Minggu, 24 Februari 2008

Penantian Lima Tahun


Rakha Rizqullah Sauqi




Suster lagi memasang baju rakha usai dijemur





Lagi asyik berjemur





Lagi mimik susu botol sama mami


Rakha sedang tertidur lelap


Lelahnya Menunggu Jadi Seorang Ayah

Akhirnya masa penantian itu berakhir juga. Ahad, 10 Februari 2008, tangisan kecil itu pun pecah. Masa menunggu selama lima tahun pun terasa cepat berlalu. Seiring teriakan keras Rakha (anakku) yang sangat kencang diantara kumandang azan yang kulafazkan di telinga kanannya. Rasa menggigil pun menghampiri suara serakku diantara kalimat Allahuakbar... yang kudengungkan ditelinganya sebagai pendengaran pertama bocah kecil, sipit putih ini.

SAYA
termasuk orang yang banyak mendapat cobaan dalam mendapatkan anak. Silih berganti cobaan yang dihadapi dan saya coba tegar menghadapi dan berusaha selalu bersikap sabar dan pasrah. Semua atas kehendak Allah dan saya percaya suatu saat nanti ada hikmah dibaliknya dan cobaan ini akan berakhir.

Anak pertama, saya rasa sebagai pengalaman tragis dan seakan-akan seperti mimpi. Pernahkah anda menggendong seorang bayi dalam sebuah kain panjang? Tentu, saya yakin banyak yang melakukannya dan hal ini sangat lumrah. Tapi bagaimana kalau membawanya diiringi deraian air mata, diiringi banyak orang serta menuju liang kubur. Saya yakin tak banyak orang yang mengalami bahkan mungkin tak akan sanggup.

Anak pertama yang kami idam-idamkan itu meninggal dalam perut ibunya sebelum lahir melihat dunia yang fana ini. Bagaikan disambar petir, saya pontang-panting meninggalkan pekerjaan saya di kantor begitu mendapat telepon dari rumah. Saya sudah feeling bahwa ada masalah dengan janin yang dikandung istri saya ketika disuruh segera pulang. Ya, begitulah, Allah sudah menetapkan demikian takdir saya dan merupakan bagian dari episode kehidupan yang telah ditetapkannya dan akan saya jalani.

Kami menikah pada awal bulan Maret 2003. Sebuah masa yang indah karena kami telah menjalani masa pacaran selama lima tahun, sejak duduk di bangku kuliah. Saya bahkan tak pernah terpikir bahkan berkhayal menikah dengan istri saya sekarang ini. Karena saya merupakan anak tertua dan jadi harapan kedua orang tua dan panutan 6 orang adik saya. Jadi ada beban dalam diri untuk membahagiakan orang tua serta membantu sekolah adik-adik saya terlebih dahulu. Bahkan ibu saya dari jauh-jauh hari sudah memberi warning agar saya tidak menikah cepat.

Ditambah lagi dengan pekerjaan saya yang penghasilannya jauh dari cukup untuk menghidupi sebuah keluarga. Diperparah lagi dengan kondisi tabungan yang ludes untuk membeli sepeda motor guna menunjang rutinitas pekerjaan saya. Namun sang calon mendesak dan ibunya saya lihat mulai mencari-cari kesempatan untuk menyampaikan hal tersebut setiap saya datang ke rumahnya.

Saat pulang ke kampung, saya pun menyampaikan hal tersebut pada bapak (saya memanggilnya Apa). Tanpa duga sebelumnya, Apa malah meresponnya. Malah ia minta orang tua sang calon untuk datang ke rumah kami. Walaupun ibu (kami memanggil Ama) mengungkapkan rasa tak senangnya, saya gembira mendengar permintaan Apa. Hal ini pun langsung saya utarakan kepada sang calon istri ketika itu agar disampaikan kepada ibunya. Keluarga besar mereka pun menyanggupi dan ditentukanlah hari bersejarah itu.

Awalnya, mungkin Apa hanya ingin berkenalan dengan sang calon besan. Namun saya dan calon istri ketika itu sudah membuat rencana tanggal kami menikah, 8 Maret 2003. Hal juga saya utarakan kepada juru bicara keluarga yang akan menyambut tamu. Maka akhirnya perundingan pun alot hingga mencapai puncak pada penetapan tanggal maried.

Akhirnya resepsi pun diselenggarakan di rumah istri saya. Karena tak punya keluarga di Pekanbaru, saya pun dijemput datang oleh keluarga istri di Hotel Tasia Ratu tempat kami menginap. Keluarga besar Apa datang semua, minus keluarga Ama. Yang membanggakan saya, Gubernur, Wali Kota, Camat dan para Kepala Dinas datang ke resepsi kami. Ya, ramai dan meriahlah serta sukses. Ditambah lagi pesta serupa juga diadakan di rumah orang tua saya di Duri.

Sebagai keluarga baru, saya dan istri tetap bekerja sebagaimana halnya seperti sebelum menikah. Sudah memasuki bulan ketiga, istri saya belum juga hamil. Kami sempat cemas-cemas juga. Hingga akhirnya kehamilan tersebut datang. Betapa bahagianya kami. Kehamilan tersebut langsung kami periksakan ke dokter spesialis. Beberapa dokter kami coba hingga akhirnya istri saya merasa cocok dengan dr S D yang praktek di Klinik S A Y. Agar janin sehat, saya ikuti perintah dokter tersebut agar berobat setiap 15 hari sekali.

Walau terasa berat dibiaya, saya terus lakukan saran dokter ini dengan harapan istri dan calon bayinya sehat. Bayangkan saja untuk sekali berobat saya mesti merogoh kocek antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Terasa berat jika dilihat dari gaji saya saat itu. Kami terus mengikuti dokter ini yang kadang tanpa adanya konsultasi mengingat setelah periksa kesehatan, beri resep, lalu dengan gaya khasnya, ''lima puluh ribu''...... Waktu bertanya pun, kami dijawab seadanya dan kesannya ingin kami cepat keluar dari ruangan itu.

Begitulah hingga musibah itu datang. Saya yang datang tergopoh-gopoh dari kantor, melihat istri sudah menangis di kursi ruang tunggu dokter. Saat itu ia periksa rutin ditemani kakaknya karena saya kerja malam. ''Dokter bilang jantungnya tak berdetak lagi bang,'' ungkap istri saya dengan suara tertahan. Kami pun lalu mencoba mengecek secara pasti ke dokter lain yang khusus rongten di klinik itu. Jawabannya tetap sama, saya pun lunglai.

Kami pun diberi surat pengantar ke Rumah Sakit Eria Bunda dengan pertimbangan si dokter agar cepat sampai karena ia tinggal disekitar wilayah tersebut. Malamnya, istri saya tak berhenti menangis. Saya pun mencoba bersikap pasrah dan tak hentinya bertanya-tanya apa penyebabnya. Paginya, kami pun masuk ke RSAB Eria Bunda di Jalan KH Ahmad Dahlan Pekanbaru. Kamipun masuk ke kamar kelas 3 karena semua kelas lainnya penuh.

Istri saya pun diboyong ke kamar bersalin dan dirangsang serta diberi alat yang dinamakan balon untuk mengeluarkan sang janin. Dokter telah ditelepon, namun hingga siang belum juga datang. Akhirnya janin keluar tanpa ada dokter dan hanya ditangani perawat saja. Dokter sialan ini datang setelah itu dan malah menyuruh saya sabar. ''Santai saja pak, biasanya ini,'' ungkapnya.

Saya sudah tidak tahu berkata apa lagi. Yang kini melintas di otak ini adalah istri saya selamat, dan bayi yang telah lengkap organ tubuhnya ini secepatnya dimakamkan. Kami pun membawanya dengan ambulans ke rumah orang tua istri saya karena saya memang masih menumpang disana. Di rumah, telah berkumpul para tetangga dan segala sesuatu telah pun disiapkan. Saya ikut memandikan mayat bayi saya ini dan kemudian dikafankan.

Sehelai kain panjang dililitkan ke pundak saya untuk membawa bayi malang ini ke liang lahat. Bayi ini saya namakan Muhammad Ikhsan yang kelak akan jadi penghuni surga. Ia dikuburkan tepat disamping makam kakeknya yang lebih dulu meninggal di tahun 1999. Ada perasaan haru saat melihat bayi saya yang tak pernah membuka mata saat lahir ke dunia ini, masuk ke liang lahat kemudian ditimbun dengan tanah. Apalagi ibunya tak ikut menyaksikan upacara ini karena terbaring lemah di rumah sakit.

Saya mencoba bertanya kepada sang dokter apa yang jadi penyebab jantung janin tak berdetak saat memeriksa kondisi istri usai dikuret. Tapi sang dokter ini tidak dapat memberi jawaban. ''Banyak penyebabnya, periksa darah dulu ke Prodia,'' katanya sambil memberi surat rujukan.

Kami pun ke Prodia untuk test darah dan segala tetek bengek lainnya. Ternyata untuk tes darah ini memakan biaya mahal. Saat itu saya mengeluarkan uang Rp1 juta lebih untuk selembar surat hasil test. Surat itu lalu kami bawa lagi ke dokter tersebut, tapi ia hanya manggut-manggut tanpa ada solusi. Saat saya tanyakan apa yang jadi penyebab jantung janin tak berdetak, lagi-lagi ia tak bisa menjawab. Dasar.....

Usai melahirkan dan dikuret, istri saya dilarang hamil selama tiga bulan. Saran ini kami turuti. Keluarga mencoba menenangkan jiwa istri saya yang menjadi tak tenang. Saya pun demikian juga dan mengatakan kepada hal itu biasa, dan bisa dicoba lagi untuk hamil. Setelah itu, kami pun larut kembali dalam dunia pekerjaan.

Usai masa tidak boleh hamil berakhir tak berapa bulan kemudian, istri saya hamil lagi. Kami kembali gembira. Saya berencana melakukan pemeriksaan kehamilan ke dokter lain, tapi istri saya tak mau dan ingin ke dokter yang lama. Alasannya, karena dokter yang lama sudah tahu riwayat kesehatan kehamilan terdahulu. Saya pun tak bisa menolak walaupun masih sangsi dengan dokter S ini.

Akhirnya pemeriksaan rutin pun dilakukan. Ya, sebagaimana sebelumnya yang setiap berobat kantong pun jadi tipis. Tapi kali ini kejadian serupa pun berulang. Pada bulan kelima, janin istri saya divonisnya tak berkembang. Aduh, apalagi ini masalahnya. Seperti waktu yang lalu, saya pun disuruh mengecek ke dokter rontgen di klinik tersebut. Menurut dokter itu, memang panjang bayi tak sebanding usia kehamilan. Saya pun membawa istri pulang.

Tak puas juga, istri saya bawa ke dokter N di RS A B. Dokter ini pun tak bisa memutuskan apakah bayi berkembang atau tidak dan minta bulan depan datang lagi cek ke sana. Bosan dengan dokter, istri saya pun dibawa keluarga ke bidan Wati yang lumayan terkenal itu. Menurut keterangan keluarga istri yang membawanya, bidan mengatakan janin itu anak mahal. Ntah mana yang betul saya pun bingung. Maka pergi lagi ke dokter Cina yang praktek di samping Poltabes Pekanbaru.

Jawaban inilah yang membuat saya puas. Menurut pemeriksaannya, janin memang tak berkembang. Kemudian ia memberikan penjelasan yang panjang lebar tentang hal tersebut. Termasuk soal dikuret atau cara lain untuk mengeluarkan janin. Menurutnya, bisa saja dilakukan namun pada dasarnya tubuh manusia mengeluarkan sendiri secara otomatis racun dan hal yang merusak dari dalam tubuh. Menurutnya, dengan minum obat tertentu, janin bisa keluar sendiri. Tapi apakah sudah bersih betul, hal tersebut masih belum bisa ditentukan. Dan jika dilakukan dengan kuret, maka bisa dijamin akan bersih.

Atas nasehatnya itu, maka saya pun memutuskan untuk melakukan kuret. Kami pun kembali menuruti saran dokter S, ia meminta kami kuret di Klinik Bersalin S yang diasuhnya. Kami pun melaksanakan hal tersebut. Ternyata tempat itu sangat sederhana. Sebuah klinik dengan yang berdampingan dengan rumah sang bidan, seorang Batak yang sangat lembut. Namun saat itu lagi didera masalah pula karena anak gadisnya lari dari rumah. Hingga saya lihat hal ini mengganggu pikirannya.

Kami masuk pagi hari dan dilakukan pemasangan alat menunggu bukaan untuk melahirkan. Dokter pun sudah diberitahu pada pagi itu. Namun kejadian dulu kembali berulang. Dokter Si bangsat ini tak juga muncul hingga malam. Padahal janin telah keluar dan darah juga tak henti mengalir. Ia datang tergopoh-gopoh dengan minta maaf dan beralasan ada acara penting yang tak bisa ditinggalkannya. (Belakangan saya tahu acara yang dihadirinya hanya pertemuan silaturahmi biasa IDI Pekanbaru, benar-benar kayak lancrit dokter ini. Saya pun bersumpah tak akan mau melihat wajahnya lagi).

Kuret dilakukan dengan AC ruangan dimatikan. Karena istri saya telah menggigil kedinginan menunggu dokter sialan ini. Ia meminta AC dihidupkan, tapi bidan tak mau karena istri saya sudah menggigil. Maka ia pun bekerja dengan keringat di dahi.

Usai kejadian ini kami jadi trauma, terutama istri saya. Setiap mendengar kata rumah sakit atau dokter, maka ia pun langsung sesak pipis. Saya pun demikian juga, jika ada artikel tentang masalah kehamilan dan reproduksi maka pikiran pun langsung tak tenang. Hal ini membuat kami otomatis menunda kehamilan dulu selama lebih dari setahun. Selama itu saya anti yang namanya dokter dan tak mau mencoba berobat. Saya secara total pasrah dan berbuat apa-apa. Hingga akhirnya rumah BTN yang kami ambil saat awal menikah dulu selesai kami rehab. Selama setahun itu pikiran saya tujukan hanya untuk merehab rumah kami. Hingga kami pindah dari rumah mertua ke rumah ini. Istri pun saya suruh berhenti bekerja.

Setelah pindah, kami yang hanya tinggal berdua merasa sunyi di rumah baru yang terasa lapang ini. Maka keinginan untuk punya anak kembali muncul. Mengingat sudah setahun cuti, saya merasa tak ada masalah lagi kalau ingin hamil. Maka tak lama berselang, istri saya pun hamil.

Karena tak lagi percaya dengan dokter, maka kami tak memeriksakan diri. Pada bulan ketiga istri saya memaksa untuk berobat ke dokter. Maka kami pun pergi ke dokter E B. Dokter pemilik E B ini memang pure bisnis. Dokter yang kalau tak salah bernama E ini, tanpa ekpresi ia langsung mengarahkan istri ke kasur untuk diperiksa USG. ''Bayinya tak berkembang,'' katanya datar sambil membuat resep dan minta diambil di apotik lain tak berapa jauh dari rumah bersalin tersebut. Tanpa ada penjelasan, pemberian nasehat atau hal lain yang menyenangkan. Bahkan ia malah sibuk menonton televisi sambil melayani kami di ruang prakteknya.

Uang seratus ribu pun melayang ke kantongnya untuk sekali tatap muka itu tanpa ada nasehat atau kata-kata yang membuat hati ini bisa jadi tenang. Betul-betul murni bisnis kapitalis orthodok. Saya pun makin tak percaya dokter hingga memutuskan memeriksakan kehamilan istri saya ke Bidan Wati, pemilik rumah bersalin Fatmawati yang terkenal sejak dulu. Rasa lega memang diberikan bidan yang berpengalaman ini. Ia memeriksa istri saya dan memberi nasehat-nasehat agama yang menyejukkan hati. Ia meminta seminggu kemudian untuk dicek lagi. Satu hal yang diungkapkannya dan menyejukkan hati istri saya adalah bahwa semua telah ditentukan oleh Allah dan manusia tak akan bisa berbuat apa-apa jika Allah telah berkehendak.

Kami beberapa kali periksa kehamilan dan diberi obat hormon dan obat pertumbuhan bayi. Namun rupanya bayi tak juga berkembang. Hal ini dipertegas oleh dr Alfian yang praktek disana saat USG terakhir. Sebelumnya, kami diberi nasehat olehnya dan dianjurkan makan yang bergizi dan rajin minum susu. Tapi nampaknya bayi tersebut masih juga sulit berkembang. Hingga akhirnya diputuskan untuk dikuret lagi. Kami pun masuk ke Rumah Bersalin Fatmawati untuk dikuret yang ditangani langsung oleh bidan Wati dan dr Alfian. Bidan dan dokter ini terlihat sigap dan berada pada saat yang dibutuhkan. Termasuk saat kuret berlangsung, dr Alfian datang tepat waktu sesuai jadwal yang ditentukannya pada jam 8 malam.

Jadi saat itu istri saya telah tiga kali mengalami kuret yang menurut sebagian orang, lebih sakit daripada melahirkan. Hal ini dapat saya pahami melihat bagaimana istri saya menahan penderitaan menjelang melahirkan tersebut karena saya selalu berada disampingnya. Memang kita harus sabar dan pandai membuatnya agar tetap tegar dan bertahan terhadap cobaan ini.

Usai kuret, kami pun mengecek kesehatan dengan dokter Alfian. Dokter asal Bukittinggi ini memang unggul dalam pendekatan serta nasehat agamanya. Saya masih ingat saat ia mengatakan bahwa kalau istri saya perlu diteraphi dan ia meminta agar saya membawanya ke tempat praktek di Apotek Simpang Tiga, Bukitraya. Saat ngecek kesehatan itu, ia minta agar saya dan istri jangan ber KB dulu kalau ingin punya anak. Ia menyarankan agar jangan disuntik dulu. Saya tetap saja belum merasa puas dan ingin kepastian apa penyakit istri saya. Kami pun berencana untuk memeriksakan diri ke dokter di RS Mahkota Medical Center Malaysia.

Niat hati untuk berobat ke rumah sakit Mahkota Medical Center (MMC) di Melaka Malaysia itu pun akhirnya terkabul juga. Saya memperpanjang paspor yang telah habis masa berlakunya sekaligus membuat paspor baru untuk istri saya. Kami pun mendatangi perwakilan RS MMC di Pekanbaru yang dipegang dr Qoyum. Saya menyampaikan bahwa saya ingin berobat dan ia memberi surat pengantar serta surat diskon yang mesti dicap kalau tak salah di Apotik Kartika (belakangan ternyata tak ada gunaya dan tak kami guanakan). Kami pun berangkat menuju Melaka dengan menaiki ferri Indomal dari pelabuhan Sungai Duku, Pekanbaru. P

enumpang kapal tersebut membludak karena saat itu pada akhir tahun dan banyak yang akan berlibur ke Malaysia menyambut tahun baru 2007. Kami mendapat kehormatan naik pertama kali dan disuruh memilih bangku di ruang VIP. Hal ini karena saya kenal dengan manager kapal tersebut yang bernama Asmadi.

Kami sampai menjelang sore di pelabuhan Melaka dan langsung disambut oleh mobil RS MMC. Karena kamar menginap di RS tersebut penuh kami disarankan menginap di Hotel Trenz yang berada tepat disamping RS yang terkenal tersebut. Esok paginya kami pun langsung mendaftar dan diarahkan ke dr Selva, dokter ahli kandungan dengan gelar professor tamatan Amerika. Ternyata pasien dokter ini membludak. Kami terpaksa menunggu dari pagi hingga sore baru dipanggil. Saya marah dengan dokter Qoyum, perwakilan MMC di Pekanbaru yang ternyata tidak mendaftarkan nama kami. Hal ini saya sampaikan langsung ke Qoyum melalui telepon dari Melaka dan dokter Selva. Ia pun sempat kesal terhadap sikap dokter Qoyum ini karena kami yang datang dari jauh harus menunggu lama.

Dokter ini langsung memeriksa istri saya mulai dari riwayat penyakit hingga pemeriksaan fisik, tes darah dan labor. Dari hasil pemeriksaannya tersebut, ia berkesimpulan tak ada yang salah atau penyakit kandungan yang diderita istri saya. Termasuk papsmear yang juga tak ada masalah. Ia lalu memberi sekantung obat dan meminta kami datang lagi jika sudah hamil. Terus terang saya lega mendengar keputusan dokter ini. Mengingat selama ini saya tak mendapat keterangan yang jelas dari dokter di Indonesia. Kami pun lalu menghabiskan waktu yang tersisa untuk berwisata di negeri jiran ini.

Usai pemeriksaan di RS MMC ini, saya mencoba membujuk istri saya agar datang lagi periksa ke dokter Alfian. Karena dokter Alfian sebelumnya kami ke Malaysia meminta agar segera hamil. Istri saya memang trauma jika mendengar kata dokter dan sulit untuk membujuknya. Akhirnya kami dating ke dokter ini untuk kembali berkonsultasi. Saya ceritakan juga tentang pemeriksakan kesehatan ke MMC. Dokter ini pun mengatakan bahwa istri hamil dan mencoba melakukan pendekatan dengan istri saya. Ia terkejut mendengar istri saya yang sering makan Indomie. ‘’Racun itu Ned, jangan lagi dimakan,’’ sarannya.

Ia kemudian meminta istri saya menghindari mengkomsumsi vetsin atau ajinomoto atau segala jenis bumbu penyedap masakan. Kemudian melarang makan bakso, indomie dan berbagai makanan cepat saji. Karena menurutnya bias saja hal itu yang buruknya perkembangan janin. Ia pun memberikan berbagai macam nasehat termasuk nasehat agama kepada istri saya. Kata-katanya yang masih saya sampai sekarang adalah, ‘’Yang menetukan semuanya adalah Allah. Dokter ini hanya peran perantara dan tanpa izin-Nya semuanya tidak akan bias terlaksana,’’ ujarnya.

Untuk itu, ia meminta istri saya agar rajin Salat Tahajud, selain salat rutin serta membaca Alquran. Termasuk juga saya diminta melakukan hal tersebut. Saat saya meminta agar ikut diperiksa juga, dokter malah mengatakan tidak perlu. Sebab menurutnya, kedua pasangan akan diperiksa jika belum pernah hamil. Tapi istri saya pernah hamil hingga saya tak perlu lagi diperiksa. Saya berkeras meminta obat, dan diberi pil berwarna merah sebannyak satu botol penuh dan diminum setiap hari.

Kami pun lalu menyarahkan diri kepada Allah dan berusaha agar istri kembali hamil. Tak lama, berselang satu minggu setelah dari dokter tersebut, istri saya pun hamil. Saya membeli alat test kehamilan dan terbukti positif. Dua minggu kemudian kami pun pergi ke dokter untuk periksa dan ia mengucapkan selama karena istri saya menurutnya telah hamil satu bulan. Kami pun gembira saat ia periksa melalui USG dan menyatakan sehat. Istri saya diminta agar kalau bias jangan bekerja berat dulu dan banyak tidur serta terus rajin minum susu. Kebetulan sebelum hamil istri saya disuruh terus minum susu hamil Anmum.

Saya menuruti perintah dokter melarang istri bekerja dan bahkan istri saya tak pernah keluar rumah selama masa kehamilannya tersebut. Maka ibunya pun tinggal di rumah kami untuk membantu. Dengan dokter Alfian kami hanya disuruh kontrol kehamilan selama sebulan sekali. Ia tak banyak memberi obat hingga kantung pun tak perlu dikeruk terlalu dalam jika berobat. Kebanyakan ia memberi obat-obat yang diperlukan saja. Malah saat istri hamil delapan bulan, ia hanya memberi vitamin-vitamin saja.

Waktu terus berlalu, dan tak terasa istri saya sudah akan memasuki hamil delapan bulan. Kami kembali periksa ke dokter. Setalah di USG, dokter mengatakan janin sungsang atau kepada berada di atas. Namun ia mengatakan bahwa hal itu alamiah karena bayi di dalam akan berputar. Jika di bulan ke sembilan masih tak berputar maka melahirkan akan dilakukan dengan Operasi Caesar. Istri saya kemudian disarankan agar setiap habis salat untuk sujud lama-lama dengan harapan agar bayinya bisa berputar. Istri saya pun menerapkan sujud tersebut hampir di setiap saat. Namun saat periksa terakhir, bayi dalam kandungan masih saja sungsang. Dokter mengatakan operasi Caesar akan tetap dilakukan walaupun bayinya kembali normal. Hal ini mengingat riwayat kandungan istri saya yang jelek. Maka ditentukan dokter hari operasi pada tanggal 10 Februari 2008 di Rumah Sakit Ibu dan Anak Zainab, Pekanbaru.

Masa menunggu kelahiran kami rasakan adalah masa yang paling lama. Dibanding masa kehamilan, masa menunggu kehamilan terasa begitu lama. Istri saya pun tak sabar menunggu operasi dilakukan. Tapi juga cemas karena ia sebelumnya belum pernah dilakukan operasi Caesar. Tapi saya menjelang proses operasi juga sedikit bingung masalah biaya. Mengingat kami tidak ditanggung Jamsostek lagi karena telah tiga kali diganti biaya persalinan, walaupun hanya setengah biaya. Karena untuk kandungan diibatasi hingga tiga kali. Jadi pada persalinan keempat tidak ditanggung lagi. Beruntung, berbagai jalan diberikan Allah hingga rezeki menjadi lancar dan uang untuk operasi terkumpul. Jadi saya bisa merasa tenang.

Hingga tibalah saat yang ditunggu-tunggu itu. Subuh, istri saya sudah bangun. Setelah salat, ia langsung makan karena dokter meminta puasa dulu sebelum melahirkan. Jam 10 pagi kami menurut dokter sudah sampai ke RSIA Zainab. Maka kami pun berangkat pukul 9 pagi. Sampai di Zainab saya diberi pilihan ingin mengambil kamar kelas berapa. Saya pilih kelas tiga saja, mengingat yang terpenting menurut saya bukan kamar menginap, tapi operasi yang dilakukan dokter. Serta menimbang agar tidak keluar banyak biaya mengingat keuangan kami yang terbatas.

Istri saya langsung dibawa ke ruangan persiapan operasi. Menurut dokter operasi akan dilakukan pukul 11.00 WIB, hingga para suster dan bidan pun sibuk mempersiapkan istri saya. Namun diundur karena sudah ada dokter lain dengan pasiennya yang lebih dulu masuk ruang operasi. Maka saya pun menemani istri di ruang tersebut, sambil istri saya membaca buku-buku doa yang diberikan para suster. Rumah sakit ini memang unik. Selain bangunannya yang dihiasi ukiran dan kaligrafi bernapas Islam, juga rumah sakit ini bersyariat Islam. Jadi semua suster, bidan, dan dokter perempuannya berjilbab. Hampir semua susternya masih muda-muda dan cekatan serta ramah. Jadi suasana rumah sakit yang biasanya seram tak jadi menegangkan.

Menjelang pukul 12.00 WIB, istri saya pun dibawa ke ruang operasi. Saya mendampinginya terus disamping tempat tidurnya saat dibawa. Namun saya tidak diperbolehkan memasuki ruang operasi dan disuruh menunggu diluar. Namun saat itu saya tak punya pikiran macam-macam dan seakan-akan plong saja. Saya menunggu sambil membaca majalah yang saya bawa dari rumah. Saat azan Zuhur berkumandang di rumah sakit itu, saya pun turun dan salat berjamah di musala yang terletak di tengah RS ini. HP saya matikan saat salat tersebut. Usai salat saya pun kembali ke ruangan tunggu. Ternyata dokter telah mencari-cari karena akan saya telah lahir tepat pukul 12.15 WIB dengan berat 3,1 Kg dan panjang 50 Cm.

Saya pun bergegas masuk ke ruangan bayi karena tak sabar lagi ingin melihat anak yang telah lama kami tunggu itu. Saat melihatnya saya langsung terkejut, anak saya itu berkulit putih bersih dengan rambutnya yang tebal. Saya seakan takjub dan terus memandanginya. Oleh suster saya disuruh mengazankannya. Seakan-akan tak percaya dan dengan suara bergetar saya kumandangkan azan di telinganya hingga akhirnya anak kami ini menangis dengan kencangnya. Anak ini kami beri nama Rakha Rizqullah Syauqi. Ibunya lah yang memberi nama langsung tanpa campur tangan saya. Karena saya akan memberi nama jika anak kami perempuan dan jika lelaki istri saya yang memberi nama. Menurutnya ibunya, arti nama tersebut adalah, anugerah pemberian Allah yang kami impikan. Sebuah nama yang bagus dan kami berharap anak ini akan jadi anak yang saleh.

Saat istri saya melahirkan Apa dan Ama saya dari Duri tidak bisa datang. Hal ini karena adik saya Rini juga sedang menunggu kelahiran anak pertamanya. Keponakan saya lahir terpaut lima hari dari kelahiran Rakha dengan jenis kelamin perempuan. Tentu Ama gembira sekali mendapat dua cucu, perempuan dan laki-laki sekaligus. Mengingat sebelumnya, ia telah terlalu lama menunggu untuk punya cucu dan sekarang diberi dua sekaligus. Kami merasa bahagia, dan tak dapat saya lukiskan ketika itu. Masa menunggu lima tahun dalam ketidakpastian itu akhirnya sirna juga.

Sebenarnya masa perawatan di rumah sakit adalah tiga hari. Tapi karena melahirkan melalui operasi caesar, maka ASI ibunya belum keluar. Terpaksa Rakha minum susu bantu dan dirawat di ruang bayi. Saat ASI mulai keluar, Rakha tak bisa menyusu dan suster terus membiasakannya. Saya sempat juga frustasi melihat anak saya tak mau menyedot susu maminya. Saya bahkan membeli penyedot susu, alat hisap bantu untuk susu badan dan bahkan madu agar ia mau menyedot ASI maminya. Bahkan anak kami terlihat kuning karena kurangnya asupan susu hingga terpaksa harus memperpanjang menginap di rumah sakit ini.

RSIA Zainab yang bertingkat lima ini, nyaman. Tidak ramai seperti di rumah sakit lainnya karena khusus untuk ibu melahirkan dan merawat anak. Ditambah lagi rumah sakit ini sejuk dan bersih serta nyaman. Hampir setiap sudut dipenuhi bunga, lukisan dan tempat duduk santai. Maka saat malam menjelang, saya bisa santai di luar ruangan sambil menikmati angin sepoi-sepoi sambil melihat pemandangan lampu-lampu di malam hari. Serta membaca majalah sambil mendengarkan ipod. Kami menginap di kamar 319 yang terletak di lantai 3 ruang Khadijah. Di kamar, terdapat dua tempat tidur untuk pasien dengan satu televisi, AC dan kamar mandi. Jadi saya dan ibu mertua bisa nyaman menemani istri saya. Kalau ingin makan dan minum, tinggal telepon saja, maka makanan akan datang ke kamar kita hingga tak perlu lagi repot-repot keluar dari rumah sakit tersebut. Selama lima hari menemani istri di RS Zainab tak keluhan yang saya rasakan, selain keinginan agar cepat-cepat pulang membawa Rakha.

Akhirnya dokter mengizinkan kami bisa pulang setelah pagi hari mengecek kesehatan istri saya dan bayi. Istri saya pun senang mendengar hal tersebut karena ia mengatakan bosan terus tidur di ranjang rumah sakit. Saya pun kemudian mengurus segala administrasi rumah sakit. Sebelum pulang, kami diberi foto anak yang telah dibingkai, sertifikat melahirkan, peralatan bayi dan tas RS Zainab. Berapa saya harus membayar? Ternyata tak begitu mahal, hanya Rp6.800.000. Mengingat pada hari yang sama rekan sebelah kamar membayar biaya persalinan sampai Rp10 juta. Untunglah uang tabungan ada, karena untuk biaya persalinan ini tidak ada klaim lagi dengan Jamsostek ataupun bantuan kantor. Jadi otomatis harus menanggungnya sendiri. Tak apalah, yang penting segala sesuatu berjalan lancar.

Bayi kami pun dibawa pulang dengan memakai ambulans RS Zainab ke rumah kami di Perum Melur Permai. Tak terasa bahagianya kami bisa kembali ke rumah setelah lima hari berada di rumah sakit. Segala perlengkapan bayi telah kami persiapkan untuk “anak mahal” ini, termasuk boks bayi khusu yang kami beli untuk anak yang telah lama dinantikan ini. Tetangga pun ramai berdatangan ingin melihat si kecil berambut lebat ini. Betapa senangnya hati istri saya melihat tetangga berdatangan melihat bayi kami. Walaupun kemudian, ia akan merasakan capeknya jadi ibu karena haru bangun tengah malam dan jarang tidur. Apalagi Rakha selalu memangis saat tengah malam dan menjelang fajar untuk menyusu ataupun mengganti pampersnya yang penuh.
Ya, begitulah sekelumit kisah kami, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.***


Tidak ada komentar: