Menunggu Gebrakan Sang Idrus
Dahulu, ketika baru bekerja walaupun belum diwisuda, di sebelah kamar kos saya tinggal seorang PNS yang baru diterima di sebuah departemen perwakilan pusat di
Semula ia bingung, dan mencoba beradaptasi dengan Kota Bertuah yang menurutnya miskin dengan hiburan. Maklum sang kawan ini sebelumnya menempuh jenjang pendidikan di Kota Kembang yang terkenal dengan julukan
Setelah beberapa bulan, saya lihat kawan ini agak bergairah. Saat pulang dari kantor di malam hari, saya mulai jarang menemuinya di tempat kos. Saya pikir, ia mungkin sudah mendapatkan pacar, jadi agak sering keluar malam. Namun saat pulang di malam hari, malah ia membawa teman cowok sekantor. Maka dugaan saya ia pergi ke rumah pacar pun sirna.
Iseng-iseng, saya pun bertanya kemana saja mereka pergi di malam hari karena jarang saya temui pintu kamarnya terbuka saat saya pulang ke rumah. ''Kami serasa berada di tempat antah berantah. Seperti menonton keajaiban zaman dahulu,'' kata sang teman.
Saya pun agak bingung apa maksud perkataannya. ''Maksudnya apa nih,'' tanya saya sambil mencoba mengorek keterangan lebih dalam saat kami duduk berdua di beranda lantai atas paviliun kos kami.
Sambil memetik-metik dawai gitar, ia pun bercerita bahwa mereka kini mulai gandrung dengan pertunjukan bernuansa budaya Melayu yang sering digelar di Teater Arena Balai Dang Merdu. Semula, ia dan temannya tak sengaja berkunjung ke lokasi tersebut. Saat memasuki gedung itu, mereka pun seperti tersihir melihat ada pertunjukkan yang sangat menarik hati tersebut.
''Kami seperti berada di opera zaman-zaman dahulu. Sangat menarik melihat pertunjukkan orang-orang kesenian ini,'' ungkapnya.
Sejak saat itu, saya maklum jika saat pulang malam hari lampu teras kos kami belum dihidupkan. Bisa dipastikan sang kawan sedang menikmati hiburan kesukaannya. Waktu kebersamaan kami pun mulai beralih di hari libur, dimana kami jogging memutari lapangan di bekas areal MTQ. Setiap Minggu sore, kami pun menghabiskan waktu berlari mengitari lapangan bekas tempat upacara pembukaan MTQ.
Kini, teman saya itu sudah pindah ke
Ia mungkin tidak tahu bahwa lapangan tempat kami jogging dulu kini telah menjulang megah gedung teater tertutup dengan nama Anjung Seni Idris Tintin. Gedung besar berasitektur Melayu dengan biaya sekitar Rp150 miliar ini, telah menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga Kota Bertuah. Walau belum diresmikan, namun tercatat gedung ini pernah diramaikan artis-artis ibu
Kawan saya ini, saya rasa mungkin akan bergegas datang ke Kota Bertuah jika saya beritahu adanya pertunjukkan opera Tun Teja di teater tertutup ini. Lama kami tidak berkomunikasi hingga saya lupa kesukaannya terhadap seni budaya Melayu. Namun saya yakin, ia pasti tidak akan lupa dengan tontonannya saat bingung hendak pergi kamana jika malam menjelang, ketika pertama datang dulu.
Banyak yang berharap terutama saya pribadi, Anjung Seni Idrus Tintin mempunyai agenda tetap pagelaran kesenian dan budaya Melayu. Saat opera bertajuk Tun Teja digelar di
Jika insan kesenian mampu membuat jadwal tetap dan menyebar brosurnya ke hotel-hotel dan daerah luar Riau, saya acungkan satu jempol. Saya pernah ke Siam Niramit, sebuah pertunjukan opera klasik di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar