa jadi kasus pemerkosaan atau tindak pelecehan seksual akan meningkat di kota ini. Bahkan bisa jadi para penghuni Teleju akan masuk ke dalam kota ini dan berkeliaran di tepi jalan,'' kata dengan lidah menjulur.

Saya pun mengatakan bahwa semua efek itu adalah tugasnya pemerintah. ''Pemerintah macam mana. Pemerintah dan pegawainya yang saat ini lebih suka libur lalu menghitung uang tunjangan, uang transportasi, uang insentif dan komisi-komisi proyek. Jangan terlalu banyak berharap dengan pemerintah lah, nanti kau kecewa,'' katanya, saat ini dengan nada serius.***

(catatan akhir pekan
di Riau Pos Edisi Ahad 10 Maret 2008
Liputan Khusus Teleju
)


Tidak ada komentar: