Kamis, 08 Mei 2008

Reformasi Gagal Total




Sepuluh Tahun yang Sia-sia

PADA suatu malam di awal bulan Mei ini, saya berbincang dan duduk santai dengan seorang teman akrab. Kami telah berteman lama sejak duduk di bangku kuliah dan merasakan zaman-zaman gejolak jiwa muda. Termasuk aksi demonstrasi di Riau, mulai dari demonstrasi penurunan Soeharto hingga aksi-aksi yang menuntut hak daerah memperoleh kekayaan minyak Riau hingga munculnya slogan Riau Merdeka. Saat sedang santai di rumah makan ini, secara tak sengaja televisi di sana menyiarkan kilas balik reformasi yang dipelopori para mahasiswa. Kami pun kembali teringat saat masa-masa turun ke jalan dan berada di garda depan aksi mahasiswa.

Kawan tersebut pun saya pancing, bagaimana kalau kiranya pengalaman-pengalaman selama merancang dan mengikuti aksi dulu kita buat dalam buku. Hingga nanti kisah tersebut dapat menjadi sebuah refleksi sejarah bahwa Riau pun punya gerakan yang mengubah masa depan bangsa ini. Sang kawan itu hanya tertawa. ‘’Buat apa, tak ada gunanya. Malah salah-salah nanti masuk penjara pula,’’ katanya sambil menghisap rokok dalam-dalam.

Ia pun terdiam sejenak dan kembali sibuk memperhatikan layar televisi di depannya. Saat jeda iklan masuk, ia pun kembali berujar. ‘’Bagusnya kita kubur saja dalam-dalam apa yang telah dilakukan dulu. Kerja sia-sia dan tak ada gunanya. Bahkan saya pikir tak layak untuk diingat karena akan menyakitkan. Apa yang kita perjuangkan, tak satupun yang kelihatan terwujud, malah tambah kacau,’’ katanya yang kini mulai terpancing.

Saya senang lihat ia mulai respon karena saya pun ingin melihat bagaimana reaksi salah satu garda terdepan aksi mahasiswa Riau ini kini berkomentar. Dulu, kami boleh dikataka agak militan, apalagi mengenai masalah aksi. Karena Mabes kami di Surat Kampus Bahana Mahasiswa Unri kerap menjadi intaian para intel-intel aparat hampir setiap malam. Karena di sinilah hampir sebagian besar aksi-aksi di Riau tersebut disusun dan bahkan mencapai puncaknya ketika usai melakukan diskusi hangat di sebuah sore yang menimbulkan kata sanger Riau Merdeka yang digaungkan oleh Profesor Tabrani Rab kala itu.

Kemudian teman saya tadi pun berkomentar lagi. ‘’Ya wajar saja Soeharto kalah. Ia seorang diri dikeroyok beramai-ramai oleh para mahasiswa se-Indonesia. Tentu saja kalah kan,’’ kali ini ia bicara dengan nada sedikit tertawa dan terkesan tidak serius.

Kalau saya melihat respon sang kawan ini, memang terlihat ia kini agak skeptis dan terkesan mulai acuh dengan keadaan sekitar. Tidak seperti waktu mahasiswa dulu dimana jika bicara masalah rakyat banyak, ketimpangan sosial dan warga Riau yang selalu tertindas, maka ia akan menggelegak-gelegak.

Saya pun kemudian menimpalinya. ‘’Kalau saya lihat, semua yang kita kerjakan dulu dalam menuntut uang minyak Riau agar dikembalikan secara adil oleh Jakarta (pemerintaha pusat), kini memang sebagiannya terwujud. Namun dana yang besar itu hanya bisa dinikmati para PNS saja. Dengan adanya reformasi, gaji mereka naik dengan segala tunjangan dan tambahan penghasilan serta tetek bengek lainnya. Para PNS yang dulu hidup terkesan pas-pasan kini terlihat sudah hidup sejahtera. Sementara masyarakat bawah, makin miskin. Ditambah lagi dengan aksi-aksi Satpol PP yang tidak populer dengan alasan penertiban membuat masyarakat bawah sering tergusur,’’ kata saya dengan panjang lebar.

Kali kawan tersebut terlihat tidak bersemangat. ‘’Entahlah Pak. Daripada sibuk mengurus hal tersebut lebih baik kita urus keluarga kita saja. Bagaimana anak istri kita bisa makan esok hari. Biarlah mereka berfoya-foya karena hasil perjuangan kita dahulu. Lantaknyalah…’’ ketusnya.

Nb:
Suatu saat mungkin saya akan membuat tulisan mengenai aksi mahasiswa “jadul” di Riau ini. Saya masih mengumpulkan memori yang tercecer. Maklum bertambahnya usia membuat otak ini makin penuh. Bahkan teman sendiri yang kalau lama tak jumpa, sekali jumpa malah sering lupa nama. Tak etislah kalau kita tanyakan “Aduh saya lupa, siapa ya nama Bapak?”







Tidak ada komentar: