Kamis, 19 Februari 2009

kampung halaman

Simpang Pokok Jengkol dengan landmark tugu jam

Kini warga Duri sudah bisa berbelanja di Plaza Ramayana

Kawasan Sebanga yang jalannya kini sudah diaspal

Pasar Duri, kini mulai tertata

Rakha bermain di depan rumah oma di Duri

Duri Kota Tercinta (1)

Bau apa yang paling anda suka di muka bumi ini. Bau bunga rose, melati, sakura, akar wangi, kulit manis, udara pegunungan, embun di pagi hari atau yang lainnya? Itu terserah, tergantung selera yang bersangkutan. Namun kalau ditanya kepada saya, saat ini saya merindukan bau tanah aspal minyak yang sedang digeledor. Lho bau apa itu?

MEMANG tak banyak yang tau akan bau khas ini. Mungkin hanya warga yang tinggal di lingkungan daerah minyak yang bisa mengenalinya. Baunya sangat menyengat dan bisa dikatakan tidak enak buat sebagian orang, seperti bau-bau taik anjingg…. Namun tak sebauk itulah, agak wangi sedikit lah dan agak khas. 

Sekarang saya tak bisa lagi menikmati bau itu, karena sesuai dengan undang-undang lingkungan hidup, minyak bekas pengeboran, yang kami sebut minyak mentah, dilarang disebar di jalan. Dulu di kampung saya, Duri, hingga tahun 80-an akhir, jalanan belum diaspal seperti sekarang. Yang ada hanya jalan tanah, kemudian diberi minyak mentah oleh mobil tangki. Hingga minyak di jalan tanah tersebut mengering dan tampak seperti layaknya aspal atau tar. Jika hujan mengguyur, maka jalan tersebut minta ampun licinnya. Sampai-sampai mobil yang lewat di atasnya, roda ban harus dibalut dengan rantai besi agar kuat mencengkeram jalan dan tak terpeleset.

Parahnya lagi, jika jalan tersebut diperbaiki. Menggunakan kendaraan berat yang kami sebut geledor. Mobil full besi ini dengan pengais besi di tengah kendaraan dan ban sebesar lubang sumur, sibuk meratakan jalan agar datar. Saat geledor mengais jalan ini, maka akan muncul bau khas yang hingga saat ini saya rindu untuk menciumnya lagi. Kemudian akan diakhiri dengan sebuah mobil tangki berisi minyak mentah menyerakkan ke sekujur badan jalan. Setelah itu, jalan akan sulit dilewati. Ban sepeda motor dan mobil akan penuh kerak minyak jika memaksakan diri lewat di sana. 

Dulu, saat geledor beraksi, saya betah duduk berlama-lama memperhatikan para pegawai Caltex (sekarang Chevron) bekerja sambil menghirup bau itu. Asyik juga melihat mobil besar mondar-mandir. Bahkan kadang-kadang, kami mencuri besi anak pengais tanah yang selalu diletakkan dibelakang mobil, untuk main-mainan. Anak pengais itu kami sebut mobil besi, karena bentuknya mirip mobil sedan.

Saya bersekolah di SD milik Caltex yang terletak di daerah Sebanga. Semua om dan tante saya bersekolah di sana. SDN 003 Talang Mandi Duri, menjadi sekolah kami sekeluarga. Bahkan ada guru SD saya yang dulu merupakan teman sekolah ibu. Kami yang tinggal di daerah Simpangpadang, jika ke sekolah, dijemput oleh sebuah bus. Kami namakan bus kingkong. Ini karena bus yang diimpor dari Amerika itu seluruhnya terbuat dari besi, kecuali roda dan kacanya mungkin. Badan bus hingga tempat duduknya, semuanya dari besi metal.

Ada titik-titik penjemputan bus yang memutar mulai dari Simpang Pokok Jengkol-Jalan Hang Tuah-Desa Harapan-Jalan Sudirman-sekolah kami. Kebetulan tempat pemberhentian bus berada di depan rumah kami di simpang Muhammadiyah, Jalan Sudirman. Jadi saya tak repot jauh-jauh jalan kaki menunggu bus itu. Bus akan penuh sesak oleh murid SD hingga banyak yang berdiri. Paling enak kalau berdiri di belakang cewek. Jadi kalau bus ngerem mendadak, maka semua yang berdiri akan jatuh dan kita akan menimpa si cewek tadi, he.he dasar…

Saat duduk di kelas tiga, kemudian dibuat terminal di daerah Pokokjengkol. Kami yang tinggal di luar area perumahan Caltex, harus jalan kaki ke terminal untuk naik bus ke sekolah. Kali ini busnya sudah lebih manusiawi. Kami namakan bus panjang karena berupa truk panjang dengan gandengan. Di gandengan itu kami duduk dengan kepala bus di depannya. Tempat duduknya sudah sofa dan agak bertingkat di bagian depan. Untuk yang duduk di depan biasanya anak perempuan dan kami laki-laki duduk di belakang. Jadi kalau bus belok maka perempuan yang duduk didepan akan langsung seperti berhadapan dengan jalan karena kepala bus hilang .

Saat itulah oplet mulai muncul karena banyak juga yang tidak lagi menaiki bus lagi. Kami yang tinggal sekitar terminal bus yang memakai alat transportasi ini. Saat itulah Kakek saya, kami memanggilnya Papip, pindah ke perumahan Caltex di Kompleks Dempo no.66. Hingga saya dan orang tua lah yang menunggu rumah papip di dekat simpang Muhamaddiyah, Simpangpadang Duri.

Yang lucunya, saya masih ingat, kami sangat musuhan dengan sekolah Imanuel yang berjarak sekitar satu kilometer dari sekolah kami. Saat melewati sekolah kristen yang banyak dihuni anak-anak suku Batak, perang pun pecah. Adu perang tembak karet gelang pun tak terelakkan. Sampai-sampai saling lempar batu pun terjadi. “Imanuel, tidak laku, imanuel, tidak laku…” terus diteriakkan jika melewati sekolah ini. Teriakan kami pun mereka balas,” SD negeri, tidak laku, SD negeri tidak laku.” Tapi perang hanya terjadi saat kami dalam bus. Jika diluar bus, kami biasa-biasa saja. Dan bus kami pun beda dengan bus mereka.

Bus sekolah yang menuju ke kompleks Caltex lebih bagus lagi. Bus-nya seperti bus AKAP sekarang ini, namun lebih pendek. Saya malah lebih sering naik bus ini ke rumah Papis setelah pulang sekolah. Di rumah papip di kompleks Dempo, saya punya dua sahabat akrab bernama Daniel dan Akhiruddin. Kami yang satu kelas jadi akrab karena satu kompleks tempat tinggal. Siangnya kami habiskan dengan main-main, cari belalang lalu dibakar dan dimakan, main perang-perangan di lapangan tenis dan main petak umpet di rumah kosong. Sorenya saat papip pulang kantor, setelah mandi, saya pun diantar pulang ke rumah.

Pada hari Jumat, ibu dan adik-adik selalu datang ke rumah papip. Jadi kami pun tidur di sana. Saya paling suka kalau hari Jumat tiba, karena ibu akan selalu buat kue yang enak di sana. Dan saya pun bisa main-main sampai malam dengan teman-teman. Kami pun sampai masuk ke daerah terlarang, dimana banyak terdapat mobil-mobil bekas dan mobil yang hancur akibat kecelakaan milik Caltex. Disini kami ambil speedometer, stir atau barang-barang yang bisa dijadikan mainan. Malah pernah dikejar sekuriti hingga kami kalang-kabut ke rumah masing-masing.

Bapak saya dulu bekerja di bidang transportasi. Kami punya dua mobil, satu mobil merek Datsun yang dijadikan oplet dan satu lagi merek Hiace yang dijadikan angkutan umum dari Duri ke Pekanbaru. Kadang-kadang mobil datsun kami disewa untuk mengangkut pekerja kontraktor Caltex ke lokasi-lokasi pengeboran. Kadang-kadang saya diajak jika menjemput mereka. Namun pernah saat bapak pulang makan siang, saya sembunyi di bawah jok belakang dan terbawa bapak ke lokasi pekerja di tengah hutan belantara. Tentu saja bapak saja berang ketika tahu ada saya di dalam mobil dan terbawa jauh hingga ke tengah hutan belantara.

Karena nenek (ibu dari bapak) naik haji, bapak saya pun menjual mobil kami. Bapak mulai bekerja di perusahaan minyak, mengikuti jejak papip saya. Sejak itulah, ritual pulang kampung ramai-ramai sekeluarga pun tak lagi dilakukan. Biasanya saat hari raya, kami sekeluarga besar, ramai-ramai pulang kampung ke Bukittinggi, kampung papip dengan mobil kami itu. Setelah pernah sekali pergi dan itu dengan mobil orang lain.

Kota Duri pada tahun1980-an, saya rasa penuh kedamaian. Penduduknya tidak banyak. Duri kala itu dibagi menjdi tiga daerah. Sebanga, Simpangpadang dan kompleks Caltex. Yang paling banyak penduduknya adalah daerah Simpangpadang. Disini terdapat konsentrasi penduduk, pasar, rumah sakit, kantor polisi, kantor pos dan bioskop. Ada dua bioskop yang terkenal saat itu, Alhamra di belakang pasar dan Murni di pinggir jalan Sudirman dekat Jalan Nusantara. Bioskopnya tidak beratap. Jadi kalau hujan, penonton pun minggir ke dan berteduh ke tepi.

Masih ingat ketika saya pertama kali dibawa bapak nonton di bioskop Murni. Waktu itu film Dono. Hanya lima menit saya serius nonton, setelah itu saya tertidur. Terpaksalah saya digendong bapak pulang.

Kalau libur sekolah, saya biasanya dijemput tante saya yang tinggal di Minas. Kadang-kadang diantar nenek saya dengan bus, lalu ditunggu mobil combi (kayak taksi sekarang) di simpang pos, lalu bergerak ke kompleks Anggrek, tempat perumahan tante tinggal. Biasanya saya disini agak lama, bisa hampir sebulan. Tante saya paling jago main bowling. Setiap sore ia berlatih bowling di club. Jadi hampir setiap sore, tante bermain bowling, saya dan sepupu berenang di club tersebut. Habis berenang, selalu ditemani sebuah hamburger dan segelas teh dingin. Kadang-kadang, waktu saya habiskan di library depan club. Saya yang hobi membaca, memuaskan hobi di library yang tak banyak pengunjung ini, namun dipenuhi banyak buku bagus.

Kalau lagi suntuk, tante mengajak ke Pekanbaru. Kami naik bus caltek melewati Rumbai lalu berhenti di terminal tepi sungai Siak. Lalu rute bus dilanjutkan ke samping bisokop Latifa Pasar Pusat. Kala itu yang paling ngetop tempat belanja adalah Ramanda, di samping kantor Telkom Pekanbaru. Lalu jalan-jalan di seputar Pasar Pusat.****




Senin, 16 Februari 2009

Tentang Rakha

Hello, i'm Rakha

Rakha di hari ulang tahun

Rakha saat di hotel

Smile boys...

Rambut Rakha sekarang

Beginilah rambut Rakha di umur empat bulan

Hmm, tenang ya...

Ayo nunduk, sang ladies mencoba membujuk

Dua pemotong rambut pun turun tangan

Membujuk Rakha biar tenang, koran pun jadi korban

Rakha dengan rambut baru di umur 8 bulan

Potong Rambut

Setiap kali habis dari ruang menyusui saat kami berbelanja di mal, istri saya selalu saja cerocos bercerita tentang kesalahaan para ibu-ibu di ruangan tersebut. Kemarin saat, jalan-jalan ke Mal Ska, hal itu kembali terjadi. Ia nampaknya kesal.

MASAK, para ibu itu memanggil kakak sama anak kita. Saat dibilang Rakha laki-laki, langsung aja ibu-ibu minta maaf. “Eh laki-laki ya, habis wajahnya manis”. Padahal Rakha kan pakai baju laki-laki,’’ ujar my wife bercerita sepanjang jalan.

Bukan satu atau dua kali istri saya mengatakan hal tersebut. Namun saya hanya bisa memberikan argumentasi. “Mungkin saja karena mereka melihat rambut Rakha yang panjang. Jadi disangka perempuan. Kan jarang ada anak laki-laki yang rambutnya panjang,’’ ujar saya.

Memang, anak saya Rakha memiliki kelebihan di rambutnya. Sejak baru dilahirkan, rambutnya sudah tebal. Pada umur lima bulan, rambutnya sudah sampai menutupi kedua matanya. Kami belum berani memotongnya karena menunggu acara akikah, yang merupakan acara selamatan sekaligus potong rambut. Saat akikah pada bulan Agustus tahun lalu, barulah rambut Rakha dipotong oleh opa dan omanya dan keluarga lainnya.

Sebulan setelah acara akikah, kami pun memotong rambutnya. Saya semula bingung, kalo bayi potong rambutnya dimana ya? Namun setelah mendengar cerita teman-teman, akhirnya kami pun membawa Rakha potong rambut di Johnny Andrean. Agak susah memang memotong rambutnya. Karena saat itu ia merasa tak nyaman saat gunting sang ladies pemotong rambut singgah. Ia bergerak ke kiri dan ke kanan. Kemudian diiringi dengan pekikan dan desahan.

Terpaksalah sebuah koran jadi mainan dan habis digigitnya. Sengaja kami kasih koran karena Rakha biasanya matanya akan berbinar-binar melihat koran atau majalah. Kalau di rumah, janganlah coba-coba meletakkan koran di bawah. Akan habis dilumatnya. Malah majalah Rolling Stone yang baru saya beli, hancur tak karuan dengan cover robek-robek karena lupa meletakkan jauh dari jangkauannya.

Hingga ketika pulang kampung saat hari raya, Rakha sudah berambut baru dan kelihatan macho. Setelah itu, rambutnya pun tak pernah tersentuh gunting lagi. Akhir pekan kemarin, saat ke rumah neneknya di Hasanuddin, sang mami pun kena marah sama sang nenek. ‘’Satu permintaan ibu, tolonglah rambut si Rakha ini dipotong. Tengoklah, rambutnya sudah sampai ke mata. Nanti kalo dibiarkan, lama-lama jadi juling,’’ sergahnya.

Kami yang baru pulang weekend dari hotel pun tak bisa berkata-kata. Akhirnya, Rakha pun menjalani prosesi potong rambut yang kedua di usianya satu tahun. Karena malas ke mal, kami pun membawanya ke tukang pangkas pria. Maka rambut Rakha pun dipermak lagi. Kali yang memotongnya cowok, bukan cewek Tionghoa. Namun karena sudah satu tahun, ia tak lagi lasak saat saya gendong ketika potong rambut.

Namun setiap kali habis potong rambut, saya selalu rindu dengan anak saya yang berambut agak panjang dan awut-awutan. Saat rambut pendek, ia kelihatan terlalu dewasa.***


Rabu, 11 Februari 2009

Ultah

Hallo para blogger sedunia

 Ayo tiup kuenya..

Blackforrest pertama Rakha

Muahhhh, jadi ngantuk....

 Ini apa ya..




Genap Setahun

Jauh hari sebelum datangnya tanggal Sepuluh Februari tahun ini, istri saya mulai sibuk. Selalu saja nanya-nanya. Ia seakan tak sabar untuk merayakan ultah anak kami semata wayang. Namun karena tidak mendapat respon dari saya, ia pun jadi kesal.

‘’MASAK anak baru satu, tidak dirayakan ulang tahunnya, Keterlaluan papimu ini ya Kha,’’ katanya sambil memberi makan Rakha sambil bersungut-sungut. Sementara saya sibuk memencet-mencet tombol tivi pada pagi yang diselimuti gerimis itu.

Istri saya rupanya kesal karena saya bilang bahwa saya dulunya tak pernah ada acara ulang di keluarga kami. Ia tambah marah saat saya katakan kalau acara ulang tahun itu adalah budaya agama lain. ‘’Mana pulak tahu si Rakha ini acara ulang tahun-ulang tahun. Kalau sudah ngerti dia boleh lah kita rayakan,’’ ujar saya sambil memeluk bantal dengan menjawab sekenanya.

Sang istri pun malah tambah beringas. ‘’Ya kalau tak mau merayakannya, biar kami berdua yang merayakan. Memangnya kami tak bisa, ya Kha,’’ katanya kepada Rakha yang lagi sibuk merangka ke sana kemari.

Ulang tahun, memang merupakan hari yang bersejarah dan patut dikenang dan dirayakan. Saya tak sejahat itulah tidak merayakan ulang tahun anak kami ini. Sudah susah-susah mendapatkannya, tak mungkinlah saya tak meprehatikannya. Namun jika berbeda pendapat sedikit saja mengenai anak, istri saya langsung sewot.

Saat saya katakan Rakha nanti akan saya jadikan pemusik dan harus pintar main gitar dan piano di umur lima tahun, langsung dibantahnya. Ia ingin Rakha jadi dokter. Pokoknya jadi dokter. ‘’Biar tak seperti maminya yang kuliah salah jurusan,’’ ujarnya.

Namun pada intinya, ia selalu memberi yang terbaik kepada anak kami ini. Bahkan perkembangannya pun selalu diawasi dengan perasaan cemas.

‘’Kenapa ya gigi Rakha belum juga tumbuh. Umurnya khan sudah hampir satu tahun,’’ tanya istri beberapa hari lalu kepada saya. Atau sebelumnya, ia begitu khawatir anak kami belum juga telungkup atau belum juga merangkak atau yang lain-lainnya. Mungkin begitu ya naluri sang ibu melihat anaknya.

Kembali kepada acara ulang tahun tadi, akhirnya acara pun kami rayakan untuk lingkungan keluarga saja. Pada tanggal sepuluh itu, saya sudah usahakan untuk bangun cepat. Namun karena pulang kantornya jam tiga pagi, mata saya agak susah terbuka. Walaupun sebelumnya saat Subuh tubuh saya sudah dipanjat-panjat, hidung dikorek-korek dan kepala diinjak-injak Rakha, saya hanya bisa pasrah.

Sudah jadi kebiasaan, Rakha pada jam 4 pagi ia sudah bangun. Ia akan mengelilingi kamar dan bermain-main sendiri. Jadi maklum saja jika kakinya bisa sampai ke mulut atau duduk dia atas kepada kita yang ketika itu masih terlelap. Sampai bosan, baru ia kemudian merengek. Giliran ke luar kamar wajib untuk dilakukan dan wajib pula memutar DVD lagu anak-anak. Rakha akan diam selama satu jam menonton sampai ia kemudian minta mimik dan akan tertidur hingga pukul 8 pagi. Begitu setiap harinya.

Tapi pagi tanggal sepuluh itu, mami dan Rakha sudah siap untuk berangkat. Tinggal saya yang dengan masih separuh mengantuk mencoba-coba dinginnya air di kamar mandi. Hari ini kami akan merayakan Ultah Rakha di rumah neneknya. Sebelumnya, Rakha sempat ditimbang dulu di Posyandu dan dapat vitamin A. Karena memang jadwalnya ia ditimbang bulan ini.

Sampai di rumah nenek, para sepupu yang sering agak anarkis sudah berkumpul. Termasuk tante-tantenya. Karena sudah jadwalnya makan siang, maka rombongan pun bergerak makan-makan dulu di D’Cost. Itu, lo tempat makan seafood dengan motto mutu bintang lima, harga kaki lima. Tapi tetap tidak murah juga, mungkin harga kaki lima yang jualan di dalam mall ya….

Rencananya sekalian potong kue tart di tempat makan. Namun batal dilakukan karena negosiasi yang ketat dan diawasi mata para sepupu yang agak beringas, akhirnya kue tart pun dibawa pulang. Namun sebelum pulang, arena permainan akan harus disinggahi dulu. Ya terpaksalah, harus sabar-sabar memegang keponakan istri yang lagi lasak-lasaknya. Pokoknya, arena permainan itu bisa bikin mata bocah-bocah jadi liar. Coba sana, coba sini. Saling rebutan pun tak terelakkan, he.he… Kalau lama-lama disini, bisa berabe nih.

Akhirnya rombongan pun pulang juga. Tak terasa hari sudah beranjak Maghrib. Sampai di rumah nenek, para tamu kecil pun tak kuat menahan nafsu melihat kue tar di meja. Maka acara nyanyi selamat ulang tahun dan potong-potong kue pun dilakukan. Sayang saya harus segera berangkat kerja dan meninggalkan Rakha dan maminya nginap di rumah nenek. Terpaksalah saya malam itu tidur sendiri di rumah. Namun asyiknya, pagi hari saya bisa hidupkan Metalicca, Koil dan Netral dengan suara yang full. Tidak kecil-kecil lagi. Serasa hidup di rumah kos dulu rasanya…***