Senin, 14 April 2008

Rumah Gadang


Rumah gadang Datuak Sinaro nan Kuniang


Di depan tangga masuk

 
My wife...

Macam Siti Nurbaya saja..


Bagian samping rumah


Datuak Sinaro nan Kuniang


Brankas besi jadul


Suasana di dalam rumah


Kursi lama yang masih awet


Dibalik kelambu


Cerita di balik Sebuah Rumah
SAYA adalah pengagum bangunan-bangunan kuno, terutama yang dibangun pada zaman kolonial. Rasa kagum akan muncul ketika memasuki bangunan yang dibangun di zaman Belanda. Seperti baru-baru ini, saya menginap di Hotel Bumi Asih yang terletak di Jalan Cimalaya nomor 1 Bandung, tepatnya di belakang Gedung Sate. Hotel ini sangat kolonial habis.

Pemiliknya tetap mempertahankan ciri khas kolonialnya, seperti di bagian, resepsionis, lobi, ruang makan dan paviliun kiri-kanannya. Saat sarapan pagi di ruang makan dengan jendela khas Belanda, saya membayangkan bagaimana dulunya para kolonialis saat berada di ruangan ini. Terasa sangat eksotik. Menurut para pekerja hotel tersebut, gedung tersebut dulunya juga diperuntukkan untuk tempat menginap para pejabat kolonial.

Ditambahkannya, hingga kini bangunan tersebut masih tetap dimiliki oleh orang Belanda. Hingga nuansa kebelandaannya masih tetap dipertahankan walaupun ada tambahan bangunan baru di bagian belakang. Sama halnya juga dengan Hotel Padang, yang juga bekas bangunan Belanda. Saya juga sempat menginap di hotel yang mempunyai langit-langit tinggi ini.

Namun yang lebih menarik minat saya adalah bangunan yang dibangun kaum pribumi di zaman kolonial dan kini tetap bertahan. Beberapa waktu lalu, saya dibawa istri dan mertua saya ke kampung halamannya di Koto nan Gadang, Payakumbuh. Saya takjub begitu sampai di halaman rumah peninggalan neneka moyang istri saya itu. Sebuah rumah gadang yang dibangun pada tahun 1905, namun masih kokoh tegak berdiri seakan tak lekang dimakan waktu.

Di sekitar lokasi tersebut, terlihat berjejer rumah gadang-rumah gadang serupa dengan lumbung padi yang dinamakan rangkiang. Rumah buyut istri saya ini tercatat sebagai rumah yang paling tua di daerah tersebut. Didominasi warna kuning dan hijau, rumah ini ditopang oleh tembok besar dengan tangga khasnya.

Rumah tersebut tak ada yang menghuni. Karena mertua saya yang merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarganya, sejak awal menikah telah tinggal di Pekanbaru. Di Minangkabau, rumah gadang jatuh ke tangan anak perempuan. Hingga rumah ini selalu ditutup dan dibuka jika ia pulang kampung saja. Seperti saat saya datang kemarin, rumah besar ini langsung dibersihkan dan semua jendelanya dibuka lebar-lebar. Saya pun di daulat menempai kamar tidur utama bersama istri. Rasanya seperti kembali ke zaman datuk-datuk saja rasanya.

Datuk istri saya masih hidup. Umurnya 95 tahun dan masih sehat. Ia sendiri juga mempunyai rumah gadang di sekitar daerah tersebut dengan areal kesenian atau dinamakan “medan bapaneh” khusus yang dibangun pemerintah di halaman rumahnya. Areal ini kerap menjadi tempat latihan kesenian warga sekitar. Istri saya memanggilnya datuak kudo, karena dulu memiliki banyak sekali kuda terutama kuda pacuan yang kerap diadu di ajang pacuan kuda Payakumbuh.

Pada saat pecah perang saudara antara daerah dengan pemerintah pusat yang disebut perang PRRI, kuda-kuda datuak pun dilarikan tentara pusat hingga hanya tinggal istal-istalnya dan satu ekor kuda. Saat itu mayoritas masyarakat Minangkabau mengangkat senjata melawan kesewenang-wenangan pemerintahan Jakarta dan menuntut porsi pembangunan di daerah. Tentara bersama rakyat terpaksa mengungsi ke hutan menahan gempuran tentara pusat dibawah pimpnana Ahmad Yani.

Kini daerah tersebut nampaknya memang dijadikan daerah wisata untuk rumah gadang. Terbukti dari peranan pemerintah dalam memugar rumah-rumah gadang disana. Bahkan rumah gadang istri saya baru saja selesai direhab pemerintah, walaupun hanya berupa mengecat ulang dan mengganti lantainya saja. Penduduk di sana pun saya lihat mempertahankan tradisi nenek moyang mereka, terlihat dari rutinnya latihan-latihan kesenian yang mereka lakukan. Saya yang berkeliling disana merasa melihat sebuah kehidupan masyarakat Minang di zaman Belanda. Nampaknya cocok jika dijadikan lokasi film bertema zaman kolonial.

Pada malamnya, saya banyak mendengar cerita dari paman istri saya dan datuknya. Ya, sekitar masalah sejarah daerah tersebut. Menurut datuknya, dulu ada tahun 1920-an, Kota nan Gadang tersebut dilanda kebakaran hebat. Ratusan rumah habis dipanggang api, yang dilihat penduduk seperti api loncat, karena bisa meloncat-loncat ke rumah-rumah lainnya. Daerah tersebut pun rata dengan tanah. Namun rumah gadang istri saya selamat dan tak sedikitpun disentuh oleh lidah api. Hingga ia pun kini menjadi rumah tertua yang dibangun di daerah tersebut. Namun menurut paman istri, rumah itu dibangun pada tahun 1901. Untuk tahun 1905 dibuat karena ukiran di atap dibuat terakhir pada tahun 1905.

Dirumah tersebut, masih terlihat beberapa peninggalan seperti lemari brankas besi model lama, ranjang besi berkelambu buatan Inggris, koper yang terbuat dari baja serta pakaian-pakaian, tongkat datuk dan benda lainnya.

Sayang, saya hanya sehari saja di kampung istri saya tersebut karena hanya libur kerja sehari saja. Pagi-paginya saya menyempatkan diri ditemani istri yang baru bangun tidur berkeliling kampung melihat kebun-kebun milik mereka. Di belakang rumah gadang istri saya, mengalir sungai yang cukup dalam.***




Tidak ada komentar: