Kamis, 25 Desember 2008

Akhir Tahun


Selamat datang di negeri seribu macet


Macet melanda dimana-mana


Resah dan gelisah menunggu macet reda


Kalo pake ini bebas macet gak ya....


Melepas lelah akibat macet di Taman Untung Surapati


Jakarta, oh Jakarta
Jakarta makin padat. Kemacetan melanda di merata tempat. Toyota Alphard yang sengaja kami sewa dari bandara Soekarno/Hatta ini pun berjalan merayap pelan laksana kura-kura. Sementara disisi kanan dan kiri, sepeda motor dan bajaj saling salip.

MENURUT teman saya yang tinggal di Jakarta, di ibu kota ini jarak bukan jadi hal yang terlalu dipersoalkan. Yang menjadi persoalan mereka sebenarnya adalah masalah waktu. Jarak yang hanya beberapa kilometer, ditempuh dengan waktu yang cukup lama. Memang membosankan sekaligus melelahkan. Saya tak bisa membayangkan bagaimana sekiranya saya tinggal dan bekerja di kota terbesar di Indonesia ini.

Akibat macet, kami terlambat mengikuti pertemuan dengan sebuah perusahaan minyak di sana. Janji pertemuan jam 1 siang, baru dapat terlaksana pukul 3 siangnya. Apalagi ketika kami berangkat bertepatan dengan jam usai Salat Jumat dan waktunya masuk kantor. Namun nampaknya sang tuan rumah memaklumi keterlambatan kami, walaupun hidangan yang disediakan untuk makan siang sudah dingin, sekeras hembusan AC di gedung berlantai 52 tersebut.

Beberapa hari lalu, kami serombongan berangkat ke Jakarta. Hampir seluruh jajaran liputan mulai dari reporter kota hingga daerah diboyong ke Jakarta. Sebagai senior, kami pun berusaha menjadikan acara ini tidak begitu formal. Maklum jarang-jarang kami di redaksi bisa berombongan berangkat ke luar kota. Sejak ditetapkannya koran terus terbit di hari libur tanggal merah, maka hampir tak ada waktu bagi kami untuk mengadakan acara di luar kota. Kalau dulu sebelum tahun 2003, setiap ada tanggal merah yang terjepit dengan hari libur, dari jauh hari sudah dibuat rencana kunjungan ke luar kota. Pernah kami berombongan keliling Sumatera Barat dan juga keliling Sumatera Utara. Di acara inilah mungkin semangat tim dapat lebih terbangun lagi.

Namun dalam acara kemarin, yang berangkat hanya rombongan jajaran liputan. Sementara jajaran redaktur tak ikut. Dua acara penting pun kami lakoni di Jakarta, yakni melakukan kunjungan balasan ke perusahaan minyak yang beroperasi di Selat Lalang PT Kondur Petroleum dan silaturahmi dengan Meneg PDT Lukman Edi. Kunjungan pertama ke kantor pusat PT Kondur di Wisma Mulia. Dimana kami masuk dengan pemeriksaan ketat pihak sekuriti hingga di scan foto segala. Dan malamnya dilanjutkan dengan acara ramah tamah dengan Lukman Edi di sebuah café seputara Taman Ismail Marzuki.

Sesuai dengan agenda awal bahwa acara tak perlu formal, maka ada usulan bahwa pada esok harinya akan dilakukan acara jalan-jalan, shopping atau segala macamnya ke Bandung. Saya pun meminta disediakan sebuah bus kecil yang nantinya akan membawa rombongan. Supir dan bus pun sudah distandby-kan di hotel pagi-pagi sekali. Namun sayangnya, banyak rekan-rekan yang ingin menghabiskan waktu di Jakarta saja untuk berbelanja dan jalan-jalan ke Ancol. Maka shopping pun dialihkan ke WTC Mangga Dua dan kawasan sekitarannya.

Pada prinsipnya, acara ini sebagai kegiatan refreshing, maka segala sesuatu pun dibuat senyamannya. Sewa mobil, yang paling mewah, seperti Alphard. Makan ditempat enak ditempat enak seperti Garuda 2000 dan aneka makanan laut di Gunung Sahari. Serta hiburan malam yang juag ditempat berkelas.

Sayang, waktu yang sempit membuat kami mesti bergegas pulang kembali ke kantor. Karena jika tidak pulang, mungkin isi koran akan putih semua tanpa tinta. Ya, apa yang mesti dibaca pelanggan nanti kalau semua reporter tak ada yang buat berita. Memang begitulah kalau kerja di surat kabar harian, setiap hari sibuk terus….***

Senin, 08 Desember 2008

33 Tahun Sudah


Siap-siap...


Intip dulu kadonya..


Hmm...



Raya di Hari Ulang Tahun


Baru sekali ini saya merasakan berulang tahun di hari raya. Diantara kumandang takbir, saya mendapat ucapan selamat ulang tahun dan kecupan di pipi dari istri tersayang. Ah.. makin berkurang jatah hidup di dunia ini.


MUNGKIN karena kebetulan atau entah apa, ulang tahun di hari raya ini jatuh pada hari Senin dimana hari saya dilahirkan 33 tahun yang lalu di sebuah klinik bidan di Kota Duri. Sebagai cucu pertama dari bapak yang merupakan anak tertua di keluarganya. Kalau boleh saya mengira-ngira, mungkin kelahiran saya tersebut penuh pengharapan dan ditunggu-tunggu karena saya cucu pertama dari kedua belah pihak, keluarga bapak dan keluarga ibu. Atau mungkin juga jadi penyatu kedua belah keluarga besar, karena sebelumnya, perkawinan kedua orang tua saya kabarnya ditentang keluarga ibu.

Dua hari menjelang Hari Raya Idul Adha, sang istri minta diantarkan ke rumah orang tuanya. Seperti biasa, jika hari libur tiba, kami akan week end ke rumah nenek Rakha. Maklum, rumah nenek Rakha luas dan berada tepat di tengah kota. Jadi kami yang tinggal di perumahan dengan ukuran tanah terbatas dan terletak di pinggiran kota, akan menghabiskan waktu jalan-jalan ke pusat perbelanjaan kemudian enjoy di rumah nenek. Dan pada Sabtu kemarin, Rakha dan maminya pun nginap di rumah nenek.

Saya pun jadi tidur di rumah sang nenek. Mengingat Senin sudah hari raya, terpaksa saya memboyong perlengkapan salat berikut bajunya. Paginya, saya sengaja meninggalkan HP saat akan pergi salat. Sementara mami Rakha dan ikut salat. Saya pun berangkat salat sendiri ke masjid Agung An Nur karena sang nenek salat di tanah lapang dekat rumah. Saat pulang, keluarga dari Duri telah menelpon ngucapkan selamat Ultah. Tidak lupa pula Telkomsel pun kirim SMS ultah.

Bagaimana rasanya ultah di hari raya? He. He.. ngantuk. Saya bahkan sempat tertidur di sofa usai makan lontong. Ini mungkin karena berhujan-hujan pulang kerja tengah malamnya. Dan bangun pagi-pagi sekali mengejar Salat Id. Jadi mata pun seakan tak mau kompromi saat perut sudah diisi. Bahkan sampai-sampai saat tidur di sofa. Saat terbangun, ternyata keluarga besar mami Rakha telah berkumpul di rumah nenek.

Setelah kumpul semua, mami Rakha pun mengeluarkan kue ultah yang ternyata telah dipesannya. Saya jadi malu, melihat saat lilin dibakar, hehe, sudah 33 coi. Ya, makin berkuranglah jatah umur hidup didunia ini. Ajang makan kue pun dilakukan diiringi ucapan selamat dari keluarga istri. Sebuah kado pun diberikan khusus dari mami Rakha. Apa isi kadonya? Rahasia lah ya…


Jumat, 21 November 2008

Kisah Lama


No comment...


Sedang bersemangat


Jadi malu...


Deni, penggebuk otodidak


Dang dengan topi kesayangannya


Tiga veteran 90-an


Tampil prima

The Bobo
Band yang Gak Pernah Mati


Anak saya akhir-akhir ini lagi lasak-lasaknya. Sejak menggunakan baby walker, ia makin aktif bergerak kesana-kemari. Semua barang-barang yang berada di atas meja, akan berantakan kena jamahaannya. Hingga kami terpaksa menyingkirkan meja tamu dan barang-barang lain yang bisa dijangkaunya.

PAGI itu, saat bangun tidur, saya melihat album foto sudah berserakan di lantai. Ternyata ia berhasil menggapai rak lemari di ruang tamu. Maka berhamburan dan leceklah album-album foto itu. Sementara sang mami, sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan membiarkan Rakha dengan aktivitasnya sendiri. Beberapa lembar foto berceceran keluar dari album akibat dilempar dan digiling baby walker.

Mata saya pun tertumbuk pada sebuah album foto lama. Tiga orang sekawan dengan gaya kucel bergaya di depan kamera. He.he. foto lama personel Bobo in The Corner, grup band kami saat kuliah dulu. Saya pun membalik-balik album foto dan tertawa sendiri melihat-lihat tampang kami waktu dulu. Akhirnya, waktu di pagi hari itu saya habiskan untuk membolak-balik album ditemani tarikan-tarikan tangan Rakha.

Band yang kami bentuk dulu, bukan sebuah band yang punya nama besar. Hanya sekedar mengisi hobi kami yang saat itu begitu gila dengan musik. Setiap ada festival di kampus atau di luaran, kami pun tak pernah absen untuk ikut. Walaupun terpaksa harus patungan untuk biaya pendaftaran dan biaya latihan studio. Bahkan saking “kere”-nya, saya pernah jadi bendahara mengumpulkan uang teman-teman setiap harinya Rp1.000 untuk persiapan dana pendaftaran jika ada festival nanti.

Maklum saat itu saya hidup ngekos, jauh dari orang tua dan uang belanja terpaksa dihemat-hemat. Namun dua teman saya lainnya, Dang dan Deni, orang tuanya tingal di Pekanbaru. Namun tetap saja kere karena belum punya pekerjaan dan mengharapkan “belas kasih” orang tua. Tapi walaupun begitu, kami tetap santai dan bahkan menikmatinya. Dengan skill semampunya, dan minim alat band, kami tetap optimis ikut meramaikan jagat musik di Pekanbaru kala itu.

Awalnya, saya tak pernah megang alat musik listrik. Saya yang hanya tamatam SMA di sebuah kota kecil, hanya bisa main gitar kopong sekadar genjarang-genjreng. Itu pun saya bisa main gitar dengan mantap saat duduk di bangku SMA. Gitar yang pertama saya beli dengan uang tabungan sendiri adalah gitra merek kapok punya teman SMA saya bernama Andi. Karena si Andi beli gitar baru, gitar itu pun dilego kepada saya dengan harga Rp5.000. Saat itu di awal tahun 90-an, dalam ukuran saya uang tersebut sudah cukup besar.

Kemudian saat kuliah, saya secara tak sengaja bertemu dengan Dang. Ia saat itu seduah terkenal dengan pengalaman dan skilnya dalam bermusik. Maklum Dang saat sekolah dulu punya grup band yang cukup beken bernama Kid Dog Rapp dimana ia berperan sebagai drummer. Dan saat awal-awal kuliah, Dang pun sudah membentuk grup band bernama Panic. Saya pernah melihat mereka tampil membawakan lagu Pearl Jam saat malam penutupan Ordik di gedung PKM Kampus kami, Unri. Dadang ketika itu pegang gitar, deni drum dan vokalisnya anak Batak Dumai.

Saya hanya sebagai penikmat saja. Tak terpikir untuk terjun dalam dunia band yang kala itu masih jadi barang mewah dan khusus untuk kalangan berduit. Namun ternyata hal itu salah besar. Yang penting punya keinginan dan teman-teman yang seide. Masalah uang, alat dan skil ternyata bisa diasah dan menjadi urusan kedua.

Pertemanan saya dengan Dang, secara tidak langsung membuat saya secara tidak sadar terjun ke dalam dunia band. Awalnya, karena berteman di kampus, Dang sering datang main ke tempat kos saya, dan melihat-lihat koleksi kaset yang saya miliki. Ternyata kami punya banyak kesamaan dalam selera musik. Kami pun sering berdiskusi masalah musik dan grub band terkini kala itu. Hingga akhirnya Dang meminta saya untuk ikut mendirikan grup band bersamanya. Ia mengatakan tidak cocok lagi dengan Panic band akibat perbedaan selera musik. Pada waktu itu, akan diadakan festival unppluged yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi Unri di Teater Arena Balai Dang Merdu Pekanbaru.

Tentu saja ajakan ini saya sambut. Namun saya masih belum pede dan menyatakan terus terang belum pernah ikut dalam sebuah grup band. Saya pun didaulat memegang gitar bas dan Deni serta Dadang pada posisi mereka sebelumnya di Panic band. Saya pun mencoba belajar bermain bas lebih keras sambil sesekali didampingi Dang. Sementara Panic band tak kalah juga, kawan kami si Batak Dumai ini pun merekrut teman baik kami Yayat sebagai posisi drum. Bahkan saking menunjukkan eksistensi, Bobo dan Panic bahkan pernah ikut latihan pada jam yang sama di sebuah studio latihan. Walaupun tak saling ejek, nuansa permusuhan kentara terasa.

Saya tak mau ambil pusing masalah internal Dang dan Deni dengan personel band lama mereka. Walaupun saya melihat ada kebencian vokalis Panic terhadap saya. Namun kami tetap terus berlatih setelah usai kuliah. Dengan berbekal gitar kopong, kami pun mencoba-coba mengulik lagu. Kadang-kadang berlatih di rumah saya, kadang di rumah Dang dan jarang di rumah Deni. Akhirnya kami memilih lagu, “High and Dry”-nya Radiohead serta lagu “So Lonely” Sting dan “Blood Money” Bon Jovi dalam ajang Festival nanti.

Nama grup band Bobo in The Corner pun di daftarkan sebagai peserta dan mendapat nomor undian. Nama ini atas saran Dang. Usai mengikuti Technical meeting pada siang, menjelang Maghrib kami pun bergerak menuju Balai Dang Merdu dengan menaiki oplet. Rekan-rekan kampus dan kos ikut mendampingi kami. Saat memasuki ruangan yang berbentuk teater tertutup ini, saya agak sedikit gugup. Kami menyaksikan beberapa grup yang mendapatkan nomor undian awal. Terus terag saya agak takut dan gugup. Gugup karena belum pernah manggung dan takut kalau lampu remang-remang dan saya tidak bisa melihat betotan bas di gitar.

Akhirnya nama grup kami pun dipanggil. Dengan rasa penuh percaya diri kami bertiga pun berdoa terlebih dulu di bagian samping panggung. Terasa suasana agak berbeda jika kita jadi sorotan ratusan pasang mata. Ketika pertama membetot gitar, rasa percaya diri saya langsung tumbuh. Hentakan drum Deni dan kocokan gitar Dang yang sekaligus diringi suara seraknya, membuat lagu High and Dry mengalir lancar dan berhasil membuat penonton terdiam. Guna memecahkan keheningan Dang pun sempat membuat intro lagu Indonesia Pusaka dengan gitarnya yang membuat penonton terbahak. Lagu So Lonely yang kami bawa sontak meraih tepuk tangan penonton yang membuat saya bangga setengah mati. Banyak penonton tidak tahu lagu tersebut karena kami ambil dari album lama Sting. Sementara Blood Money di penghujung manggung berhasil membuat penonton ikut bersama-sama bernyanyi dan malah terjadi koor yang dikoordinir rekan-rekan senior kampus kami.

Awal yang baik dan menyenangkan, so far so good. Hingga akhirnya kami pun terjun dalam dunia band kampus dan mengikuti berbagai ajang festival musik. Uniknya, setiap tampil mengikuti berbagai festival, kami tidak pernah memakai nama yang sama. Setiap tampil selalu berubah nama, walaupun nama Bobo telah menjadi trade mark, kami memakai berbagai nama saat mendaftar. Mulai dari Alam Barzah, Muhasabah, Seks The Truth dan lainnya yang saat ini pun saya lupa apa-apa saja namanya.

Dampaknya, tentu saja ada. Selain rambut jadi gondrong, pada semester di awal ikut ngeband, nilai kuliah saya jeblok. Dari IP 3 koma lebih, turun menjadi kitara hanya angka mendekati 3. Namun masalah nilai kuliah ini, terus terang tidak pernah saya beritahu atau ditanyakan oleh orang tua. Maklum, ortu tidak ngerti apa IP atau IPK ataupun nilai A, B dll. Jadi tidak ada kontrol dari ortu, beda dengan di sekolah dimana ortu yang rutin ngambil rapor. Betul-betul terserah saya saja saat kuliah ini. Mau belajar atau tidak, orang tua tidak pernah tahu. Hanya yang ditanyakan bagaimana beasiswa tahun ini, apa saya masih dapat atau tidak. Itu saja.

Hidup dalam dunia musik, harus hati-hati. Jika tidak, sebentar saja kita akan tergelincir. Tidak bermaksud memburukkan, namun yang namanya narkoba, kala itu gencanr menyerang. Seorang teman dari kampus swasta yang kami ajak ikut gabung bermain musik, menawarkan rokok saat latihan di studio kepada saya. Saat saya buka, di dalam kotak rokok tersebut, penuh dengan lintingan ganja. Kontan saja saya tolak. Termasuk minuman keras, yang terus terang tidak pernah kami jadikan konsumsi. Saya beruntung punya teman yang agak taat dalam menjalankan agama. Jika waktu salat masuk, kami pun menunaikannya. Hingga salat saya yang semula bolong-olong, sejak di musik malah makin teratur.

Di Bobo kami mengusung konsep tiga personel saja. Kala itu, lagi deras-derasnya aliran musik alternatif. Dimana personel cukup hanya tiga orang, drum, bas, gitar yang merangkap vokal. Kami menganut konsep tersebut selain karena aliran musik juga ingin memaksimalkan konflik. Bertiga lebih minim konflik dibanding berlima atau berenam. Malah Bobo akhirnya tinggal saya dan Dang saja yang serius. Sementara drumer kami Deni makin disibukkan dengan kedai bangunannya hingga akhirnya tak hanya absen di band, namun juga berhenti total kuliah. Maklum Deni bapaknya telah meninggal dan terpaksa banting tulang mencari rezeki untuk keluarganya.

Hingga akhirnya kami pun sering membawa teman-teman lain untuk ikut main musik. Baik teman kampus maupun teman lainnya, bahkan pernah mengajak seorang supir traktor jadi pemain gitar melodi. Namanya Elen, yang ketika mendaftarkan nama saat ikut festival, disangka perempuan.

Begitulah, Bobo tetap meramaikan jagad festival musik kala itu meskipun dengan bertukar-tukar personel dan berganti nama. Praktis hanya tinggal saya dan Dang mengusung band ini agar terus berjalan. Kami sempat juga membuat lagu hasil ciptaan sendiri yang dibawakan dalam ajang festival. Sayangnya, lagu tersebut tidak sempat kami rekam. Akibatnya kini kami praktis lupa dengan liriknya yang berbahasa Inggris tersebut. Di malam hari, saat santai, saya dan Dang selalu mengulik-ngulik gitar di paviliun lantai atas tempat kos saya.

Saya tak ingat lagi, kapan terakhir kali manggung. Namun ketika kuliah kelar dan saya masuk dunia kerja, tak pernah lagi saya latihan. Kesibukan membuat kami terpisah. Walaupun saat saya selesai kuliah Dang masih sibuk dengan menghabiskan sisa kredit semesternya, kami jarang berjumpa. Akhirnya Dang selesai juga kuliahnya dan mencoba merantau ke Bandung. Lama juga ia di Bandung hingga akhirnya balik lagi ke Pekanbaru. Lama tak jumpa membuat kami mencoba-coba latihan lagi. Namun karena sudah lama tak pegang alat musik, membuat banyak lagu yang kami hapal jadi lupa. Skil pun seakan berkurang dan tak terlatih lagi. Pernah suatu kali Dang mengusulkan kepada saya agar kami masuk studio dan merekam album. Namun karena terbatasnya dana, hal itu sampai kini tak bisa kami wujudkan.

Kini, saat melihat-lihat album foto dulu, saya hanya bisa tersenyum membayang nostalgia yang pernah kami alami. Ternyata hidup ini mempunyai setiap episode yang nantinya akan jadi bahan nostalgia. Ada episode gejolak muda saat duduk di bangku SMA, dunia musik dan aktivitas perkampusan yang penuh gairah dan kini episode menjadi seorang bapak yang harus menghidupi seorang anak dan istri. Jika ditanya, episode mana yang paling enak, saya akan menjawab episode yang penuh gairah di dunia kampus. Di episode inilah saya mendapatkan tambatan hati, pijakan menuju dunia kerja dan pemenuhan hasrat musik.***




Jumat, 14 November 2008

Area Militer


Duo veteran musik


Mantap


Saat penonton sepi di depan panggung utama


Grup band Nidji sedang beraksi

Musik adalah Jawabannya
Seumur-umur, baru sekali saya masuk ke dalam lokasi parkir pesawat tempur di Lanud TNI AU Pekanbaru. Saya dapat melihat dari dekat bentuk pesawat tempur yang berwarna dominan coklat loreng tersebut parkir berjajar di hanggar. Sebelumnya, saya hanya bisa menyaksikan pesawat tersebut dari jauh di luar pagar saat melewati kompleks Lanud atau melalui foto-foto rekan-rekan yang meliput.

SEBEGITU pentingkah peristiwa melihat pesawat dan masuk ke dalam lokasi bandara Lanud ini saya sampaikan? Bagi kebanyakan orang, memang tak penting-penting betul. Apalagi bagi kawan-kawan rekan jurnalis, sesuatu hal yang biasa mengingat seringnya TNI AU mengajak kawan-kawan meliput kegiatan mereka. Tapi bagi saya yang tak pernah meliput kegiatan TNI AU, peristiwa yang saya alami begitu membuat saya terkesan. Kenapa?

Ya, karena saya masuk ke dalam obyek vital tersebut dan melihat pesawat tempur dari dekat, bersama belasan ribu warga lainnya yang hobi musik. Itu kejadian sekitar dua tahun lalu, tepatnya di hari Ahad. Ketika itu kompleks Lanud dan lapangan udaranya yang selama ini dikatakan sebagai obyek vital, seakan-akan pupus sudah. Warga atau tepatnya para kawula muda menyemut dan memadati tiga panggung besar di tengah lapangan terbang. Sementara pesawat-pesawat tempur itu parkir dengan hanya diberi pembatas berupa pita garis polisi saja. Saat itu konser musik Soundrenalin digelar di kawasan, yang katanya, paling vital dan hanya orang tertentu saja boleh masuk

Bahkan, saking bebasnya, pihak TNI AU menyediakan truk khusus yang disiagakan secara gratis di dua pintu gerbang untuk membawa warga yang akan menonton konser musik paling bergengsi di tanah air itu, masuk ke dalam kawasan lapangan terbang. Saya hampir-hampir tidak percaya bahwa konser sebesar itu dilakukan di dalam area militer. Bersama rekan band saya saat kuliah dulu, kami pun tak ingin melepaskan moment paling berharga ini.

Atraksi terjun payung dan manuver helikopter yang terbang rendah meningkahi aksi panggung grup band Nidji di pentas utama. Tak hanya satu grup musik, belasan grup nasional papan atas serta grup band dari luar negeri menghentak area Lanud Pekanbaru dari pagi hingga malam hari. Suatu hal yang langka, sebuah konser musik diramaikan dengan aksi spektakuler sambil ditonton ribuan warga, dan di kompleks militer lagi. Saya merasa, saat itu TNI AU adalah militer yang paling toleran dan berani serta berhasil memikat hati masyarakat. Mereka telah membuktikan bahwa daerah militer itu bukan kawasan angker yang dipenuhi wajah-wajah garang. Para tentara itu bahkan terlihat ramah dengan senyum yang manis, berbaur bersama kami para penikmat musik.

Itu dua tahun lalu. Dan pada malam minggu di awal bulan ini, saya mengunjungi rekan kuliah saya yang dulu sama-sama gila musik. Di rumahnya, kawan saya ini sedang santai, memutar DVD konser musik sambil memeluk gitar. Memang, saat ini kami jarang berjumpa dan praktis kami tidak pernah lagi latihan ataupun manggung lagi. Maklum umur sudah bertambah dan kesibukan makin banyak.

Kami pun ngobrol hilir-mudik hingga pembicaraan mengarah kepada kompleks TNI AU. ‘’Jalan di kompleks TNI AU sekarang ini ditutup untuk umum,’’ kata saya.

‘’Memangnya kenapa, kan dari dulu juga begitu,’’ jawabnya dengan santai sambil memetik-metik senar gitar.

‘’Tapi sekarang nampaknya akan berbuntut panjang karena yang ditutup dengan portal adalah kawasan perumahan masyarakat yang ada di sekitar kompleks tersebut,’’ jelas saya membalik-balok majalah musiknya.

‘’Kok bisa. Bukannya rumah warga di situ lebih dulu ada daripada kompleks TNI AU. Malahan ada sekolah, masjid dan kantor lurah lagi,’’ tanya sang kawan lagi.

‘’Tak tahulah saya alasannya. Namun nampaknya bakal ada berita seru lagi. Dulu kan pernah juga ada konflik TNI AU dengan warga di sana soal pendirian rumah ibadah,’’ kata saya lagi.

‘’Agaknya perlu juga dibuat konser musik di dalam kompleks itu kayak dulu lagi. Dalam kondisi krisis global ini nampaknya butuh hiburan musik di sana. Jadi suasana agak cair dan fulus pun mengalir,’’ kata sang teman setengah bercanda sambil melihat-lihat isi dompetnya.***


Rabu, 29 Oktober 2008

Di balik layar Anugerah Sagang


Panitia pose bersama,
mana saya?


Trophi diarak ke tengah panggung


Prosesi Anugerah Sagang


Lenggak-lenggok di panggung


Pembawa acara nan memikat


Terpukau tarian


Malu, jangan di foto

Selalu Begitu….


“Lagi dimana, tolonglah ke bawah sebentar, dibelakang panggung. Tak ada orang yang mau ngangkat podium. Sebentar lagi acara dimulai….”

SUARA di telepon gengam itu terdengar nyaring dan nadanya sangat-sangat khawatir. Malam itu, dibalik kaca kamar lantai 10 Hotel Ibis Pekanbaru, saya mencoba melongokkan wajah melihat suasana di bawah. Di seputar kolam renang masih terlihat tamu sedang menikmati makan malam. Sementara di area parkir, antrean kendaraan sibuk mencari lokasi parkir mobil mereka dan nampak masih banyak tamu yang berjalan menuju ruangan aula. ‘’Ya, kami di kamar. Tunggu sebentar, kami akan ke sana,’’ ujar saya sambil mengemas-ngemas ratusan tas berisi buku-buku yang akan diserahkan nanti kepada tamu.

Begitulah, selalu begitu. Hampir di setiap acara budaya Anugerah Sagang yang setiap tahun rutin dilaksanakan Riau Pos, saya dan rekan se geng, Kadir, selalunya kebagian mengangkat podium. Padahal dalam daftar kepanitiaan, begitu banyak nama yang berbakat dan mempunyai keahlian angkat-mengangkat. Namun kami tidak mempermasalahkan hal tersebut dan hanya senyum-senyum saja.

Ya, begitulah, mengangkat podium di atas panggung yang dihadiri ratusan tamu memang tak membuat kami terbebani. Malah kami enjoy saja demi kesuksesan acara budaya nan bergengsi ini. Namun ada tak enaknya, kena sindir di rumah oleh istri, mertua atau teman-teman. Hal ini tak lain karena acara Anugerah Sagang ini disiarkan langsung oleh Riau Televisi dan disaksikan masyakarat Riau. “Eh, tadi papi masuk di tipi di acara Sagang. Cuma sebentar kok, lagi ngangkat podium,’’ ujar nyonya di rumah sambil terkekeh.

Atau olok-olokan lain dari teman-teman. ‘’Ah, katanya menjabat sebagai Koordinator Bagian Umum di Sagang, tapi kok kerjanya ngangkat podium,…” Namun biarlah, yang penting apa yang bisa dikerjakan, ya dikerjakan. Tak peduli jabatan di kantor atau di panitia apa, yang penting ya kami kerja saja. Karena bagian mengangkat podium, membawa papan cover buku untuk ditandatangani, memang setiap acara sagang selalu kami lakukan. Selain kegiatan bagi-membagi ratusan undangan untuk para budayawan, seniman, pejabat, kalangan wartawan, konsul asing, pihak bank, kalangan pengusaha hingga mahasiswa beberapa hari sebelumnya.

Malah seorang rekan yang setiap tahun menjadi “driver” tetap untuk mengantar undangan sempat mengatakan bahwa apa jadinya kalau kami mundur atau tak ikut dalam daftar kepanitiaan anugerah besar ini. Pasti yang mengantar undangan untuk tamu akan kerepotan sekali. Karena undangan tak dilengkapi alamat yang jelas dan hanya berupa nama tamu saja. Bisa-bisa undangan tak sampai-sampai. Tapi menurut saya, biasa saja, Cuma memang butuh tanya sana-sini dan perlu waktu panjang jika pengantar undangannya dilakukan orang lain. “Masa seorang koordinator liputan Riau Pos tugasnya mengantar undangan,’’ ejek yang lain kepada Kadir, rekan se geng.

Namun kerja keras itu pun akhirnya terbayar. Malam Anugerah Sagang ke-13 tahun 2008 ini bisa dibilang sukses. Ratusan tamu menempati aula Hotel Ibis dengan panggung berupa kipas yang dilengkapi tiga screen TV besar yang menyiarkan acara di televisi sekaligus sebagai penghias panggung. Bahkan kamera dengan berputar yang khusus untuk acara live di ruangan pun dipasang dalam gedung agar acara nampak lebih nyata di televisi.

Apa kerja kami selanjutnya selain ngangkat podium? Ya, itu tadi menurunkan 500 tas yang berisi 8 buku karya budayawan yang diterbitkan Yayasan Sagang. Dari kamar lantai 10, dengan troli hotel dibantu seorang room boy, kami pun bergotong royong melansir tas-tas tersebut ke belakang panggung. Saya lihat peluh bercucuran di pelipis sang room boy akibat turun naik membawa tas-tas tersebut. Perlu juga nampaknya jerih payahnya dihargai sedikit dengan materi, dan ia pun tersenyum bahagia saat melihat saya saat acara usai di meja resepsionis.

Namun disaat acara telah berakhir, ada sedikit kejadian yang membuat kami jengkel. Hingga kami pun dengan sangat terpaksa meninggalkan ruangan aula dan teman-teman lain guna mengisi perut yang keroncongan akibat belum makan malam. Dengan masih berpakaian ala Hang Tuah, kami pun menikmati makan malam di Cikapundung Pasar Sukaramai Jalan Sudirman. Kami lalu menghabiskan sisa malam di lain hotel. Sambil menikmati siraman air hangat di shower yang menyegarkan tubuh akibat keringat yang lengket di badan, segar……



Rabu, 20 Agustus 2008

akikah


My son, Rakha Rizqullah Syauqi


Menangis terharu


Potong rambut


Berdoa

Digendong tante jum


Grup rebana nenek Rakha beraksi


makanan akikah

Anak Mahal


SIAPA yang tak bahagia mempunyai anak. Orang yang bodoh dan terkutuklah yang tak mensyukuri karunia berupa anak yang telah diberikan oleh Allah SWT. Dulu sebelum mempunyai anak, saya selalu emosi jika melihat berita di televisi dan surat kabar ada orang tua yang dengan tega membuang bahkan membunuh anak mereka. Orang tua itu dalam pandangan saya telah berubah menjadi iblis dan setan yang berwujud manusia. Mengingat begitu banyak pasangan suami istri yang saat ini belum dikaruniai anak.

Di kantor saya saja, jika dihitung, ada sekitar kurang lebih delapan orang yang saat ini belum diberikan amanah memomong bayi. Ada yang telah kawin hampir sepuluh tahun, tapi nampaknya harus bersabar karena tak juga memperoleh sang buah hati. Bahkan banyak yang telah berobat kesana-kemari hingga ke luar negeri, tapi belum juga menampakkan hasil. Belum rezeki nampaknya. Memang memiliki anak merupakan misteri dan hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya.

Saya juga merasakan episode mendebarkan dalam memperoleh anak. Semua ujian saya hadapi dengan tabah. Namun saya yakin, jika tuhan berkehendak maka saya pasti akan mempunyai anak. Namun saya tak melulu hanya berharap dan berdoa, saya juga berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Tentunya dengan jalan berobat. Alhamdulliah, anak kami, Rakha, lahir dengan selamat. Kini tinggal bagaimana saya menjaga rahmat yang telah diberikan dan mempersiapkan yang terbaik bagi anak kami.

Sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW bahwa seorang anak jiwanya akan tergadai jika belum di akikahkan. Sebelumnya, istri saya sempat menyampaikan nazar bahwa jika anak kami lahir maka akan segera diakikahkan. Bahkan ia berkeras mengatakan kepada saya bahwa akikah tak akan sah jika tidak dilakukan sebelum bayi berumur 28 hari. Saya pun sempat mengatakan bahwa batalkan saja nazar itu, karena nanti akan berdosa jika tidak terlaksana. Mengingat bayi kami akan dilahirkan secara operasi caesar dan memerlukan biaya besar.

Namun Alhamdulliah, akhirnya acara akikah anak kami dapat terlaksana juga. Tepat enam bulan kelahirannya, 10 Agustus lalu, acara kami lakukan di rumah. Dua ekor kambing pun menjadi santapan para tamu. Karena tak ada yang bisa masak, maka semua masakan termasuk nasi dan kambingnya kami pesan saja di rumah makan. Menjelang masuk Zuhur, acara prosesi akikah pun dimulai. Doa-doa pun dibacakan ustad agar anak kami menjadi anak yang soleh dan dirahmati oleh Allah serta berguna bagi semuanya.

Guna memeriahkan acara, maka gurp rebana neneknya pun diundang guna memeriahkan suasana. Marhaban pun berkumandang saat dilakuakan acara potong rambutnya oleh kakek dan neneknya, kami para orang tua serta tetangga. Beruntung anak kami memiliki rambut yang lebat. Kalau tidak, bisa botak jadinya. Walaupun mengeluarkan biaya yang tak sedikit, namun kami merasa senang dan bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan.***


Kamis, 03 Juli 2008

ini politik bung



Kendaraan Politik

APA sebenarnya yang paling menarik di ranah Pilkada Riau akhir-akhir ini. Kalau kita mulai bicara masalah kendaraan politik menjelang Pilkada, pasti yang terbayang di kepala orang adalah partai politik. Karena partai politik menjadi idola dan diperebutkan untuk menjadi "perahu" saat pasangan calon bersepakat maju dan bersaing merebut kedudukan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Namun kali ini yang akan dibahas dan banyak membuat geli teman-teman saya adalah "kendaraan politik" para calon saat akan mendaftarkan diri maju ikut Pilkada ke KPU Riau, beberapa waktu lalu.

Memang ini masalah sepele, namun menjadi hal yang dibahas serius oleh teman-teman saya. Saya semula tidak begitu memperhatikannya, namun karena teman-teman membahasnya secara serius, saya pun jadi tertarik. ''Lucu saja rasanya saya melihat sang calon gubernur naik bajaj dan ojek motor atau bendi. Mungkin maksud hati ingin menarik hati rakyat, namun ternyata malah banyak yang tak simpatik,'' demikian ungkap salah seorang teman sambil menyeruput kopinya.

Ya, memang "kendaraan politik" yang dimaksudkan disini adalah angkutan yang digunakan pasangan calon saat mendaftar ke KPU Riau. Ada tiga pasangan calon gubernur dan wakil yang mendaftar ke KPU Riau, beberapa waktu lalu. Dua pasangan calon pada Senin lalu, usai melakukan deklarasi, bersama rombongan pendukung berangkat mendaftar ke KPU. Yang satu menaiki becak motor yang dihiasi rumbai-rumbai, secara beriringan melewati jalan protokol menuju Jalan Gajah Mada, dimana markas KPU berada. Pasangan kedua, walaupun terlihat ada bendi dengan kuda, namun nampaknya memutuskan berjalan kaki di tengah kemacetan kota di jalan protokol. Hari selanjutnya, pasangan calon lain memilih bajaj. Angkutan umum yang kini tergerus oleh lajunya transportasi modern ini, seakan menjadi raja sehari dalam arakan-arakan di jalan protokol.

''Tapi coba lihat beberapa hari setelah itu. Naik apa para calon ini berangkat ke RSUD dan RS Jiwa saat memeriksa kesehatan mereka. Naik mobil mewah, Camry, Land Cruiser, Innova atau
lainnya. Saya malah akan simpatik jika mereka naik mobil mewah ke KPUD dan naik kendaraan umum saat memeriksa kesehatan,'' kata sang teman yang lain lagi menyambung pembicaraan.
Wah, makin seru nampaknya "rapek mancik" di kantin ini. Saya pun dengan lugunya bertanya, apa tidak boleh menaiki angkutan umum saat mendaftar. Pertanyaan saya ini pun serentak dijawab oleh teman-teman dengan jawaban sama, "boleh".

''Tapi ini khan namanya pembodohan, seakan-akan mereka merasakan penderitaan rakyat. Tapi sebenarnya tindakan mereka itu malah melanggar aturan. Menaiki angkutan umum roda tiga dan bendi kuda, menurut aturan dilarang keras melewati jalan protokol di kota ini dan bisa ditangkap. Lalu, kenapa mereka-mereka ini tak ditangkap aparat kepolisian, Dishub ataupun mungkin Satpol PP yang terkenal garang tak menetu itu,'' kata sang kawan berkepala plontos ini menggebu-gebu, hingga air ludahnya pun mampir di kening saya.

"Betul itu, kenapa tidak naik sepeda saja kemarin. Sekalian mengkampanyekan program penghematan energi dan global warming. Itu baru aku dukung,'' kali ini rekan dari daerah utara ikut bersuara.

Saya pun ikut merenung dan mencoba meresapi kata rekan-rekan saya ini. Memang, saat genderang Pemilu atau Pilkada ditabuh, maka rakyat pun jadi jualan yang akan laku dimana-mana. Semua calon kalau ditanya program, pasti dan jelas yang paling utama adalah memperhatikan nasib rakyat. Terutama rakyat kecil, kaum marginal kota, tukang becak, petani miskin, nelayan, buruh dan segala yang kecil lainnya. Masyarakat pun lalu dihibur dengan orgen tunggal, penyanyi dangdut seronok, baju kaos gratis, pembagian sembako hingga fogging. Semuanya calon berebut-berebut berkunjung ke pasar-pasar tradisional, rumah-rumah warga dan tempat ibadah.

Hal ini terus terjadi dan berulang. Setelah semua berakhir, rakyat tetap seperti semula dengan kehidupan yang serba sulit. Minyak tanah langka, harga sembako melangit, ongkos angkutan umum yang naik, lapangan pekerjaan susah, biaya pendidikan mahal, pungutan liar PNS saat mengurus surat-menyurat tak juga reda, korupsi pejabat yang tetap marak, dan segala tetek bengek yang saat kampanye dijanjikan akan diberantas, masih tetap bercokol.

Lalu timbul pertanyaan, apa ada yang salah di balik semua ini? Uang rakyat ratusan miliar dari APBD untuk "pesta demokrasi" ini pun menguap bak air diteteskan di tengah padang pasir. Hasilnya hanya melanggengkan kekuasaan yang notabene banyak tidak berpihak kepada mayoritas nasib rakyat kecil yang katanya diperjuangkan. Yang kemudian terjadi hanya upaya menghabiskan kembali uang rakyat untuk biaya politik yang telah dikeluarkan untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Lalu setelah kekuasaan itu berakhir, jeruji besi pun menanti. Astaghfirullah.


Minggu, 29 Juni 2008

Berbagi Pengalaman










Bogor Sang Kota Hujan yang Kini Beribu Angkot

Gemercik air mulai menghiasi kolam tanpa ikan. Tanpa adanya pertanda awan gelap, air mulai menetes perlahan-lahan. Saya berdiri di pojok lorong hotel menatap gerimis yang mengguyuri Kota Hujan ini. Rasa suntuk seharian di dalam ruangan pertemuan mulai hilang ketika mendengar suara hujan yang khas tersebut.

SAYA memang baru kali ini betul-betul merasakan berkunjung ke Kota Bogor. Sebetulnya, dulu sekali ketika berumur tiga atau empat tahun saya pernah berwisata kesini bersama kedua orang tua. Saya tak ingat betul detail saat itu. Cuma saya bisa melihatnya dari foto-foto di album keluarga dimana saya bergaya layaknya bocah lugu di pintu pagar depan istana Bogor. Saya lihat di foto itu jalanan basah, mungkin lagi gerimis karena rambut saya juga terlihat basah kena air.

Maklum masih kecil, jadi saya betul-betul tidak ingat memori berkunjung ke Kota Hujan itu. Menurut ortu saya, kami sekeluarga ketika itu berwisata ke Jakarta dan menyempatkan untuk datang ke Kota Bogor. Kini, saya berada telah berada di Kota Bogor. Walaupun tempat saya menginap di Hotel Novotel Bogor yang berada di pinggiran kota tersebut, namun saya bisa merasakan udara Kota Hujan ini.

Dengan menaiki bus wisata, kami dengan rombongan berangkat dari gedung Patra Jasa Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB. Di gedung ini, acara pelatihan Jurnalis Migas yang pesertanya dari Riau, Kalimantan Timur dan Jakarta, dibuka secara resmi oleh Kepala BP Migas R Priyono dan Presiden Direktur Chevron. Selanjutnya, rombongan wartawan pun beranjak ke tempat acara di Bogor. Berhubung hari Jumat, maka rombongan langsung berangkat mengingat Salat Jumat. Tak ada yang hal menarik selama dalam perjalan dari Jakarta menuju Kota Bogor. Karena lelah, sepanjang jalan saya pun tertidur lelap.

Sebetulnya, ada waktu satu hari yang bisa saya gunakan untuk istirahat di Hotel Sari Pan Pasifik Jakarta, saat datang dari Pekanbaru. Sebelumnya, saya berangkat menaiki pesawat Garuda pagi bersama dua rekan wartawan lain dan didampingi humas Chevron. Tiba di Jakarta sekitar pukul 11.00 WIB. Setelah check in di hotel Sari Pan dan merebahkan tubuh barang sejenak, saya pun mengajak kawan-kawan untuk makan siang.

Letak hotel Sari Pan memang berada di tengah kota. Di belakang hotel terdapat jalan Sabang yang kiri-kanannya dipenuhi tempat makanan berbagai jenis. Takut dengan makanan yang aneh-aneh, saya mengajak kawan-kawan makan di rumah makan Minang saja. Maklum sudah familiar dengan rasanya. Apalagi rendang di rumah makan ini enak sekali.

Sayang rasanya jika waktu yang selama sehari tersebut saya habiskan hanya di hotel, maka kami pun bergerak untuk menyusuri Kota Jakarta. Semula rencananya akan ke Mangga Dua, namun akhirnya berubah ke Glodok, pusat elektronik yang kabarnya terbesar dengan harga murah. Saya tak ada rencana untuk membeli barang-barang elektronik di tempat ini dan hanya ingin membeli beberapa keping DVD bajakan yang disini harganya sangat murah dibanding Pekanbaru, hanya Rp5.000 perkeping. Saya berencana akan memborong DVD band koleksi saya yang dulu banyak hilang akibat tidak dikembalikan teman yang meminjam. DVD konser Smashing Pumpkins, Pearl Jam atau Offspring yang susah diperoleh dapat saya temui disini.

Saat memasuki sebuah toko guna menemani humas Chevron yang berniat membeli MP4, malah saya yang tertarik untuk berbelanja. Sebuah digital camera lengkap dengan alat perekam video, pemutar musik, game dan aplikasi lainnya, membuat saya tak tahan untuk membelinya. Apalagi kamera digital merek Samsung saya rusak karena jatuh saat pulang dari Bandung beberapa waktu lalu. Akhirnya setelah ditawar-tawar, barang ini pun menjadi milik saya.

Malamnya, tak ada kegiatan berarti yang dilakukan. Sebenarnya saya ingin berjalan-jalan karena saya orang yang tak betah berlama-lama di dalam kamar hotel. Rasanya sayang telah jauh-jauh datang, hanya untuk tiduran di hotel. Tapi nampaknya kawan-kawan seperjalanan ini tidak satu ide dengan saya. Ya, akhirnya hanya duduk-duduk di lobi hotel sambil menikmati hiburan musik. Lalu masuk ke kamar dan tidur cepat, mengingat pagi sekali harus bangun karena acara dimulai pukul 08.00 WIB. Saya pun meminta pihak hotel membangunkan pada pukul 05.30 WIB karena saya susah sekali bangun pagi.

Setelah sarapan di hotel, kami langsung check out dan langsung membawa tas karena akan mengikuti acara di Bogor dan menginap di Novotel. Kami pun mengenakan batik karena menurut humas Chevron, peserta harus berpakaian batik. Sesampainya di Patra Jasa, tempat acara dilakukan, ternyata yang berpakaian batik malah para panitia. Para peserta lain berpakaian bebas. Maka kami pun disangka panitia oleh rakan-rekan wartawan. Termasuk saat peserta naik bus untk berangkat ke Bogor, Sang supir bertanya kepada saya apa sudah bisa berangkat atau tidak, karena dianggap saya sebagai kepala rombongan.

Sepanjang jalan, nampaknya tidur lebih menarik. Walaupun duduk di bangku paling depan, pemadangan sepanjang jalan membuat saya mengantuk. Tak lama, bus pun sampai ke lokasi hotel. Sebuah hotel dengan konsep alam yang unik. Dipenuhi taman dan lorong-lorong, berkonsep bangunan rumah adat di Kalimantan dengan dominan kayu. Berada di kompleks perumahan elit dan lapangan golf, jauh dari kesan hiruk pikuk kota. Mungkin panitia sengaja memilih lokasi ini agar para peserta dapat mengikuti seluruh jadwal acara tanpa bisa bolos. Bagaimana mau bolos, tak ada transportasi umum keluar dari lokasi ini, kecuali dengan kendaraan pribadi.

Kami pun menyempatkan makan siang sebentar sebelum menunaikan Salat Jumat. Usai salat, ternyata kami harus bersabar menunggu, karena kamar banyak yang dibuka. Kelihatan banyak kawan-kawan yang kecewa dan tertidur di kursi karena kelelahan akibat perjalanan jauh. Banyak juga yang protes karena menunggu lama. Akhirnya kami pun memperoleh kunci kamar dan beristrirahat sejenak di kamar.

Karena kelelahan, kami sempat tertidur di kamar dan terlambat mengikuti pelatihan. Tak perlu saya ceritakan disini apa isi pelatihan. Namun pelatihan ini walaupun bersifat sangat teknis membahas masalah seputar dunia perminyakan termasuk masalah bagi hasil, sangat bermanfat menambah ilmu. Hampir sepanjang hari saya terpaku duduk di urutan depan mencoba menyimak pemaparan para pemateri.

Memang suntuk juga, apalagi tanpa acara jeda. Untung, saya punya teman di Bogor ini. Seorang teman yang juga bekerja di bidang perminyakan. Sebelumnya saya sempat kontak-kontak dengannya dan ia berjanji pada malam hari akan menjemput saya dan mengajak keliling Bogor. Sesuai dengan janji ia datang, dan saya mengajak dua kawan dari Pekanbaru untuk ikut serta. Kasihan jika mereka hanya tidur-tidur saja di kamar hotel.

Semula, teman tersebut membawa keliling Kota Bogor. Mulai Tugu Kujang dan berakhir di Tugu Kujang karena mengitari Kebun Raya Bogor yang di lokasi itu terdapat istana Bogor. Tak ada yang menarik dilihat malam hari di kota ini. Saya membayangkan Kota Bogor hampir sama halnya dengan Kota Bukittinggi di malam hari. Menurut teman saya, kini Bogor telah bertambah namanya dari Kota Hujan menjadi Kota Seribu Angkot. Menurutnya, jika pagi hari, maka jalanan akan macet akibat dipenuhi angkot yang ngetem seenaknya.

Puas berkeliling, sang teman pun mengajak ke Puncak. Jarum jam telah menunjukkan pukul 10.30 WIB, tapi ajakan teman tersebut tak saya tampik. Biarlah terlambat besok pagi bangun mengikuti acara, kapan lagi melihat pemandangan di Puncak pada malam hari. Mobil sang teman pun melaju di jalanan menanjak tersebut. Sepanjang jalan menuju puncak, selalu terlihat warga dengan memgang senter menawarkan vila. ‘’Vila, vila mas,’’ katanya sambil menyorotkan lampu senter di tangan kepada mobil kami.

Ketika hampir sampai ke puncak yang ditandai dengan keberadaan rumah makan Rindu Alam, sang teman menyuruh kami membuka jendela untuk merasakan sejuknya udara Puncak malam hari. Ya, hampir sama dingin dengan AC mobil. Kami pun mampir sebentar di pelataran parkir Rindu Alam sekedar melihat pemandangan kota-kota yang ada di bawah. Saat berada di luar mobil, baru terasa badan menggigil disapu angin puncak. Tak tahan dingin, saya pun membeli sweater yang dijajakan pedagang yang berada di sekitar lokasi tersebut.

Usai berehat sejenak, kami pun mencari kedai yang strategis untuk menikmati teh hangat dan mie rebus. Sebuah kedai dengan pemandangan lepas melihat kerlap-kerlip lampu-lampu Kota Bogor, menjadi pilihan kami bersantai sejenak. Sebuah pemandangan yang indah, namun sayang tak dapat saya abadikan karena lupa membawa kamera. Ditemani pengamen jalanan, suasana dinihari di puncak pun makin membuat kami betah duduk berlama-lama. Mungkin suatu waktu nanti saya akan membawa istri dan anak semata wayang saya untuk berwisata ke sini.

Paginya, untung saya tak telat datang ke ruangan acara. Sampai di hotel pada pukul 2.30 WIB, membuat saya harus menyetel alarm HP. Paginya, saya bisa bangun dengan segar walau tidur hanya beberapa jam. Beruntung acara setengah hari, dan siangnya usai acara secara resmi ditutup, kami pun bertolak ke Jakarta. Saya gunakan kesempatan sepanjang perjalanan ini untuk membalas tidur yang kurang tadi malam.

Hotel Sari Pan Pasifik kembali menjadi pilihan untuk tempat menginap. Saya punya waktu sepanjang malam dan setengah hari bebas. Karena besok sore sekitar pukul 15.00 WIB saya akan bertolak dari Soekarno/Hatta kembali ke Sultan Syarif Kasim II. Sampai di hotel saya langusng masuk kamar dan meletakkan tas, langsung cabut ke Hotel Dusit. Disana telah menunggu bos kantor saya. Ia yang dari sebuah acara di Banjarmasin, sengaja menunggu saya di Jakarta. Kami pun berkeliling menikmati Kota Jakarta di malam hari. Tak banyak sebenarnya yang berubah dari Kota Jakarta, sebuah kota yang tak pernah mati, walaupun hingga dini hari masih tetap ramai.

Besoknya, saya menyempatkan diri mengunjungi paman istri yang sedang sakit di rumahnya kawasan Tanah Abang. Pulang dari rumahnya, waktu hampir kasip. Saya mesti check out dari hotel pukul 13.00 WIB. Sementara pesanan istri agar dibelikan baju untuk Rakha dan dirinya belum saya penuhi. Maka untk lebih ringkas saya pun berbelanja di Sarinah saja, dekat dengan hotel dan tinggal jalan kaki. Walaupun harganya lebih mahal dibanding Pasar Tanah Abang atau Mangga Dua, tapi biarlah. Kapan lagi beli baju mahal untuk istri dan anak.

Akhirnya, pesawat Garuda yang saya naiki dari Jakarta, menjejakkan kaki di runway bandara SultanSyarif Kasim Pekanbaru. Walau hanya beberapa hari, saya merasa telah lama meninggalkan rumah. Rindu rasanya ingin bertemu Rakha. Memang rasa rindu terhadap anak ternyata mengalahkan rasa rindu terhadap istri….***







Kamis, 26 Juni 2008

Masih Tetap Garang


aksi bagus dan Coki di purna MTQ Pekanbaru


Meloncat, selalu mewarnai aksi panggung


Duet bas dan gitar

Ketemu Idola
*Netral Sampai Mati

Semula, tak ada niat atau bayangan saya akan bertemu Netral, grup band idola saya. Saya mempunyai koleksi lengkap album grup band ini sejak dari album pertama hingga terakhir. Bahkan lagu-lagu Netral menjadi lagu wajib yang saya bawakan bersama “bobo in the corner”, (band yang saya bentuk bersama kawan-kawan saat duduk di bangku kuliah). Lagu “Tiga Dini Hari” dari album pertama Netral telah sukses membawa kami menjadi band festival saat kuliah dulu.


TELAH lama saya mendambakan melihat langsung konser Netral. Beberapa kali Netral ke Pekanbaru, namun saya baru tahu setelah beberapa hari konser mereka berlangsung. Saat tahu Netral akan konser pada Kamis (26/2) malam di purna MTQ, saya berniat menonton. Walaupun saya kerja masuk malam, namun saya tinggalkan dulu untuk melihat konser band alternatif terakhir di negeri ini.

‘’Hei brur, Netral main Kamis malam,’’ begitu suara Dang, teman dekat saya yang dulu gitaris Bobo ketika menghubungi HP saya. Ternyata saya kalah cepat menghubunginya untuk nonton bareng.

Akhirnya pada Kamis malam, kami pun berangkat ke purna MTQ. Saat sampai, kami kaget melihat antrean panjang memasuki gerbang purna MTQ. Alamak, bisa dua jam ngantre baru bisa masuk nih. Saya pun mencari akal dan memutuskan parkir di Hotel Sahid yang tak jauh dari lokasi konser. Lalu dengan berjalan kaki kami melewati ratusan motor dan mobil yang berdesakan di pintu masuk. Saat masuk ke dalam, yang telihat di panggung baru acara seremoni sponsor dari perusahaan rokok gudang garam yang merayakan ulang tahun ke-50. Ribuan penonton sudah membludak dan kami hanya kebagian menonton di belakang.

Hampir satu jam menunggu, sang idola belum juga muncul di panggung. Selain Netral, panggung juga akan diisi ST12. Penonton sudah gelisah karena tak ada juga tanda-tanda kemunculan di atas panggung. Beruntung MC yang dibawakan Facri Smekot dan Lina bisa membuat sabar penonton menunggu dengan lelucon mereka. Semula saya duga yang akan tampil pertama adalah ST12, karena band ini beraliran menye-menye dan disukai semua orang. Beda dengan Netral yang mengusung kekerasan. Jika Netral tampil terakhir, saya pasti tidak akan selesai menonton, dan bisa mungkin batal menonton. Mengingat begitu lama kantor saya tinggalkan, sementara deadline cetak,tak bisa ditawar.

Namun entah alasan apa, ternyata yang muncul awal malah Netral. Dimulai dengan musik intro, Bagus (bas/vokal), En0 (drum) dan Coki (gitar) berhasil membuat penonton bergeliat. Lagu Super Ego, pun digeber dan membuat penonton di barisan depan bergelinjang dan debu tipis pun beterbangan. Lagu-lagu lain dari album kancut, seperti I Love You, Sorry serta dari album 9th seperti Cinta Gila dan beberapa lagu lain seperti Nurani dan Cahaya Bulan membuat suasana makin panas. Hal ini membuat penonton berteriak-teriak, “air, air, air”. Hal ini memaksa Bagus meminta petugas mobil pemadam kebakaran untuk menyeporkan air ke penonton. Kontan saja semburan air berhasil meredakan suasana panas di penonton barisan depan.

Saat membawakan lagu, Bagus bahkan mengambil topi salah seorang penonton dan memakainya saat tampil di panggung. Hentakan drum Eno yang bertubi-tubi dan full energy, nampaknya memaksa ia menanggalkan baju kaus kutung putihnya. Dari layar scren di sisi pangung terlihat keringat mengucur deras di badannya. Memang bermain drum dengan energi prima seperti itu jelas menguras tenaga. Ditambah lagi Bagus dengan mengacungkan gitar basnya ke atas saat asyik masyuk dengan lagu yang ia bawa. Kadang-kadang ia meloncat bersama Coki yang juga tampil powerful dengan suara gitarnya yang meraung. Walaupun tampil bertiga, namun sound yang mereka hasilnya berhasil memekakkan telingan penonton hingga barisan belakang.

Konser Netral pada malam itu terpaksa diakhiri dengan lagu Pertempuran Hati yang diambil dari album 9th. Penonton pun ikut bernyanyi bersama-sama dengan mengacungkan tangan ke angkasa. Seakan-akan mereka tak rela malam itu konser Netral akan berakhir.

Kami pun usai Netral turun panggung, langsung cabut dari lokasi. Pukul 11.30 WIB, saya melirik jam di tangan kanan. Sudah saatnya balik ke kanntor dan mengecek halaman koran yang dikerjakan para redaktur. Dengan kembali berjalan kaki, Saya dan Dang pun berusaha keluar dari kerumunan orang dan motor kembali ke Hotel Sahid, tempat kendaraan kami diparkir.
Tak dinyana tak disangka, saat sampai di lobi hotel, secara tak sengaja mata saya tertumbuk dengan sebuah mobil yang baru sampai dan terlihat kepala plontos Bagus keluar dari kendaraan tersebut. ‘’Eh, itu Bagus Dang, ayo kita ke sana,’’ kata saya. Dengan setengah berlari saya pun menghampiri Bagus dan menyalaminya dengan erat.

‘’Sukses, konsernya mantap,’’ kata saya.
‘’Terima kasih, tadi nonton ya,’’ kata Bagus
‘’Iya lah, Netral khan idola saya”
‘’Tapi masih ada band lain yang tampil tuh, tak nonton”
“Saya cuma nonton Netral,’’ kata saya.

Saya pun lalu menyalami Eno yang masih bertelanjang dada dan Coki yang masih tetap kalem. Dadang pun menyampaikan kepada Bagus bahwa saya adalah pengoleksi lengkap album Netral. Saya menyampaikan bahwa ada satu album Netral yang tak saya punyai, yaitu album black yang diedarkan terbatas.

‘’Eh, kalau tak salah ada tuh sama Puput. Adakan Put CDnya,’’ kata Bagus kepada managernya Puput.
‘’Ya, ada nih,’’ kata Puput sambil memabawa travel bagnya.
‘’Tak mau foto bareng, sini saya ambilkan,’’ katanya lagi sambil melihat HP saya.
‘’HP Nokia saya tak ada kameranya,’’ jawab saya sambil mengikuti Puput menuju kursi di lobi hotel.

Puput membuka tasnya, dan mengeluarkan satu CD black Netral. ‘’Ada nih, CD sekaligus DVD konser,’’ ia mengulurkannya ke tangan saya. Dadang pun meminta satu lagi. Namun Puput mengatakan bahwa CD dan DVD tersebut merupakan merchandise yang dijual. Kami pun menyanggupinya.

Tak lama kemudian Bagus, Coki dan Eno menyusul. Eno sibuk melihat-lihat kamera digital yang menjepret penampilan mereka tadi. Sementara Bagus dan Coki sibuk membahas aksi penampilan mereka.

“Gimana penampilan kami tadi, ada yang kurang,’’ tanyanya.
‘’Ya, suara bas Bagus tadi kurang keluar,’’ kata saya.
‘’Coki juga tadi ada sedikit meleset main gitarnya,’’ kata Dadang lagi memberi masukan.
‘’Oh, begitu ya. Khan betul apa tadi gue bilang,’’ kata Coki kepada Bagus.
Saya pun menanyakan apa kabar anaknya kepada Bagus dan dijawabnya dengan senyum. ‘’Capek betu tadi, saya sekarang saya masih ngos-ngosan dan masih mencoba mengambil napas,’’ katanya sambil selonjor di kursi.

Puput sang manager kemudian menawarkan kembali foto bersama dengan kamera digitalnya. ‘’Tolong smskan emailnya ke HP saya, nanti saya kirim,’’ ujarnya kepada saya.
Akhirnya saya dan Dang pun berpose bersama artis idola saya yang tak pernah mati ide ini. Tak cukup satu jepretan Puput mengambilnya hingga tiga kali.

‘’Kapan pulang ke Jakarta,’’ kata saya.
‘’Besok pagi jam lima berangkat dari Hotel. Pesawatnya berangkat pukul 7,’’ jawabnya.
Bagus pun kemudian pamit ke kamar kepada kami sambil menyalami erat tangan saya.
‘’Sukses selalu, saya tunggu albumnya yang kesepuluh,’ kata saya.
‘’Terima kasih, doakan ya,’’ katanya. Rombongan pun masuk ke lorong hotel menuju kamar masing-masing.

Setelah berbincang sebentar dengan Puput kami akhirnya juga pamit.
‘’Tak disangka, saya hampir kehilangan kata-kata,’’ Dang kepada saya saat kami hampir sampai di parkiran.***

nb: foto-foto dari fotografer Riau Pos, Said Mufti....






Jumat, 16 Mei 2008

Memang Menyedihkan


Terus mengangguk sejak tahun 1942


Untuk siapa minyak ini ditampung?


Beli bensin kini wajib antre


Kembali ke zaman PKI


Demi setetes minyak tanah


Jerigen pun ikut antre


Makin Banyaklah Masyarakat yang Menderita


KALI ini kembali janji usang itu terlupakan. Masih terngiang di dalam benak masyarakat terhadap janji pemerintah yang dengan tekad bajanya menyatakan tidak akan menaikkan lagi harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Setelah sebelumnya warga hampir
semaput dengan kenaikan drastis BBM yang nilainya disamakan dengan harga luar negeri. Walaupun ketika itu banyak yang protes, namun akhirnya bisa pasrah menerima nasib.

Dampaknya pun bisa diduga. Di berbagai pelosok tanah air bermunculanlah kasus busung lapar. Meningkatnya jumlah orang gila, bunuh diri hingga membunuh anak sendiri karena tak tahan dengan himpitan ekonomi yang terus mendera. Namun pemerintah tanpa merasa bersalah, saat itu menyatakan bahwa kenaikan BBM memang harus dilakukan dengan alasan klasiknya. Yakni subsidi BBM yang besar membuat banyak penyelundupan minyak ke luar negeri, subsidi yang hanya dinikmati oleh orang kaya serta janji subsidi BBM dialihkan untuk masyarakat miskin dan kegiatan lain seperti untuk pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

Hal ini pun membuat sesak kantor-kantor pos yang berada di seluruh Indonesia. Warga miskin dan yang berpura-pura miskin antre mengambil uang tunai. Malah banyak yang pingsan dan hampir mati akibat antre mengambil uang sebesar seratus ribu satu bulan tersebut.

Apakah cita-cita pemerintah yang mulia untuk warga miskin ini tercapai? Nampaknya jauh panggang daripada api. Kondisinya malah makin kacau-balau. Kehidupan masyarakat terlihat seperti kembali di zaman komunis. Dimana terjadi antre hanya untuk membeli sejer¬igen minyak tanah, antre mendapatkan satu tabung gas elpiji, antre untuk satu liter minyak goreng dan berbagai antre lainnya.

Sejak subsidi BBM dibeda-bedakan antara umum dan bukan umum, maka sejak itulah kesulitan lain membuat warga menderita.

Sebenarnya kalau hitung-hitungan bodoh, orang kaya dan pemilik industri kan warga negara Indonesia juga. Kalau sekiranya mereka kalangan industri dikenakan harga khusus untuk BBM, bagi mereka tak ada masalah. Tinggal menaikkan harga jual produk mereka, selesai perkara. Imbasnya, tentu masyarakat indonesia yang kebanyakan masih miskin.

Disamping sebagaimana kita ketahui bersama, pengawasan dari pemerintah di negara ini tidak maksimal. Wajar saja banyak terja¬di penyelundupan dan pengoplosan minyak bersubsidi. Dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pun menguap seiring makin merangseknya harga sembako di pasaran.

Kini, pemerintah nampaknya akan mengulangi hal yang sama. Alasannya adalah makin bengkaknya subsidi BBM di APBN seiring meroketnya harga minyak dunia. Para ahli pemerintahan dan ekonom serta pengamat lainnya mengatakan bahwa jika tidak dinaikkan harga BBM maka pemerintah akan kehabisan uang di APBN dan negara akan bangkrut.

Suatu alasan yang masuk akal memang. Namun bagi yang kritis tentu akan mempertanyakan, apa betul prediksi tersebut. Mengingat Indonesia adalah negara pengimpor minyak, walaupun lifting min¬tyak dalam kisaran 900 ribu barel perhari. Apakah tidak ada keun¬tungan besar yang didapat akibat naiknya harga minyak dunia. Mengapa hanya kerugian saja yang dihitung, beberkan juga berapa keuntungan yang diperoleh. Maka dengan keuntungan itu, mungkin bisa menombok besaran subsidi.

Masyarakat kini tak ingin lagi dibuai janji. Yang mereka inginkan sembako murah, rakyat sudah lapar. Jangan sampai membuat mereka mati kelaparan dengan naiknya harga BBM. Bagaimana caran¬ya, ya itu tugas pemerintah memikirkan. Jangan sampai BBM membuat banyak masyarakat menderita***