Jumat, 16 Mei 2008

Memang Menyedihkan


Terus mengangguk sejak tahun 1942


Untuk siapa minyak ini ditampung?


Beli bensin kini wajib antre


Kembali ke zaman PKI


Demi setetes minyak tanah


Jerigen pun ikut antre


Makin Banyaklah Masyarakat yang Menderita


KALI ini kembali janji usang itu terlupakan. Masih terngiang di dalam benak masyarakat terhadap janji pemerintah yang dengan tekad bajanya menyatakan tidak akan menaikkan lagi harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Setelah sebelumnya warga hampir
semaput dengan kenaikan drastis BBM yang nilainya disamakan dengan harga luar negeri. Walaupun ketika itu banyak yang protes, namun akhirnya bisa pasrah menerima nasib.

Dampaknya pun bisa diduga. Di berbagai pelosok tanah air bermunculanlah kasus busung lapar. Meningkatnya jumlah orang gila, bunuh diri hingga membunuh anak sendiri karena tak tahan dengan himpitan ekonomi yang terus mendera. Namun pemerintah tanpa merasa bersalah, saat itu menyatakan bahwa kenaikan BBM memang harus dilakukan dengan alasan klasiknya. Yakni subsidi BBM yang besar membuat banyak penyelundupan minyak ke luar negeri, subsidi yang hanya dinikmati oleh orang kaya serta janji subsidi BBM dialihkan untuk masyarakat miskin dan kegiatan lain seperti untuk pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

Hal ini pun membuat sesak kantor-kantor pos yang berada di seluruh Indonesia. Warga miskin dan yang berpura-pura miskin antre mengambil uang tunai. Malah banyak yang pingsan dan hampir mati akibat antre mengambil uang sebesar seratus ribu satu bulan tersebut.

Apakah cita-cita pemerintah yang mulia untuk warga miskin ini tercapai? Nampaknya jauh panggang daripada api. Kondisinya malah makin kacau-balau. Kehidupan masyarakat terlihat seperti kembali di zaman komunis. Dimana terjadi antre hanya untuk membeli sejer¬igen minyak tanah, antre mendapatkan satu tabung gas elpiji, antre untuk satu liter minyak goreng dan berbagai antre lainnya.

Sejak subsidi BBM dibeda-bedakan antara umum dan bukan umum, maka sejak itulah kesulitan lain membuat warga menderita.

Sebenarnya kalau hitung-hitungan bodoh, orang kaya dan pemilik industri kan warga negara Indonesia juga. Kalau sekiranya mereka kalangan industri dikenakan harga khusus untuk BBM, bagi mereka tak ada masalah. Tinggal menaikkan harga jual produk mereka, selesai perkara. Imbasnya, tentu masyarakat indonesia yang kebanyakan masih miskin.

Disamping sebagaimana kita ketahui bersama, pengawasan dari pemerintah di negara ini tidak maksimal. Wajar saja banyak terja¬di penyelundupan dan pengoplosan minyak bersubsidi. Dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pun menguap seiring makin merangseknya harga sembako di pasaran.

Kini, pemerintah nampaknya akan mengulangi hal yang sama. Alasannya adalah makin bengkaknya subsidi BBM di APBN seiring meroketnya harga minyak dunia. Para ahli pemerintahan dan ekonom serta pengamat lainnya mengatakan bahwa jika tidak dinaikkan harga BBM maka pemerintah akan kehabisan uang di APBN dan negara akan bangkrut.

Suatu alasan yang masuk akal memang. Namun bagi yang kritis tentu akan mempertanyakan, apa betul prediksi tersebut. Mengingat Indonesia adalah negara pengimpor minyak, walaupun lifting min¬tyak dalam kisaran 900 ribu barel perhari. Apakah tidak ada keun¬tungan besar yang didapat akibat naiknya harga minyak dunia. Mengapa hanya kerugian saja yang dihitung, beberkan juga berapa keuntungan yang diperoleh. Maka dengan keuntungan itu, mungkin bisa menombok besaran subsidi.

Masyarakat kini tak ingin lagi dibuai janji. Yang mereka inginkan sembako murah, rakyat sudah lapar. Jangan sampai membuat mereka mati kelaparan dengan naiknya harga BBM. Bagaimana caran¬ya, ya itu tugas pemerintah memikirkan. Jangan sampai BBM membuat banyak masyarakat menderita***

Tidak ada komentar: