Selasa, 05 Februari 2008

konflik lagi

*Sebuah pohon eucalyptus di lahan HTI yang siap panen



*Rimbunan pohon eucalyptus di lahan HTI yang menjadi bahan baku kertas dan pulp


*Mobil double gardan yang tangguh menghadapi medan


*Jalanan berupa tanah kerikil dan berdebu


* Hutan sawit yang menghiasi pemandangan sepanjang perjalanan


* Sekuriti mencegat setiap kendaraan yang masuk ke lahan HTI


*Mempersilahkan lewat setelah meminta izin


* Lokasi penebasan pohon akasia yang ditinggal pengunjukrasa


*Massa juga sempat membuat pondok untuk berteduh


*Bekas memasak berupa kayu dan arang yang ditinggalkan terasa masih panas


*Jejeran pohon yang dikuliti dan ditebas


*Salah satu pohon yang dikuliti massa


*Dikuliti agar cepat mati


*Hanya menemukan sisa-sisa


*Bekas pondok dari kayu


*Papan larangan menebang yang ditumbangkan


*Papan larangan dicoba ditegakkan kembali

"Kami Hanya Menebas Semak Belukar"

Debu putih mengepul naik menghiasi jalanan tanah yang berbatu-batu. Gesekan roda kendaraan double gardan dengan kerikil jalanan terdengar jelas dan mengeluarkan bunyi menderu. Tubuh pun terguncang-guncang. Namun mobil ini semakin laju seakan-akan ingin membuktikan ketangguhannya menaklukan alam perkebunan sawit dan akasia ini.

SEPANJANG mata memandang yang tampak hanya hamparan rindang pohon sawit. Di kejauhan mulai terlihat rimbunan hutan tanaman industri (HTI) yang terdiri dari pohon akasia dan eucalytus milik PT Arara Abadi (AA). Mobil gagah ini pun perlahan menurunkan kecepatannya karena di depan terdapat gerbang sekuriti PT AA. Dua orang sekuriti keluar dari pos dan mendatangi kendaraan.


''Kami dari Pekanbaru, lewat jalan mana kalau ke daerah Muara Bungkal, tempat pembabatan pohon akasia yang dilakukan Serikat tani Riau,'' tanya rombongan kepada sekuriti yang mencegat tersebut.


Memang, jalan menuju ke lokasi lahan PT AA yang konflik dengan warga di Muara Bungkal tidaklah mudah. Buktinya, rombongan wartawan dari Pekanbaru, termasuk saya, beberapa kali putar arah dan bertanya kesana-kemari untuk menentukan lokasi tersebut, Jumat (7/12) lalu. Banyak warga yang tidak tahu bahkan pegawai camp PT AA di Duri III pun bingung. Untung ada seorang pegawai yang mengetahui lokasi persis daerah tersebut dan memberikan petunjuk.


Sebelumnya, konflik lahan PT Arara Abadi dengan warga yang tergabung dalam Serikat Tani Riau (STR), memang berujung panas. Belasan hektare pohon akasia yang siap panen ditebas dan tumbang. Ratusan warga dari Desa Beringin, Dusun Suluk Bongkal dan Desa Muara Basung, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis menduduki perkebunan HTI PT AA di kilometer 45. Rombongan tersebut bahkan mendirikan tenda serta membawa anak-anak mereka untuk berkemah di sana.


Setelah kendaran berputar-putar di hampara kebun HTI nan luas itu, rombongan pun sampai di Area perkebunan KM 69 Dusun Tasik Serai Timur. Di lokasi yang sebelumnya juga menjadi tempat yang diduduki massa, kini terlihat kosong. Yang tinggal hanya bekas-bekas tenda kayu yang mereka dirikan serta bekas tempat pembakaran dimana arangnya masih terlihat panas. Di pintu masuk, sebuah papan larangan pembakaran hutan milik PT AA yang terbuat dari besi, ditumbangkan.


Saat saya berkeliling ke sekitar lokasi itu, daun-daun yang berserakan di jalan tanah yang mungkin digunakan untuk alas duduk, juga masih tampak segar. Sebuah karton indomie kosong ditinggal begitu saja.


Saat menelisik lebih ke dalam, terlihatlah puluhan batang akasia yang dibabat warga. Sebagian besar nampak dikuliti dan disayat-sayat dengan parang. Mungkin warga tak sanggup menebang semuanya sekaligus.


''Kami hanya menuntut perusahaan melepaskan hutan ulayat dan tanah adat kami sesuai Undang-undang Kehutanan. Kami tak menebang akasia, kami hanya menebas semak-belukar di hutan kami,'' tutur pemuka masyarakat Dusun Tasik Serai Timur, Walianto, saat saya temui di dusunnya yang terlihat sepi.


Di sebuah kedai kopi, Walianto ditemani beberapa warga lainnya, mengaku aksi yang mereka adalah puncak kekesalan terhadap keluhan mereka yang tidak didengar oleh pemerintah. Menurutnya, sejak tahun 1996 mereka berjuang memperoleh tanah mereka ke pemerintah daerah hingga Jakarta. ''Ke pemerintah mana lagi kami bisa mengadu,'' ujar Abdul Muthalib, seorang warga yang ada di sana.


Saat ditanyakan berapa luas lahan mereka yang diserobot perusahaan, Walianto tak dapat menjelaskan secara pasti. Namun menurutnya, mereka punya surat izin dari kepala desa setempat menyangkut tanah ulayat milik 640 kepala keluarga di Desa Tasik Serai Timur. Dimana desa mereka dikatakannya seluas 30 Km2.


Ditegaskan lagi oleh warga, mereka tidak melakukan tindakan penghancuran hutan, namun adalah penanaman kembali sebagai program pemerintah untuk menanam pohon. ''Maka kami menanam sawit di semak belukar hutan milik kami,'' jelasnya.


Sementara itu, Kasat Intel Polsek Pinggir, Bripka Novrianto, yang ditemui saat memantau kondisi di lapangan, mengatakan bahwa memang ada sekitar 200 warga melakukan aksi ke lapangan. Dikatakannya, untuk mengantisipasi tindakan anarkis, Polsek Pinggir menurunkan 25 personel ditambah 5 personel BKO dari Bengkalis.


''Sejauh ini tidak ada tindakan anarkis yang melukai orang, yang ada cuma pembacokan pohon akasia. Kami pun sulit bertindak di lapangan melihat banyaknya massa. Kami hanya memantau dan melaporkan perkembangan bila keadaan menjadi tak kondusfif,'' paparnya.


Malam yang mulai turun disertai embun di tengah belantara hutan HTI tersebut, membuat rombongan urung menelusuri lebih jauh lokasi lainnya yang dibabat oleh warga yang tergabung dalam STR tersebut. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang berlumpur akibat sisa hujan kemarin lubang yang menganga di sana-sini, membuat rombongan pun berbalik arah menuju Pekanbaru.


Dalam pada itu, Humas PT Arara Abadi, Ir Nurul Huda yang ditemui ditempat terpisah mengatakan bahwa tindakan pembabatan hutan akasia itu telah dilaporkan ke Polsek Pinggir dengan nomor laporan LP No.Pol.STPL/XII/2007/YANMAS. ''Saat ini terdata beberapa lokasi yang ditebangi. Diantaranya di Mandiangin sebanyak 80 hekatare, Muara Bungkal 40 Ha, Melibur 40 Ha, Tasik Serai Timur 40 Ha, Umar Kasim Tapung 80 Ha dan daerah Raso Kuning Tualang 20 hekatare. Kami jelas dirugikan dalam hal ini,'' paparnya.


Ditambahkannya Nurul, lahan HTI mereka tersebut sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah dan tidak bisa diserahkan begitu saja kepada warga. Karena nantinya setelah masa konsensi habis, lahan tersebut harus utuh diserahkan kembali kepada negara. Dan ia sangat menyesalkan kejadian penebangan tersebut termasuk juga adanya kebun sawit di tengah lahan konsesi HTI PT AA.


Untuk itu Nurul mengatakan, jika dibiarkan terus maka hutan di Riau dalam hal ini HTI berada dalam ancaman serius dan investasi mereka akan terancam. ''Apalagi disaat semua pihak mengkampanyekan hutan lestari, ada sekelompok orang yang merusak hutan. “ami meminta kepada pihak terkait agar dapat melakukan penegakan hukum dan menindak perlakuan sewenang-wenang, termasuk massa yang membawa senjata tajam di lapangan,'' pintanya.***

Tidak ada komentar: