Kamis, 16 April 2009

Kampung halaman (2)

Kabut pagi


Jalan Hang Tuah usai diperbaiki



Para pekerja sibuk memasang pembatas Jalan Jenderal Sudirman


Setelah berabad menunggu, lampu jalan kini menyala


Salat Id di Lapangan Pokok Jengkol

Masa-masa Remaja yang Menyenangkan

Diakui atau tidak, ada sebuah waktu yang selalu ditunggu-tunggu warga Duri selain hari raya Idul Fitri tentunya. Bagi anak-anak sekolah, waktu ini selalu ditunggu-tunggu dengan harap cemas, akan jadi apa nanti mereka di hari yang ditunggu tersebut. Kegiatan apa pula itu?

BAGI warga Duri pasti tahu hari apa itu. Ya, kegiatan itu adalah pawai hari kemerdekaan RI yang selalu digelar setiap tanggal 17 Agustus. Pawai ini sangat meriah. Selain diikuti oleh seluruh pelajar SMP, siswa SMA, paguyuban, ormas, termasuk juga para kontraktor dan PT Caltex sendiri. Kendaraan operasional mereka seperti mobil rig, traktor, truk dan kendaraan lainnya akan disulap menjadi kendaraan hias. Hingga mobil tersebut menyerupai ikan paus, rumah besar, lokasi pengeboran minyak, istana raja dan lainnya.

Tak kalah, para anak sekolah pun menjadi bukan diri sendiri di hari itu. Bermacam kostum dikenakan, mulai dari pakaian adat se-Indonesia, pakaian berbagai macam profesi dari petani hingga dokter. Termasuk juga berbagai hasil kerajinan yang diusung sepanjang jalan plus marching band. Bahkan dipertandingkan, sekolah mana yang nantinya jadi juara pertama.

Untuk paguyuban, berbagai atraksi daerah asal digelar selama acara di sepanjang jalan. Mulai dari silat, tari piring, talempong, kuda kepang hingga reog. Pada hari itu, semua penduduk Duri tumpah ruah memenuhi pinggir jalan protokol kota satu-satunya, Jalan Jenderal Sudirman. Awal acara, semuanya berkumpul di lapangan Pokok Jengkol. Mulai dari lapangan depan kantor Koramil hingga lapangan di belakangnya hingga sekolah lapangan sekolah kami SMAN 2 Duri, akan disemuti ribuan orang. Dari titik ini maka akan dilepas satu persatu dengan berjalan kaki melwati sepanjang Jalan Jenderal Sudirman menuju lapangan Kantor Camat Duri. Coba bayangkan jarak yang akan ditempuh itu sekitar 10 kilometer dengan berjalan kaki!

Tak ada yang mengeluh dengan jarak yang cukup jauh itu. Semua bergembira, baik peserta maupun para penonton di pinggiran jalan. Pokoknya hari itu, layaknya sebuah pesta rakyat. Tak ada lagi pengelompokan masyarakat atau pengelompokan suku atau putra daerah dan pendatang atau kaya dan miskin, semua sama. Penduduk Kota Duri.

Sejak SMP, tentunya saya selalu mengikuti kegiatan pawai ini. Kostum pekerja minyak, pecinta alam hingga pejuang kemerdekaan pernah saya kenakan di acara pawai ini. Namun ada satu hal lucu hingga kini tak dapat saya lupakan. Kejadian ini saat saya duduk di bangku SMA. Saya dan teman-teman badung di SMA, sangat anti dengan kostum pakaian adat daerah. Jika para perempuan banyak yang minta-minta kepada guru untuk mengenakan pakaian adat tertentu, kami malah takut.

Jadi ketika penentuan kostum apa yang akan dikenakan, semua siswa berkumpul di lapangan sekolah. Kami yang agak bandel, cabut dan ngumpul-ngumpul di kantin belakang sekolah. Setelah agak lama berkumpul, kami merasa keadaan sudah aman dan berjalan ke lapangan depan sekolah untuk bergabung. Namun ternyata apes yang didapat. Kehadiran kami diketahui seorang guru yang lagi berdiri di podium.

‘’Ya, beri tepuk tangan. Kita telah dapat rombongan siswa yang akan mengenakan kostum badut. Ayo sini kalian semua, dicatat namanya,’’ kata sang guru.

Kontan saja, gelak tawa bergemuruh. Wajah kami pun pucat-pasi saat menuju ke depan. Yah, terpaksalah saya dan teman-teman berkonstum badut bodoh, dasar apes… Bagi kami para siswa, berpakaian badut sangat dihindari, karena dinilai kostum yang levelnya rendahlah, hingga tak ada yang mau.

Saat ditanya orang tua dan teman bermain di rumah saya akan berpakaian apa saat pawai, saya hanya dapat merahasiakannya. Pada hari H, kami semua memakai kostum di sekolah, tidak dirumah seperti yang dilakukan orang lainnya. Saya segaja pakai wig, bawa kacamata hitam dengan muka yang dibedaki putih dengan baju layaknya orang hamil. Jadi saat melewati lingkungan rumah saya, tak ada orang yang tahu bahwa saya telah lewat di depan mereka. Keluarga saya sendiri pun saat pawai berakhir dan saya kembali ke rumah, bertanya-tanya apakah saya ikut pawai pada hari itu.

Tapi usai kejadian itu membuat kami jadi waspada. Dengan dalih agar bisa mengamankan rombongan sekolah di sepanjang jalan saat pawai berlangsung, kami menawarkan diri memakai pakaian tentara! Saya sendiri punya stok pakaian tentara kakek saya yang sebelum bekerja di Caltex merupakan tentara di Angkatan Darat. Sementara kawa-kawan lain, meminta surat dari sekolah dan meminjam pakaian tentara yang bermarkas di Dumai.

Kami pun memotong rambut cepak ala tentara. Jadi selama acara, kami yang membawa pentungan dan kayu, menjadi tim penjaga sekolah yang menyuruh warga minggir ke pinggir jalan saat rombongan sekolah kami lewat. Banyak yang menyangka bahwa kami benar-benar tentara, ha.ha..ha, selamat kostum tinggal badut yang memalukan…

Namun saya tak tau apakah kini acara tersebut masih gelar. Karena menjelang era reformasi, pawai kemerdekaan ini tidak pernah lagi dilakukan karena alasan keamanan. Saya berharap kegiatan pawai ini terus berlangsung, karena dengan beginilah suasana Kota Duri yang penuh keakraban akan terbangun. Karena Duri penduduknya terdiri dari berbagai suku, dan kegiatan ini mempunyai nilai positif.***