Rabu, 19 Maret 2008

Begitulah



Agresivitas Satpol PP

BERITA tak sedap itu kembali menjadi sajian untuk khalayak ramai. Tudingan bertubi-tubi kini membahana menyoroti kinerja Satuan Polisi Pamongpraja, khususnya di Pemerintahan Kota Pekanbaru. Berbagai macam kekesalan tampaknya mulai ditumpahkan oleh para pengusaha, pedagang, warga dan juga loper koran terhadap tindakan penertiban yang dilakukan "polisi sipil" ini. Nampaknya kekesalan mulai memuncak akibat mereka kerap dijadikan objek oleh para anggota Satpol PP yang kadang-kadang sering diindentikkan dengan istilah "oknum".

Sebenarnya beberapa berita tak sedap menyangkut institusi Satpol PP pernah menghiasi halaman media-media lokal sebelumnya. Mulai dari perekrutan tenaga yang dipungut bayaran uang tertentu, ditangkap polisi karena bermain judi, penikaman warga, anggota bunuh diri, hingga pungutan-pungutan tak resmi lainnya terhadap warga dan barang yang ditahan, termasuk pungutan di lokalisasi Teleju. Namun semua hal ini terlihat tidak diselesaikan secara tuntas oleh pihak terkait. Sehingga masalah yang sama terus berulang seiring berjalannya waktu. Ada apa sebenarnya dengan Satpol PP?

Dulu, Satpol PP dikenal dengan nama Tibum. Kerjanya, seperti yang sering terlihat, adalah menertibkan para pedagang. Hingga tak jarang hingga kini masih banyak para pedagang menyebut Satpol PP dengan nama Tibum. Hingga instansi ini menjadi momok tersen¬diri bagi para pedagang di pasar-pasar tradisional. Memang, salah satu kerja Satpol PP adalah menertibkan para pedagang yang ber¬jualan tidak pada tempatnya seperti di badan jalan, trotoar, parit dan kawasan hijau. Tapi yang pasti, Satpol PP bertugas sebagai pengawal Peraturan Daerah (Perda).

Namun kini, khususnya di Kota Pekanbaru, Satpol PP-nya kera¬jinan. Tak hanya pedagang yang disikat, namun juga sudah merambah ke razia KTP warga. Termasuk juga merazia karangan bunga, meja biliar, menghancurkan bangunan tanpa IMB hingga mendatangi lokasi pelacuran. Bahkan yang selalu menjadi tempat favorit didatangi Satpol PP untuk menjadi lokasi razia adalah perumahan Jondul. Bisa dikatakan, setiap ada pemberitaan razia wanita-wanita nakal, Jondul selalu menjadi tempat yang selalu mendapat kunjungan mereka.

Memang tak ada yang salah jika Satpol PP serius menjalankan tugasnya sebagai pengawal Perda. Malah jika konsekuen menjalankan tugasnya tanpa adanya "hidden agenda", warga kota akan bangga sekali dan memberikan penghargaan. Namun yang terjadi di lapan¬gan, operasi yang dilakukan tergolong "tebang pilih". Contohnya, jika melakukan razia karangan bunga, nampaknya Satpol akan ber¬tindak tegas. Seperti yang terlihat kemarin, banyak puluhan karangan bunga yang berisi ucapan untuk sebuah bank swasta dia¬ngkut dan menumpuk di kantor mereka. Sementara di hari yang sama, karangan bunga untuk sebuah acara partai politik, tak tersentuh barang secuil pun. Ada apa ini?

Ini baru contoh kecil. Belum lagi jika dibandingkan dengan razia-razia yang selalu dilakukan di tempat yang sama, seperti Perumahan Jondul. Mengapa tidak di perumahan lainnya yang banyak tersebar di Kota Bertuah ini. Apa memang karena di Jondul banyak orang berduitnya?
Belum lagi masalah uang jaminan atau uang tilang yang dila¬galkan. Apa ada aturannya Satpol PP bisa memungut uang jaminan, uang sidang atau uang tilang. Kalaupun memang ada persidangan, dimana persidangan dilakukan. Apa memang ada pedagang yang di¬tangkap di sidang Satpol PP. Ini menjadi pertanyaan publik yang harus segera dijawab.

Nampaknya, Wali Kota Pekanbaru harus segera memperhatikan masalah-masalah yang nampaknya sepele ini. Jika tidak, jangan terkejut jika masalah ini akan menjadi "bola salju". Hingga akhirnya akan mencoreng semua keberhasilan yang telah diraih.***

Tidak ada komentar: