Minggu, 16 Agustus 2020

Dibalik Anugerah Jurnalistik Raja Ali Kelana


Anugerah Raja Ali Kelana

BAGI seorang wartawan, hal yang paling membahagiakan dalam menjalankan profesinya adalah jika hasil karya yang dibuatnya bermanfaat bagi khalayak ramai dan mendapatkan apresiasi. Apalagi jika apresiasi yang diberikan tersebut berupa penghargaan dan piala yang sangat diidam-idamkan para insan pers yang sangat serius dalam menjalankan profesinya, istilah milenial sekarang, bukan kaleng-kaleng. 

Sehingga setiap kurun waktu, maka dibukalah ajang lomba hasil karya para jurnalis. Karya yang terhebat dan terbaik akan diganjar dengan penghargaan, piala dan uang. Untuk level dunia, dikenal dengan nama Pulitzer Prize, di Indonesia diberi nama Anugerah Jurnalistik Adinegoro, sementara untuk Riau namanya Anugerah Raja Ali Kelana. 

Penghargaan ini adalah ajang pembuktian bagaimana seorang wartawan itu membuktikan dirinya adalah seorang wartawan yang hebat walau kadang banyak para peraih anugerah yang selalu merendah dan tidak ingin disebut hebat. Tapi walau bagaimanapun, peraih anugerah jurnalistik ini telah menghasilkan karya yang mumpuni, hebat dan brilian. Sehingga pantas diganjar piala dan diberi hadiah uang. 

Tentu banyak yang ingin tahu hadiah apa saja yang diperoleh dan berapa nilai uangnya? Untuk Pulitzer Prize, pemenang akan mendapatkan uang senilai 10.000 dolar AS dan sertifikat (sekitar Rp150 juta dengan kurs Rp15 ribu). Untuk Anugerah Jurnalistik Adinegoro, sang wartawan mendapatkan hadiah sebesar Rp50 juta, plus trofi dan piagam. Lalu bagaimana dengan Anugerah Jurnalistik Raja Ali Kelana? Pemenang berhak mendapatkan piagam, trofi dan uang sebesar Rp10 juta.

Pada tahun 2008 lalu, saya mencoba bertarung dengan para senior lainnya dalam ajang Lomba Karya Tulis Jurnalistik (LKTJ) Raja Ali Kelana. Saat itu saya mengangkat kisah konflik lahan antara sebuah perusahaan pulp di Riau dengan masyarakat dan LSM yang menebang dan menguliti pohon akasia di lahan konsesi perusahaan itu. Selama satu harian saya berada di dalam hutan guna meliput peristiwa ini. Pulangnya sesat di jalan dan berkeliling dalam hutan HTI dan kebun sawit yang tak berujung hingga berhasil keluar hampir tengah malam. Alhamdulillah hasil karya saya mendapatkan hadiah Juara Harapan 2 dan mendapatkan hadiah Rp2.500.000. 

Setelah itu, saya tak pernah lagi ikut dalam ajang lomba karya tulis. Pada Januari 2019,dibuka lagi ajang lomba. Saya awalnya tak terpikir untuk ikut lomba. Saya malah ingin membuat sebuah buku. Pada suatu petang saat akan Salat Ashar di sebuah masjid usai pulang dari sebuah acara, saya berbincang dengan sobat saya Abdul Kadir soal ide ingin membuat buku ini. Tapi sohib saya ini malah menyarankan dan minta agar saya membuat tulisan bagus dan ikut lomba jurnalistik Raja Ali Kelana. Hal ini juga diamini oleh senior saya Zulmansyah Sekedang berada di depan. Menurutnya membuat buku bisa belakangan. Apalagi saat mendengar buku yang akan saya buat tentang kehidupan tinggal di Kota Minyak. “Itu lebih bagus, karena lomba Ali Kelana kali ini mengangkat soal migas. Tentu orang yang hidup di lingkungan minyak lebih paham,’’ sarannya. 

Tiba-tiba adrenalin kewartawan saya pun mulai bangkit mendengar saran mereka tersebut. Semangat saya menggebu  dan ide-ide mendadak bermunculan di dalam kepala. Usai Salat, saya menelepon papa. Papa saya ini sangat enerjik dan hingga kini masih beraktivitas di dunia migas. Dia pun mengiyakan dan akan menolong saya mencari sumber tulisan yang menarik. Hingga akhirnya saya pun berburu sumber, berburu data dan berburu fakta ke lapangan. Saya membuat TOR lebih detil dan menggali informasi lebih mendalam ke narasumber-narasumber. Dengan menyetir sendiri, saya balik kampung di Duri guna melakukan liputan. Sebulan lebih, tulisan ini tuntas saya dikerjakan. Yang lama adalah menunggu konfirmasi dari pimpinan perusahaan.

Tulisan pun terbit satu halaman penuh di Riau Pos edisi Ahad. Saking menggebu-gebunya,ternyata  karya saya yang pertama kali diterima panitia lomba. Kemudian saya hanya bisa menunggu dan memantau siapa saja yang ikut lomba. Tapi beberapa nama yang saya dengar turun gunung ikut lomba, membuat nyali saya ciut. Bayangkan saja, mereka para mantan juara berbagai lomba tulis dan ada pemenang Adinegoro juga yang ikut serta. Saya pasrah dan hanya bisa berdoa.

Menjelang hari pengumuman pemenang dalam acara Resepsi Hari Pers Nasional (HPN) 2019 di sebuah hotel, saya tak ada ditelpon panitia. Biasanya, pengalaman dahulu, para pemenang akan ditelpon dulu untuk datang ke acara. Tapi hingga sore hanya ada pesan WhatsApp yang masuk ke HP dan isinya standar, undangan acara. Saya pun datang. Banyak tamu berdatangan. Acara yang diawali kata sambutan ini memakan waktu yang panjang, hingga saya berniat kembali ke kantor untuk bekerja. Namun sobat saya Fopin Sinaga melarang pergi dan meminta duduk sebentar karena pembacaan pemenang akan dilakukan.

Kami pun duduk di meja pojok belakang. Satu persatu nama nominator dibacakan dan naik atas panggung. Saya pasrah saat nominator terakhir, tak ada nama saya. Namun keterkejutan tiba-tiba melanda kala sang MC Satria Batubara yang dulu adalah vokalis saat ngeband di Old Rock Star, membacakan nama saya sebagai juara peraih Anugerah Raja Ali Kelana. Tulisan saya yang berjudul “Srikandi dari Kota Minyak” ternyata dinilai para dewan juri sebagai karya yang layak diganjar hadiah. Alhamdulillah… Usaha dan doa saya selama ini dikabulkan Allah SWT. 

Saya ingat, bahwa semua yang saya peroleh ini berkat bantuan dari banyak orang. Mulai dari rekan penyemangat, orangtua yang peduli, keluarga yang mendukung, narasumber yang baik hati dan teman-teman kantor yang mensupport serta surat kabar kami Riau Pos yang hebat. Sekali lagi saya hanya bisa bersyukur atas nikmat ini. Semoga dengan penghargaan ini tidak membuat saya jadi jumawa dan sombong. Dan selalu istiqomah dengan jalan hidup sekarang ini, walau terkadang agak berat. hehehe
Salam Akal Sehat

Tidak ada komentar: