Minggu, 23 Maret 2008

belanja....


Mari singgah...




Terpana diskon...



Dipilih-pilih....




Pasar Bawah yang selalu dicari para wisatawan



Pasar Pusat yang berubah jadi Plaza Sukaramai



Plaza Citra yang kerap dinamakan matahari, masih tampil prima



Mal Pekanbaru berkilau di kala malam



Mal Ska dengan hiasan air mancur



Pancaran sinar lampu Mal Ciputra Seraya saat senja menjelang



Wisata Pekanbaru, Ya Belanja

Seorang bocah berteriak kegirangan ketika turun dari bus carteran saat sampai di Mal Ska Pekanbaru. Ia seakan tak sabar masuk ke dalam pusat perbelanjaan yang saat itu lagi ramai-ramainya. Sang ibu yang memegangnya pun, terpaksa setengah berlari mengikuti si bocah.

SEAKAN tidak peduli dengan ramainya kendaraan dan lalu lalang manusia, bocah itu lalu lari dan melepaskan diri dari pegangan ibunya. Maka terpaksalah saudara-saudaranya yang lain mengejarnya agar tidak hilang di tengah ramainya warga yang hilir mudik membawa tentengan.

Begitulah salah satu pemandangan yang terlihat di Kota Pekan­baru saat ini. Jika hari libur tiba, maka Kota Bertuah ini pun akan diramaikan oleh warga dari daerah sekitarnya. Hotel-hotel kecil yang berada di pusat keramaian bisa penuh oleh tamu. Angku­tan kota yang biasanya berebut penumpang saat hari biasa, mungkin bisa lebih santai pada hari libur karena hampir setiap saat kendaraan mereka penuh membawa "sewa".

Kalau dilihat secara kasat mata, mungkin warga Pekanbaru sendiri heran melihat kota mereka ramai didatangi warga dari daerah lain. Apa sebenarnya yang dicari? Karena untuk urusan wisata, Pekanbaru bisa dikatakan tergolong miskin dengan keinda­han alam dan tempat-tempat sejuk lainnya yang bisa membuat santai keluarga. Ditambah lagi dengan kemacetan yang selalu melanda jalan-jalan protokol kota pada jam-jam sibuk serta tingkah laku angkutan kota yang membuat "muak" para pengendara.

Memang ada kawasan yang dikhususkan Pemerintah Kota Pekanbaru untuk tempat wisata alam seperti kawasan Danau Buatan. Namun saat ini kawasan tersebut terkesan tak terurus dan makin hari minat orang berkunjung ke sana pun makin berkurang. Ditambah lagi tidak ada sesuatu hal yang baru dan menarik lagi sehingga membuat daerah tersebut kian tidak diminati. Ada juga tempat wisata alam dan tempat memancing yang dikelola pihak swasta. Walaupun lebih banyak dikunjungi warga kota, namun untuk warga luar daerah nampaknya lokasi tersebut bukan menjadi tempat tujuan favorit.

Lalu apa yang membuat warga luar daerah mendatangi Ibu Kota Provinsi Riau ini? Belanja lah jawabannya. Seperti yang diungkap­kan oleh Rini dan Jum, dua ABG asal Kota Duri ini. Setiap berkun­jung ke Pekanbaru, haram hukumnya kalau mereka tidak mengunjungi mal dan plaza yang bertebaran di kota ini. ''Di tempat kami tak ada plaza. Jadi kalau mau beli pakaian keluaran terbaru, terpaksa harus ke Pekanbaru. Ditambah lagi, banyak diskon, jadi murah-murah,'' ungkap mereka polos.

Hal yang sama juga diungkap ibu Isau yang datang dari Bangki­nang dengan membawa rombongan dengan mobil carteran. Menurutnya, selain belanja, ia bisa cuci mata dan membawa anaknya menikmati permainan yang ada. ''Tompek kami ndak ado yang coiko do,'' ungkapnya saat ditemui sedang menikmati santap siang dari rantang yang sengaja mereka bawa dari rumah.

Memang sebagai kota yang berada di tengah pulau Sumatera, Pekanbaru memiliki lokasi yang strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru. Hal ini membuatnya sebagai lintasan yang ramai dilewati. Ditambah lagi sejak tahun 90-an ke atas, berbagai tempat perbelanjaan baru mulai menjamur. Diawali dengan Plaza Senapelan sekitar tahun 1991, diikuti dengan dibukanya Plaza Citra tahun 1995 membuat Pekanbaru tumbuh menjadi lokasi berbe­lanja baru. Kemudian diiringi dengan perehaban Pasar Pusat yang dirubah menjadi Plaza Sukaramai, pembukaan Mal Pekanbaru di tengah-tengah kota serta Mal Ska yang berada di perempatan jalan lintas, hingga Mal Ciputra Seraya yang paling bontot. Dan kini yang mulai banyak diisi pedagang adalah Pasar Senapelan yang baru saja direhab pemerintah kota.

Namun satu tempat belanja favorit kaum berduit yang tidak bisa dilupakan adalah Pasar Wisata Pasar Bawah. Tempat perbelan­jaan barang-barang bermerek asal luar negeri ini menjadi langga­nan tetap pembeli dari luar daerah yang agak sedikit berkantong tebal. Berbagai barang bermerek dengan harga miring bisa dipero­leh di sini. Keramik, karpet, hiasan dinding serta perabotan rumah unik bertebaran di pasar ini.

Dengan memiliki mal dan plaza yang banyak tersebut, Pekanbaru memang layak disebut surga belanja baru di tengah pulau Sumatera. Peluang-peluang bisnis pun membuat para pedagang berdatangan menjajakan barang-barang baru di kota ini. Seperti halnya dimana ada gula disana pasti akan berdatangan semut, maka dimana banyak barang baru dijajakan, maka pembeli pun akan ramai menyambangi.

Beberapa warga kota sendiri sempat pesimis melihat banyaknya bertaburan pusat perbelanjaan yang akan diprediksikan akan len­gang. Namun seiring berjalannya waktu, lokasi perbelanjaan terse­but malah tak pernah sepi. Pengunjung bahkan membludak di saat akhir pekan atau tanggal merah.

Malah banyak warga luar yang datang pada hari-hari khusus seperti menjelang Hari Raya Idul Fitri, Natal atau Imlek. Karena pada momen tersebut maka perang diskon pun akan ditabuh oleh setiap tempat perbelanjaan untuk menarik minat pembeli. Mereka sengaja memperpanjang waktu tutup hingga tengah malam seperti menjelang Hari Raya Idul melihat membludaknya pembeli.

Maka kini tak heran jika Pekanbaru disebut sebagai lokasi wisata belanja baru. Surga bagi kaum hawa yang selalu haus dengan barang-barang baru. Tak juga haram bagi para kaum Adam yang banyak datang sendirian sekedar hanya cuci mata.

Namun belajar dari negeri jiran, guna lebih menarik banyak warga datang, sudah saatnya Pemerintah Kota Pekanbaru membuat konsep dan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan diri menjadi surga belanja tersebut. Seperti menjual wisata belanja dengan diskon spesial ke luar daerah. Sebagaimana yang dilakukan Singapura dengan Singapura Uniqely-nya. Jangan malah membuat suasana makin tak kondusif hanya untuk mengejar PAD tak seberapa dengan senjata SITU.***






Rabu, 19 Maret 2008

Begitulah



Agresivitas Satpol PP

BERITA tak sedap itu kembali menjadi sajian untuk khalayak ramai. Tudingan bertubi-tubi kini membahana menyoroti kinerja Satuan Polisi Pamongpraja, khususnya di Pemerintahan Kota Pekanbaru. Berbagai macam kekesalan tampaknya mulai ditumpahkan oleh para pengusaha, pedagang, warga dan juga loper koran terhadap tindakan penertiban yang dilakukan "polisi sipil" ini. Nampaknya kekesalan mulai memuncak akibat mereka kerap dijadikan objek oleh para anggota Satpol PP yang kadang-kadang sering diindentikkan dengan istilah "oknum".

Sebenarnya beberapa berita tak sedap menyangkut institusi Satpol PP pernah menghiasi halaman media-media lokal sebelumnya. Mulai dari perekrutan tenaga yang dipungut bayaran uang tertentu, ditangkap polisi karena bermain judi, penikaman warga, anggota bunuh diri, hingga pungutan-pungutan tak resmi lainnya terhadap warga dan barang yang ditahan, termasuk pungutan di lokalisasi Teleju. Namun semua hal ini terlihat tidak diselesaikan secara tuntas oleh pihak terkait. Sehingga masalah yang sama terus berulang seiring berjalannya waktu. Ada apa sebenarnya dengan Satpol PP?

Dulu, Satpol PP dikenal dengan nama Tibum. Kerjanya, seperti yang sering terlihat, adalah menertibkan para pedagang. Hingga tak jarang hingga kini masih banyak para pedagang menyebut Satpol PP dengan nama Tibum. Hingga instansi ini menjadi momok tersen¬diri bagi para pedagang di pasar-pasar tradisional. Memang, salah satu kerja Satpol PP adalah menertibkan para pedagang yang ber¬jualan tidak pada tempatnya seperti di badan jalan, trotoar, parit dan kawasan hijau. Tapi yang pasti, Satpol PP bertugas sebagai pengawal Peraturan Daerah (Perda).

Namun kini, khususnya di Kota Pekanbaru, Satpol PP-nya kera¬jinan. Tak hanya pedagang yang disikat, namun juga sudah merambah ke razia KTP warga. Termasuk juga merazia karangan bunga, meja biliar, menghancurkan bangunan tanpa IMB hingga mendatangi lokasi pelacuran. Bahkan yang selalu menjadi tempat favorit didatangi Satpol PP untuk menjadi lokasi razia adalah perumahan Jondul. Bisa dikatakan, setiap ada pemberitaan razia wanita-wanita nakal, Jondul selalu menjadi tempat yang selalu mendapat kunjungan mereka.

Memang tak ada yang salah jika Satpol PP serius menjalankan tugasnya sebagai pengawal Perda. Malah jika konsekuen menjalankan tugasnya tanpa adanya "hidden agenda", warga kota akan bangga sekali dan memberikan penghargaan. Namun yang terjadi di lapan¬gan, operasi yang dilakukan tergolong "tebang pilih". Contohnya, jika melakukan razia karangan bunga, nampaknya Satpol akan ber¬tindak tegas. Seperti yang terlihat kemarin, banyak puluhan karangan bunga yang berisi ucapan untuk sebuah bank swasta dia¬ngkut dan menumpuk di kantor mereka. Sementara di hari yang sama, karangan bunga untuk sebuah acara partai politik, tak tersentuh barang secuil pun. Ada apa ini?

Ini baru contoh kecil. Belum lagi jika dibandingkan dengan razia-razia yang selalu dilakukan di tempat yang sama, seperti Perumahan Jondul. Mengapa tidak di perumahan lainnya yang banyak tersebar di Kota Bertuah ini. Apa memang karena di Jondul banyak orang berduitnya?
Belum lagi masalah uang jaminan atau uang tilang yang dila¬galkan. Apa ada aturannya Satpol PP bisa memungut uang jaminan, uang sidang atau uang tilang. Kalaupun memang ada persidangan, dimana persidangan dilakukan. Apa memang ada pedagang yang di¬tangkap di sidang Satpol PP. Ini menjadi pertanyaan publik yang harus segera dijawab.

Nampaknya, Wali Kota Pekanbaru harus segera memperhatikan masalah-masalah yang nampaknya sepele ini. Jika tidak, jangan terkejut jika masalah ini akan menjadi "bola salju". Hingga akhirnya akan mencoreng semua keberhasilan yang telah diraih.***

Skandal Seks





Pelajaran dari Spitzer

WARGA dunia beberapa saat jadi heboh. Salah seorang Gubernur di negara super power terpental dari kursinya yang empuk karena "membooking" seorang pelacur kelas elit bernama Ashley Kristen Dupree. Entah berapa kali ia memakai jasa sang pelacur, tak ada yang tahu secara pasti. Namun skandal ini telah mencoreng mukanya serta keluarga besarnya dan juga partainya. Walaupun ungkapan penyesalan dan permintaan maafnya telah meluncur dari bibirnya kepada warga New York, tempat sang gubernur ini memerintah, ternyata tidak membuat dosanya bisa dimaafkan.

Amerika Serikat adalah negara kapitalis, pemenang perang dunia kedua, negara polisi dunia, menghargai kebebasan individu, serta identik dengan kebebasan seksual para kaum mudanya. Namun ternyata, mereka juga bisa begitu fanatik dengan masalah moral. Sebagaimana yang sering dilihat di berbagai film-film Hollywood, betapa bebasnya warga negara Paman Sam ini dalam masalah seksual. Namun jika yang melakukannya adalah para pejabat publik, tokoh terkenal atau para politisi, bisa jadi akan menjadi masalah panjang dan mungkin akan bisa mengakhiri karir yang bersangkutan.

Gubernur New York Eliot Spitzer, mungkin bukan pejabat pemer¬intahan yang pertama kali terlibat dalam skandal seks. Masih terngiang di telinga kita kasus yang menimpa mantan Presiden AS Bill Clinton dengan salah seorang pegawai magang di Gedung Putih, Monica Lewinski. Namun Clinton yang jadi sang presiden kala itu, walaupun banyak dihujat oleh warganya, tak sampai terpental dari kursinya. Berbeda nasibnya dengan Spitzer yang dengan rela hati dan lapang dada harus menerima pil pahit akibat perbuatannya dengan pelacur kelas tinggi tersebut.

Ternyata Amerika Serikat, walaupun merupakan negara bebas, individualistik yang menghargai privasi seseorang, bisa begitu peduli dengan masalah moral pejabatnya. Lalu bagaimana dengan negara Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam terbesar di dunia? Apakah memang masalah penyimpangan seksual bisa juga mengakhiri karir sang pejabat?

Jawabannya, bisa iya dan bisa tidak. Namun kebanyakan masalah skandal seks di negeri "untaian mutu manikam" ini sering muncul jika ada Pilkada dan selalu berhubungan dengan masalah politik. Maka tak jarang ketika Pilkada berlangsung, akan terbukalah borok-borok seorang calon, terutama sekali masalah skandal seks. Seperti dalam kasus pasangan bupati dan wakil bupati di salah satu kabupaten di Jawa yang foto-foto bugil mereka berdua terse¬bar di internet dan telepon genggam saat berlangsungnya Pilkada. Serta kasus-kasus pejabat lainnya yang selalu ada hubungannya dengan politik.

Sebenarnya, sudah menjadi rahasia umum, banyak para pejabat-pejabat di Indonesia yang terlibat sandal seks. Ada yang seling¬kuh, mempunyai istri simpanan bahkan kerap mendatangkan para penjaja seks ke hotel jika mereka ada tugas di luar kota. Namun mungkin karena kehati-hatian mereka, banyak yang tidak terungkap ke masyarakat umum. Semua masyarakat sudah tahu, namun banyak yang permisif dan tidak ingin ribut karena masyarakat kini tidak punya kekuatan. Mereka lebih disibukkan dengan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan selalu mengurut dada dengan kenaikan harga sembako yang terus melonjak.

Namun ini bisa jadi peringatan untuk pejabat di Indonesia. Skandal seks bisa juga berkibat fatal sama halnya dengan di Amerika. Telah banyak daftar pejabat yang terpelanting akibat tak bisa mengendalikan nafsu syahwat. Seorang anggota DPR RI dari Partai Golkar, Yahya Zaini, bisa jadi pelajaran berharga. Jangan coba-coba menabur angin jika tak ingin menuai badai. Termasuk para pejabat lainnya, anda harus bersiap-siap menerima karma jika akan ikut Pilkada. Skandal seks bisa berakibat fatal.***

Lagi-lagi Kabut Asap





Hanya Keledai Dungu
yang Jatuh di Lubang Sama


BAK
keledai dungu. Begitulah kiranya ungkapan yang diberikan kepada pemerintahan yang ada di Riau. Tak pernah mau belajar dari pengalaman masa lalu dan selalu berkutat setiap waktu dengan masalah yang sama. Namun tak pernah ada solusi dan pemecahaan masalah.

Berkaca dari kasus kabut asap akibat pembakaran lahan. Kini masalah itu mampir kembali di Bumi Lancang Kuning ini. Hampir menjadi kegiatan rutin, usai banjir melanda, maka masyarakat akan dihantam dengan pekatnya kabut asap yang akan merasuk ke dalam rongga paru-paru. Tak pelak lagi, mulai dari bayi yang baru lahir hingga orang tua renta pun kini semaput. Udara dipenuhi karbon¬diksida yang siap mengancam nyawa bila dihirup secara terus menerus. Kejadian yang terus berulang dan memprihatinkan. Fenome¬na apa disebalik kasus kabut asap ini?

Kabut asap, sebuah hasil akibat dibakar atau terbakarnya hutan dan lahan yang cukup luas hingga menimbulkan dampak terpa¬parnya udara sekitar oleh asap pekat. Asap yang tak akan hilang walaupun sumber api disiram air slang. Hanya hujan atau kuasa Allah SWT yang mampu menghilangkan "sumber penyakit" ini. Namun yang menjadi pertanyaan masyarakat, mengapa hal ini terus terjadi dan terus berulang tanpa ada solusi bagaimana cara ini tidak terjadi lagi.

Kabut asap, awalnya menggebrak Riau pada tahun 1995 lalu. Saat itu hampir seluruh wilayah di Riau penuh asap dan jarak pandang pun tembus satu meter. Asap ini bahkan diekspor hingga ke Malaysia, Singapura dan negara tetangga lainnya. Dugaan yang muncul kala itu, kabut asap berasal dari pembakaran lahan untuk perkebunan sawit yang mulai jadi primadona. Hingga saat ini tak ada muncul siapa dalang pembakaran lahan dan orang yang ditangkap oleh pihak berwajib.

Kemudian kejadian ini terus berulang setiap tahunnya. Setiap kasus ini datang, semua orang ribut, dan pemerintah buru-buru melakukan pencegahan sesaat seperti membagikan masker, mengirim¬kan tim pemadaman yang biasa terdiri dari Manggala Agni, Satpol PP, Dinas Kehutanan, Dinas Kebakaran serta unsur pegawai lainnya dibantu pihak kepolisian dan TNI serta organisasi dan masyarakat.

Lalu berbagai janji dan komentar dikeluarkan pejabat menyangkut kabut asap ini. Yang semuanya terkesan "janji palsu" yang membuat masyarakat muak membaca segala macam pernyataan mereka di media massa.

Lalu setelah hujan datang dan kabut asap hilang, maka kasus ini menghilang seiring tidak lagi disusut secara tuntas siapa dalang yang bertanggungjawab terhadap tindakan pidana ini. Yang muncul ke permukaan, hanya ditangkap warga petani biasa yang menurut pihak berwajib "tertangkap tangan" membakar lahan. Semen¬tara dalang utama pembakaran lahan yang diindikasi bertujuan bisnis ini, tak pernah terungkap dan hilang bersama kabut asap tersebut. Hal ini terjadi dan terus terjadi hingga masyarakat hanya bisa pasrah.

Sebaiknya, pemerintah bisa mengambil pelajaran. Jangan me¬nunggu sampai kabut asap muncul lalu baru sibuk kocar-kacir ke lapangan. Sediakan payung sebelum hujan, sebagaimana kata pepa¬tah. Pemerintah harus membuat langkah pencegahan di lapangan dengan menggerakan aparaturnya untuk bekerja dan jangan duduk di belakang meja. Buat program yang tepat bagaimana kabut tak lagi muncul. Kalau bisa ditargetkan tahun "Zero Smoke" di Riau ini.

Termasuk juga aparat kepolisian, yang jangan hanya berpangku tangan menunggu laporan dan kasus saja. Walaupun sering yang jadi alasan adalah personel yang terbatas, namun kabut asap ini bisa jadi prioritas jika Kapolda benar-benar serius. Sebagaimana pada tahun 2007 lalu dimana hampir nihil kabut asap dengan ketegasaan Kapolda Riau yang mengundang pihak terkait dan mengadakan MoU dimana mereka akan bertanggungjawab jika lahan mereka terbakar.

Sudah saatnya warga menikmati udara bersih di tengah hutan Riau yang telah hancur ini. Pemerintah harus bisa memberikan jaminan tersebut. Sebab jika masih saja kasus ini berulang, maka cap keledai dungu memang layak disematkan untuk pemimpin negeri ini.***


Insyaflah



Teleju dan Pemerintah Kita


AWALNYA saya agak menggigil ketika pertama kali menginjakkan kaki di sebuah daerah yang bernama Teleju. Saat itu tepat pada jam 12.00 WIB dinihari. Dengan mengendarai sepedamotor, saya beserta beberapa teman masuk ke daerah "hitam" tersebut. Usai melewati dua ampang-ampang yang wajib menyetorkan uang, kami pun melewati jalanan tanah yang diapit oleh rumah-rumah semi permanen dengan penerangan yang redup. ''Mampir mas...,'' sapa seorang lonte yang berdiri di depan rumah tersebut.

Saat itu saya masih kuliah, sekitar akhir tahun 1990-an lah. Saya yang tak biasa dengan hawa dunia hitam ini, makin gemetaran saat sepeda motor yang dibawa teman dengan pelan menjelajahi makin ke dalam kawasan tersebut. Mengapa gemetaran? Terus terang saya takut. Pertama, takut saya tak bisa kembali pulang dan dipaksa untuk menginap di sana oleh para penjaga Teleju. Disamp¬ing saya juga takut jika terjadi hal-hal yang tak diingini saat berada di dalam kawasan "panas" tersebut. Serta takut terkena razia oleh polisi dan wajah saya pun akan masuk koran. Sebuah pikiran lugu saya kala itu yang masih awam.

Saya pun bahkan mewanti-wanti teman yang membawa kami agar ingat dengan janjinya bahwa kami hanya sekedar jalan-jalan dan melihat-lihat saja, setelah itu pulang. Seorang teman yang kini sekantor dengan saya. Syukur teman ini konsekwen dengan janjinya dan hanya selama lima menit berkeliling di kompleks pelacuran itu, kami pun kembali pulang. Belakangan, teman saya ini meraih juara lomba penulisan tingkat nasional yang mengambil tema Tele¬ju. Ia mengangkat kisah seorang ustad yang juga sebagai seorang germo di daerah lokalisasi terbesar di Pekanbaru ini.

Kawasan Teleju yang terletak di ujung pelosok Kota Bertuah, kini mendapatkan perhatian. Namun perhatian yang diperoleh adalah perhatian serius. Teleju akan dihabiskan. Bisakah? Sebuah pertan¬yaan yang jawaban telah lama dinanti-nantikan oleh para ulama di negeri ini. Kecuali mungkin oleh sang ustad yang ditulis teman saya yang nyambi sebagai germo, mungkin.
Memang sejak lama penutupan kawasan pelacuran ini dikuman¬dangkan oleh segenap warga kota. Pro dan kontra terus begulir seiring berjalannya waktu dan kasus ini pun hilang timbul. Hingga belum lama ini muncul berita yang mengejutkan warga. Satpol PP memungut setoran di lokalisasi Teleju. Peristiwa yang cukup memalukan ini mendapat perhatian luas dan akhirnya juga meredup.

Kini, usai sang Wali Kota Drs H Herman Abdullah MM memberikan akte kelahiran gratis untuk anak-anak Teleju, keinginan untuk menutup Teleju kian menguat. Wali kota yang digadang-gadangkan akan menjadi calon kuat "Gubernur Riau" ini ternyata tak main-main. Ia bahkan membentuk tim khusus mengkaji hal tersebut. Apakah ditutup habis atau dialihkan menjadi sebuah tempat baru yang jauh dari kesan prostitusi. Sebuah niat mulia dan layak untuk didukung.

Namun yang jadi pertanyaan, bisakah aparat di bawahnya mewu¬judkan keinginan tersebut. Sebab kalau dirunut-runut, sebagai penyakit purba yang telah ada sejak zaman dahulu kala, prostitusi sangat sulit diberantas. Dimana saja dibelahan dunia ini, prosti¬tusi tetap saja ada. Sesuai dengan prinsip ekonomi, dimana ada pemintaan maka disitu akan ada penawaran.
Seorang senior saya bahkan punya pendapat yang mungkin layak untuk ditentang. Ia tidak setuju Teleju dihapuskan dan minta agar lokalisasi ini tetap ada. ''Kenapa bisa begitu,'' tanya saya.

Ia pun punya pendapat yang layak didengarkan. ''Kau ingin istri, anak perempuan atau keluarga yang lain "dipanjat" oleh orang-orang yang buas seksual. Kalau dihapuskan, maka orang yang yang kebutuhan biologisnya memang disalurkan ke sana akan terham¬bat. Maka bisa jadi kasus pemerkosaan atau tindak pelecehan seksual akan meningkat di kota ini. Bahkan bisa jadi para penghuni Teleju akan masuk ke dalam kota ini dan berkeliaran di tepi jalan,'' kata dengan lidah menjulur.

Saya pun mengatakan bahwa semua efek itu adalah tugasnya pemerintah. ''Pemerintah macam mana. Pemerintah dan pegawainya yang saat ini lebih suka libur lalu menghitung uang tunjangan, uang transportasi, uang insentif dan komisi-komisi proyek. Jangan terlalu banyak berharap dengan pemerintah lah, nanti kau kecewa,'' katanya, saat ini dengan nada serius.***

(catatan akhir pekan
di Riau Pos Edisi Ahad 10 Maret 2008
Liputan Khusus Teleju
)