Pondok Bika Talago Indah dan kemacetan jalan di depannya.
Bika panas yang lezat
Santai menunggu macet reda
Catatan akhir pekan 2012
Fenomena Mudik
PADA pertengahan
pekan kemarin, saya lama terduduk di sebuah Lapau Bika Telago Biru daerah Koto
Baru, Sumatera Barat. Ditemani bika panas yang baru selesai dibakar dengan
menggunakan periuk tanah liat dan sekaleng minuman soda, pandangan saya
lepaskan ke jalanan yang dipenuhi ratusan, mungkin ribuan kendaraan yang
berjalan merambat. Di saat berbagai jenis merek kendaraan roda empat dan roda
dua yang bergerak beringsut laksana siput tersebut, otak saya pun berpikir. Jam
berapa macet ini akan berakhir?
Saya sengaja memarkirkan kendaraan dan mencoba istirahat
sejenak di lapau bika ini, setelah hampir tiga jam terjebak macet. Waktu tiga
jam tersebut saya hitung saat mulai memasuki Kota Bukittinggi menuju ke Kota Pariaman.
Seharusnya, dalam kurun waktu tersebut saya sudah sampai ke tujuan dan bisa
berleha-leha di pantai. Di luar rencana, macet yang melanda nampaknya begitu
parah dari dua arah jalan. Sehingga saya pun hanya bisa pasrah sambil menikmati
pemandangan jalanan yang ramai dengan kendaraan dengan nomor polisi dari
provinsi tetangga Sumatera Barat, termasuk yang terbanyak dari Riau.
Apakah semua warga perantauan Minangkabau pulang ke tanah
kelahiran nenek moyang mereka sehingga jalanan tidak mampu lagi menampung arus
kendaraan? Dari percakapan saya dengan beberapa orang yang juga ikut
memarkirkan kendaraan mereka menunggu macet reda, bahwa tidak semua kendaraan
tersebut adalah pemudik. Banyak juga warga luar Provinsi Sumatera Barat yang
memang sengaja datang untuk berwisata di Ranah Minang yang memiliki banyak
objek wisata dengan kondisi alamnya yang eksotik. Seperti dirinya yang anak
jati Riau, sengaja menginap di Bukittinggi dan akan menuju Padangpanjang guna
menikmati waterboom bersama keluarga besarnya.
Lalu timbul pertanyaan di benak saya, mengapa sekarang ini
semua orang berlomba-lomba memakai kendaraan pribadi? Sejauh yang saya lihat,
bisa dihitung dengan jari kendaraan umum seperti bus yang lewat. Itu pun bus
jenis menengah. Apakah memang usaha bus-bus sudah bangkrut “dihantam” kendaraan
carter dan para travel? Sehingga jalanan saat ini seperti mau “muntah” dengan
kendaraan pribadi.
Saya teringat dulu saat masih di bangku sekolah, belasan bus
akan terlihat parkir berjejeran di setiap rumah makan jika kita pergi ke
Sumatera Barat. Terminal pun ramai dengan lalu lalang dan hiruk pikuk penumpang.
Namun kini kondisi Bandar Raya Payung Sekaki, terminal bus terbesar di Riau
yang berada di Kota Bertuah, masih “adem-adem ayem”. Tak nampak penambahan
penumpang berarti ke berbagai daerah tujuan pemudik, baik ke Sumatera Barat,
Sumatera Utara ataupun tujuan Pulau Jawa. Bahkan tuslah atau kenaikan harga
tiket yang merupakan panen para perusahaan bus setiap tahunnya, ditanggapi
dingin-dingin saja. Mengapa moda transportasi umum seperti bus dan jenis
angkutan massal tidak lagi diminati?
Dengan logika standar saja, pasti akan masuk akal jika para
pemudik atau pengunjung tempat wisata di Sumatera Barat menggunakan angkutan bus,
maka kemacetan akan bisa dihindari. Satu buah bus, akan bisa menampung
penumpang 10 buah kendaraan pribadi. Atau jika kereta api diaktifkan lagi, maka
beratus penumpang akan terlayani ke tempat tujuan. Macet seperti saat ini pun
akan teratasi dan yang yang terpenting adalah, jumlah kecelakaan akan turun
drastis. Karena kecelakaan jalan raya meningkat tajam di saat Idul Fitri ini. Berdasar catatan Posko Tingkat Nasional
Angkutan Lebaran Terpadu 2012, jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi mulai
H-7 (12 Agustus 2012) hingga H+2 (22 Agustus 2012) mencapai 3.587 kasus.
"Kondisi lelah, capek dan macet bisa menyebabkan turunnya kewaspadaan pemudik. Hal ini yang barangkali memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas," ujar Ketua Posko Harian Posko Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu 2012, Sugiadi Waluyo kemarin.
Berdasar data yang masuk ke Posko Lebaran 2012, tercatat kecelakaan banyak terjadi pada H-3 (16 Agustus 2012) sebanyak 383 kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak 54 orang. Hari paling naas terjadi pada H-4 (15 Agustus 2012) karena menyebabkan 66 orang meninggal dunia. "Total terjadi 3.587 kasus kecelakaan dengan korban meninggal sebanyak 641 orang," ungkapnya.
Padahal kita tahu, dulu kereta api merupakan moda
transportasi utama di daerah Sumatera Barat. Bahkan Jepang telah membangun
jalur kereta api dari Muara Sijunjung hingga ke Pekanbaru. Beratus romusha
meregang nyawa akibat pembangunan jalur kereta api yang sia-sia tersebut karena
tidak pernah dipakai hingga sekarang. Mengapa pemerintah tidak pernah berpikir
mengadakan dan memperbaiki transportasi umum yang massal. Seakan pemerintah
melepaskan begitu saja masalah ini dan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak
swasta. Inilah misteri yang belum terpecahkan.***
bobointhecorner.blogspot.com