Jumat, 21 November 2008

Kisah Lama


No comment...


Sedang bersemangat


Jadi malu...


Deni, penggebuk otodidak


Dang dengan topi kesayangannya


Tiga veteran 90-an


Tampil prima

The Bobo
Band yang Gak Pernah Mati


Anak saya akhir-akhir ini lagi lasak-lasaknya. Sejak menggunakan baby walker, ia makin aktif bergerak kesana-kemari. Semua barang-barang yang berada di atas meja, akan berantakan kena jamahaannya. Hingga kami terpaksa menyingkirkan meja tamu dan barang-barang lain yang bisa dijangkaunya.

PAGI itu, saat bangun tidur, saya melihat album foto sudah berserakan di lantai. Ternyata ia berhasil menggapai rak lemari di ruang tamu. Maka berhamburan dan leceklah album-album foto itu. Sementara sang mami, sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan membiarkan Rakha dengan aktivitasnya sendiri. Beberapa lembar foto berceceran keluar dari album akibat dilempar dan digiling baby walker.

Mata saya pun tertumbuk pada sebuah album foto lama. Tiga orang sekawan dengan gaya kucel bergaya di depan kamera. He.he. foto lama personel Bobo in The Corner, grup band kami saat kuliah dulu. Saya pun membalik-balik album foto dan tertawa sendiri melihat-lihat tampang kami waktu dulu. Akhirnya, waktu di pagi hari itu saya habiskan untuk membolak-balik album ditemani tarikan-tarikan tangan Rakha.

Band yang kami bentuk dulu, bukan sebuah band yang punya nama besar. Hanya sekedar mengisi hobi kami yang saat itu begitu gila dengan musik. Setiap ada festival di kampus atau di luaran, kami pun tak pernah absen untuk ikut. Walaupun terpaksa harus patungan untuk biaya pendaftaran dan biaya latihan studio. Bahkan saking “kere”-nya, saya pernah jadi bendahara mengumpulkan uang teman-teman setiap harinya Rp1.000 untuk persiapan dana pendaftaran jika ada festival nanti.

Maklum saat itu saya hidup ngekos, jauh dari orang tua dan uang belanja terpaksa dihemat-hemat. Namun dua teman saya lainnya, Dang dan Deni, orang tuanya tingal di Pekanbaru. Namun tetap saja kere karena belum punya pekerjaan dan mengharapkan “belas kasih” orang tua. Tapi walaupun begitu, kami tetap santai dan bahkan menikmatinya. Dengan skill semampunya, dan minim alat band, kami tetap optimis ikut meramaikan jagat musik di Pekanbaru kala itu.

Awalnya, saya tak pernah megang alat musik listrik. Saya yang hanya tamatam SMA di sebuah kota kecil, hanya bisa main gitar kopong sekadar genjarang-genjreng. Itu pun saya bisa main gitar dengan mantap saat duduk di bangku SMA. Gitar yang pertama saya beli dengan uang tabungan sendiri adalah gitra merek kapok punya teman SMA saya bernama Andi. Karena si Andi beli gitar baru, gitar itu pun dilego kepada saya dengan harga Rp5.000. Saat itu di awal tahun 90-an, dalam ukuran saya uang tersebut sudah cukup besar.

Kemudian saat kuliah, saya secara tak sengaja bertemu dengan Dang. Ia saat itu seduah terkenal dengan pengalaman dan skilnya dalam bermusik. Maklum Dang saat sekolah dulu punya grup band yang cukup beken bernama Kid Dog Rapp dimana ia berperan sebagai drummer. Dan saat awal-awal kuliah, Dang pun sudah membentuk grup band bernama Panic. Saya pernah melihat mereka tampil membawakan lagu Pearl Jam saat malam penutupan Ordik di gedung PKM Kampus kami, Unri. Dadang ketika itu pegang gitar, deni drum dan vokalisnya anak Batak Dumai.

Saya hanya sebagai penikmat saja. Tak terpikir untuk terjun dalam dunia band yang kala itu masih jadi barang mewah dan khusus untuk kalangan berduit. Namun ternyata hal itu salah besar. Yang penting punya keinginan dan teman-teman yang seide. Masalah uang, alat dan skil ternyata bisa diasah dan menjadi urusan kedua.

Pertemanan saya dengan Dang, secara tidak langsung membuat saya secara tidak sadar terjun ke dalam dunia band. Awalnya, karena berteman di kampus, Dang sering datang main ke tempat kos saya, dan melihat-lihat koleksi kaset yang saya miliki. Ternyata kami punya banyak kesamaan dalam selera musik. Kami pun sering berdiskusi masalah musik dan grub band terkini kala itu. Hingga akhirnya Dang meminta saya untuk ikut mendirikan grup band bersamanya. Ia mengatakan tidak cocok lagi dengan Panic band akibat perbedaan selera musik. Pada waktu itu, akan diadakan festival unppluged yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi Unri di Teater Arena Balai Dang Merdu Pekanbaru.

Tentu saja ajakan ini saya sambut. Namun saya masih belum pede dan menyatakan terus terang belum pernah ikut dalam sebuah grup band. Saya pun didaulat memegang gitar bas dan Deni serta Dadang pada posisi mereka sebelumnya di Panic band. Saya pun mencoba belajar bermain bas lebih keras sambil sesekali didampingi Dang. Sementara Panic band tak kalah juga, kawan kami si Batak Dumai ini pun merekrut teman baik kami Yayat sebagai posisi drum. Bahkan saking menunjukkan eksistensi, Bobo dan Panic bahkan pernah ikut latihan pada jam yang sama di sebuah studio latihan. Walaupun tak saling ejek, nuansa permusuhan kentara terasa.

Saya tak mau ambil pusing masalah internal Dang dan Deni dengan personel band lama mereka. Walaupun saya melihat ada kebencian vokalis Panic terhadap saya. Namun kami tetap terus berlatih setelah usai kuliah. Dengan berbekal gitar kopong, kami pun mencoba-coba mengulik lagu. Kadang-kadang berlatih di rumah saya, kadang di rumah Dang dan jarang di rumah Deni. Akhirnya kami memilih lagu, “High and Dry”-nya Radiohead serta lagu “So Lonely” Sting dan “Blood Money” Bon Jovi dalam ajang Festival nanti.

Nama grup band Bobo in The Corner pun di daftarkan sebagai peserta dan mendapat nomor undian. Nama ini atas saran Dang. Usai mengikuti Technical meeting pada siang, menjelang Maghrib kami pun bergerak menuju Balai Dang Merdu dengan menaiki oplet. Rekan-rekan kampus dan kos ikut mendampingi kami. Saat memasuki ruangan yang berbentuk teater tertutup ini, saya agak sedikit gugup. Kami menyaksikan beberapa grup yang mendapatkan nomor undian awal. Terus terag saya agak takut dan gugup. Gugup karena belum pernah manggung dan takut kalau lampu remang-remang dan saya tidak bisa melihat betotan bas di gitar.

Akhirnya nama grup kami pun dipanggil. Dengan rasa penuh percaya diri kami bertiga pun berdoa terlebih dulu di bagian samping panggung. Terasa suasana agak berbeda jika kita jadi sorotan ratusan pasang mata. Ketika pertama membetot gitar, rasa percaya diri saya langsung tumbuh. Hentakan drum Deni dan kocokan gitar Dang yang sekaligus diringi suara seraknya, membuat lagu High and Dry mengalir lancar dan berhasil membuat penonton terdiam. Guna memecahkan keheningan Dang pun sempat membuat intro lagu Indonesia Pusaka dengan gitarnya yang membuat penonton terbahak. Lagu So Lonely yang kami bawa sontak meraih tepuk tangan penonton yang membuat saya bangga setengah mati. Banyak penonton tidak tahu lagu tersebut karena kami ambil dari album lama Sting. Sementara Blood Money di penghujung manggung berhasil membuat penonton ikut bersama-sama bernyanyi dan malah terjadi koor yang dikoordinir rekan-rekan senior kampus kami.

Awal yang baik dan menyenangkan, so far so good. Hingga akhirnya kami pun terjun dalam dunia band kampus dan mengikuti berbagai ajang festival musik. Uniknya, setiap tampil mengikuti berbagai festival, kami tidak pernah memakai nama yang sama. Setiap tampil selalu berubah nama, walaupun nama Bobo telah menjadi trade mark, kami memakai berbagai nama saat mendaftar. Mulai dari Alam Barzah, Muhasabah, Seks The Truth dan lainnya yang saat ini pun saya lupa apa-apa saja namanya.

Dampaknya, tentu saja ada. Selain rambut jadi gondrong, pada semester di awal ikut ngeband, nilai kuliah saya jeblok. Dari IP 3 koma lebih, turun menjadi kitara hanya angka mendekati 3. Namun masalah nilai kuliah ini, terus terang tidak pernah saya beritahu atau ditanyakan oleh orang tua. Maklum, ortu tidak ngerti apa IP atau IPK ataupun nilai A, B dll. Jadi tidak ada kontrol dari ortu, beda dengan di sekolah dimana ortu yang rutin ngambil rapor. Betul-betul terserah saya saja saat kuliah ini. Mau belajar atau tidak, orang tua tidak pernah tahu. Hanya yang ditanyakan bagaimana beasiswa tahun ini, apa saya masih dapat atau tidak. Itu saja.

Hidup dalam dunia musik, harus hati-hati. Jika tidak, sebentar saja kita akan tergelincir. Tidak bermaksud memburukkan, namun yang namanya narkoba, kala itu gencanr menyerang. Seorang teman dari kampus swasta yang kami ajak ikut gabung bermain musik, menawarkan rokok saat latihan di studio kepada saya. Saat saya buka, di dalam kotak rokok tersebut, penuh dengan lintingan ganja. Kontan saja saya tolak. Termasuk minuman keras, yang terus terang tidak pernah kami jadikan konsumsi. Saya beruntung punya teman yang agak taat dalam menjalankan agama. Jika waktu salat masuk, kami pun menunaikannya. Hingga salat saya yang semula bolong-olong, sejak di musik malah makin teratur.

Di Bobo kami mengusung konsep tiga personel saja. Kala itu, lagi deras-derasnya aliran musik alternatif. Dimana personel cukup hanya tiga orang, drum, bas, gitar yang merangkap vokal. Kami menganut konsep tersebut selain karena aliran musik juga ingin memaksimalkan konflik. Bertiga lebih minim konflik dibanding berlima atau berenam. Malah Bobo akhirnya tinggal saya dan Dang saja yang serius. Sementara drumer kami Deni makin disibukkan dengan kedai bangunannya hingga akhirnya tak hanya absen di band, namun juga berhenti total kuliah. Maklum Deni bapaknya telah meninggal dan terpaksa banting tulang mencari rezeki untuk keluarganya.

Hingga akhirnya kami pun sering membawa teman-teman lain untuk ikut main musik. Baik teman kampus maupun teman lainnya, bahkan pernah mengajak seorang supir traktor jadi pemain gitar melodi. Namanya Elen, yang ketika mendaftarkan nama saat ikut festival, disangka perempuan.

Begitulah, Bobo tetap meramaikan jagad festival musik kala itu meskipun dengan bertukar-tukar personel dan berganti nama. Praktis hanya tinggal saya dan Dang mengusung band ini agar terus berjalan. Kami sempat juga membuat lagu hasil ciptaan sendiri yang dibawakan dalam ajang festival. Sayangnya, lagu tersebut tidak sempat kami rekam. Akibatnya kini kami praktis lupa dengan liriknya yang berbahasa Inggris tersebut. Di malam hari, saat santai, saya dan Dang selalu mengulik-ngulik gitar di paviliun lantai atas tempat kos saya.

Saya tak ingat lagi, kapan terakhir kali manggung. Namun ketika kuliah kelar dan saya masuk dunia kerja, tak pernah lagi saya latihan. Kesibukan membuat kami terpisah. Walaupun saat saya selesai kuliah Dang masih sibuk dengan menghabiskan sisa kredit semesternya, kami jarang berjumpa. Akhirnya Dang selesai juga kuliahnya dan mencoba merantau ke Bandung. Lama juga ia di Bandung hingga akhirnya balik lagi ke Pekanbaru. Lama tak jumpa membuat kami mencoba-coba latihan lagi. Namun karena sudah lama tak pegang alat musik, membuat banyak lagu yang kami hapal jadi lupa. Skil pun seakan berkurang dan tak terlatih lagi. Pernah suatu kali Dang mengusulkan kepada saya agar kami masuk studio dan merekam album. Namun karena terbatasnya dana, hal itu sampai kini tak bisa kami wujudkan.

Kini, saat melihat-lihat album foto dulu, saya hanya bisa tersenyum membayang nostalgia yang pernah kami alami. Ternyata hidup ini mempunyai setiap episode yang nantinya akan jadi bahan nostalgia. Ada episode gejolak muda saat duduk di bangku SMA, dunia musik dan aktivitas perkampusan yang penuh gairah dan kini episode menjadi seorang bapak yang harus menghidupi seorang anak dan istri. Jika ditanya, episode mana yang paling enak, saya akan menjawab episode yang penuh gairah di dunia kampus. Di episode inilah saya mendapatkan tambatan hati, pijakan menuju dunia kerja dan pemenuhan hasrat musik.***




Jumat, 14 November 2008

Area Militer


Duo veteran musik


Mantap


Saat penonton sepi di depan panggung utama


Grup band Nidji sedang beraksi

Musik adalah Jawabannya
Seumur-umur, baru sekali saya masuk ke dalam lokasi parkir pesawat tempur di Lanud TNI AU Pekanbaru. Saya dapat melihat dari dekat bentuk pesawat tempur yang berwarna dominan coklat loreng tersebut parkir berjajar di hanggar. Sebelumnya, saya hanya bisa menyaksikan pesawat tersebut dari jauh di luar pagar saat melewati kompleks Lanud atau melalui foto-foto rekan-rekan yang meliput.

SEBEGITU pentingkah peristiwa melihat pesawat dan masuk ke dalam lokasi bandara Lanud ini saya sampaikan? Bagi kebanyakan orang, memang tak penting-penting betul. Apalagi bagi kawan-kawan rekan jurnalis, sesuatu hal yang biasa mengingat seringnya TNI AU mengajak kawan-kawan meliput kegiatan mereka. Tapi bagi saya yang tak pernah meliput kegiatan TNI AU, peristiwa yang saya alami begitu membuat saya terkesan. Kenapa?

Ya, karena saya masuk ke dalam obyek vital tersebut dan melihat pesawat tempur dari dekat, bersama belasan ribu warga lainnya yang hobi musik. Itu kejadian sekitar dua tahun lalu, tepatnya di hari Ahad. Ketika itu kompleks Lanud dan lapangan udaranya yang selama ini dikatakan sebagai obyek vital, seakan-akan pupus sudah. Warga atau tepatnya para kawula muda menyemut dan memadati tiga panggung besar di tengah lapangan terbang. Sementara pesawat-pesawat tempur itu parkir dengan hanya diberi pembatas berupa pita garis polisi saja. Saat itu konser musik Soundrenalin digelar di kawasan, yang katanya, paling vital dan hanya orang tertentu saja boleh masuk

Bahkan, saking bebasnya, pihak TNI AU menyediakan truk khusus yang disiagakan secara gratis di dua pintu gerbang untuk membawa warga yang akan menonton konser musik paling bergengsi di tanah air itu, masuk ke dalam kawasan lapangan terbang. Saya hampir-hampir tidak percaya bahwa konser sebesar itu dilakukan di dalam area militer. Bersama rekan band saya saat kuliah dulu, kami pun tak ingin melepaskan moment paling berharga ini.

Atraksi terjun payung dan manuver helikopter yang terbang rendah meningkahi aksi panggung grup band Nidji di pentas utama. Tak hanya satu grup musik, belasan grup nasional papan atas serta grup band dari luar negeri menghentak area Lanud Pekanbaru dari pagi hingga malam hari. Suatu hal yang langka, sebuah konser musik diramaikan dengan aksi spektakuler sambil ditonton ribuan warga, dan di kompleks militer lagi. Saya merasa, saat itu TNI AU adalah militer yang paling toleran dan berani serta berhasil memikat hati masyarakat. Mereka telah membuktikan bahwa daerah militer itu bukan kawasan angker yang dipenuhi wajah-wajah garang. Para tentara itu bahkan terlihat ramah dengan senyum yang manis, berbaur bersama kami para penikmat musik.

Itu dua tahun lalu. Dan pada malam minggu di awal bulan ini, saya mengunjungi rekan kuliah saya yang dulu sama-sama gila musik. Di rumahnya, kawan saya ini sedang santai, memutar DVD konser musik sambil memeluk gitar. Memang, saat ini kami jarang berjumpa dan praktis kami tidak pernah lagi latihan ataupun manggung lagi. Maklum umur sudah bertambah dan kesibukan makin banyak.

Kami pun ngobrol hilir-mudik hingga pembicaraan mengarah kepada kompleks TNI AU. ‘’Jalan di kompleks TNI AU sekarang ini ditutup untuk umum,’’ kata saya.

‘’Memangnya kenapa, kan dari dulu juga begitu,’’ jawabnya dengan santai sambil memetik-metik senar gitar.

‘’Tapi sekarang nampaknya akan berbuntut panjang karena yang ditutup dengan portal adalah kawasan perumahan masyarakat yang ada di sekitar kompleks tersebut,’’ jelas saya membalik-balok majalah musiknya.

‘’Kok bisa. Bukannya rumah warga di situ lebih dulu ada daripada kompleks TNI AU. Malahan ada sekolah, masjid dan kantor lurah lagi,’’ tanya sang kawan lagi.

‘’Tak tahulah saya alasannya. Namun nampaknya bakal ada berita seru lagi. Dulu kan pernah juga ada konflik TNI AU dengan warga di sana soal pendirian rumah ibadah,’’ kata saya lagi.

‘’Agaknya perlu juga dibuat konser musik di dalam kompleks itu kayak dulu lagi. Dalam kondisi krisis global ini nampaknya butuh hiburan musik di sana. Jadi suasana agak cair dan fulus pun mengalir,’’ kata sang teman setengah bercanda sambil melihat-lihat isi dompetnya.***