Rabu, 29 Juni 2016

nostalgia macet mudik 2012

Pondok Bika Talago Indah dan kemacetan jalan di depannya.

Bika panas yang lezat

Santai menunggu macet reda


Catatan akhir pekan 2012


Fenomena Mudik

PADA pertengahan pekan kemarin, saya lama terduduk di sebuah Lapau Bika Telago Biru daerah Koto Baru, Sumatera Barat. Ditemani bika panas yang baru selesai dibakar dengan menggunakan periuk tanah liat dan sekaleng minuman soda, pandangan saya lepaskan ke jalanan yang dipenuhi ratusan, mungkin ribuan kendaraan yang berjalan merambat. Di saat berbagai jenis merek kendaraan roda empat dan roda dua yang bergerak beringsut laksana siput tersebut, otak saya pun berpikir. Jam berapa macet ini akan berakhir?

Saya sengaja memarkirkan kendaraan dan mencoba istirahat sejenak di lapau bika ini, setelah hampir tiga jam terjebak macet. Waktu tiga jam tersebut saya hitung saat mulai memasuki Kota Bukittinggi menuju ke Kota Pariaman. Seharusnya, dalam kurun waktu tersebut saya sudah sampai ke tujuan dan bisa berleha-leha di pantai. Di luar rencana, macet yang melanda nampaknya begitu parah dari dua arah jalan. Sehingga saya pun hanya bisa pasrah sambil menikmati pemandangan jalanan yang ramai dengan kendaraan dengan nomor polisi dari provinsi tetangga Sumatera Barat, termasuk yang terbanyak dari Riau.

Apakah semua warga perantauan Minangkabau pulang ke tanah kelahiran nenek moyang mereka sehingga jalanan tidak mampu lagi menampung arus kendaraan? Dari percakapan saya dengan beberapa orang yang juga ikut memarkirkan kendaraan mereka menunggu macet reda, bahwa tidak semua kendaraan tersebut adalah pemudik. Banyak juga warga luar Provinsi Sumatera Barat yang memang sengaja datang untuk berwisata di Ranah Minang yang memiliki banyak objek wisata dengan kondisi alamnya yang eksotik. Seperti dirinya yang anak jati Riau, sengaja menginap di Bukittinggi dan akan menuju Padangpanjang guna menikmati waterboom bersama keluarga besarnya.

Lalu timbul pertanyaan di benak saya, mengapa sekarang ini semua orang berlomba-lomba memakai kendaraan pribadi? Sejauh yang saya lihat, bisa dihitung dengan jari kendaraan umum seperti bus yang lewat. Itu pun bus jenis menengah. Apakah memang usaha bus-bus sudah bangkrut “dihantam” kendaraan carter dan para travel? Sehingga jalanan saat ini seperti mau “muntah” dengan kendaraan pribadi.

Saya teringat dulu saat masih di bangku sekolah, belasan bus akan terlihat parkir berjejeran di setiap rumah makan jika kita pergi ke Sumatera Barat. Terminal pun ramai dengan lalu lalang dan hiruk pikuk penumpang. Namun kini kondisi Bandar Raya Payung Sekaki, terminal bus terbesar di Riau yang berada di Kota Bertuah, masih “adem-adem ayem”. Tak nampak penambahan penumpang berarti ke berbagai daerah tujuan pemudik, baik ke Sumatera Barat, Sumatera Utara ataupun tujuan Pulau Jawa. Bahkan tuslah atau kenaikan harga tiket yang merupakan panen para perusahaan bus setiap tahunnya, ditanggapi dingin-dingin saja. Mengapa moda transportasi umum seperti bus dan jenis angkutan massal tidak lagi diminati?

Dengan logika standar saja, pasti akan masuk akal jika para pemudik atau pengunjung tempat wisata di Sumatera Barat menggunakan angkutan bus, maka kemacetan akan bisa dihindari. Satu buah bus, akan bisa menampung penumpang 10 buah kendaraan pribadi. Atau jika kereta api diaktifkan lagi, maka beratus penumpang akan terlayani ke tempat tujuan. Macet seperti saat ini pun akan teratasi dan yang yang terpenting adalah, jumlah kecelakaan akan turun drastis. Karena kecelakaan jalan raya meningkat tajam di saat Idul Fitri ini. Berdasar catatan Posko Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu 2012, jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi mulai H-7 (12 Agustus 2012) hingga H+2 (22 Agustus 2012) mencapai 3.587 kasus.

"Kondisi lelah, capek dan macet bisa menyebabkan turunnya kewaspadaan pemudik. Hal ini yang barangkali memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas," ujar Ketua Posko Harian Posko Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu 2012, Sugiadi Waluyo kemarin. 

Berdasar data yang masuk ke Posko Lebaran 2012, tercatat kecelakaan banyak terjadi pada H-3 (16 Agustus 2012) sebanyak 383 kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak 54 orang. Hari paling naas terjadi pada H-4 (15 Agustus 2012) karena menyebabkan 66 orang meninggal dunia. "Total terjadi 3.587 kasus kecelakaan dengan korban meninggal sebanyak 641 orang," ungkapnya.

Padahal kita tahu, dulu kereta api merupakan moda transportasi utama di daerah Sumatera Barat. Bahkan Jepang telah membangun jalur kereta api dari Muara Sijunjung hingga ke Pekanbaru. Beratus romusha meregang nyawa akibat pembangunan jalur kereta api yang sia-sia tersebut karena tidak pernah dipakai hingga sekarang. Mengapa pemerintah tidak pernah berpikir mengadakan dan memperbaiki transportasi umum yang massal. Seakan pemerintah melepaskan begitu saja masalah ini dan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Inilah misteri yang belum terpecahkan.***


bobointhecorner.blogspot.com

Tidak ada komentar: